Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen - Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Ironis, Kejujuran dan Rasa Bersalah yang Ditebus dengan Nyawa

26 Maret 2024   11:04 Diperbarui: 26 Maret 2024   11:04 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Si Mamad: Skrinsyut

Dunia perfilman Indonesia terus berkembang dengan main banyaknya film-film bagus yang diproduksi. Akan tetapi akhir-akhirnya sedang booming film-film horror yang membanjiri pasaran sesuai dengan selera penonton. Nah ketika ditantang untuk mereview salah satu film yang wajib ditonton, maka agak sulit bagi saya untuk memilih.

Untuk itu saya harus membuka album lama dan akhirnya pilihan jatuh ke sebuah film yang berasal dari tahun 1973 dan sempat memenangkan penghargaan di Festival Film Indonesia 1974, yaitu Si Mamad yang dibintangi oleh Mang Udel.   Mungkin kebanyakan pembaca belum lahir ketika film ini dibuat dan ditayangkan di bioskop.  Yuk Simak kisahnya.

Film Si Mamad ini berkisah tentang seorang pegawai negeri yang jujur dan setia serta sangat disiplin di pekerjaannya.  Pak Mamad yang lebih suka dipanggil Muhammad ini telah lebih 20 tahun bekerja di bidang arsip dan memiliki keluarga besar dengan enam orang anak, ada yang sudah remaja dan berangkat dewasa, dan ada juga Si Jantuk yang masih kecil. 

Pak Mamad setiap pagi sebelum pukul setengah tujuh sudah sampai di kantor dan bahkan lewatnya pak Mamad seakan-akan menjadi petunjuk jam bagi tetangganya di kampung. Saking disiplinnya, Pak Mamad seakan-akan datang dan pergi bersamaan dengan Pak Juki yang bertugas membersihkan dan membuat kopi di kantor.

Digambarkan suasana kantor yang santai, ada atasannya Pak Sukma yang belum terlalu lama bekerja tetapi sudah punya dua mobil. Juga ada pak Gito yang kedudukannya lebih tinggi dibanding Pak mamad.  Pak Sukma dan Pak Gito bisa mendapatkan kedudukan lebih tinggi karena sarjana dan untuk Sukma sendiri konon karena masih famili dengan Pak Direktur.  Suasana santai ini digambarkan dengan sebagian besar yang datang ke kantor agak siang dan kemudian tidak lama kemudian satu per satu meninggalkan kantor karena ngobyek di luar.  Bahkan korupsi pun digambarkan sudah menjadi budaya di kantor ini. Sementara bila mendapat tigas dari atasan dilemparkan secara beruntun ke Pak Mamad.

Suatu ketika, istri Pak Mamad melaporkan bahwa dirinya kembali hamil anak yang ketujuh. Di sini Pak Mamad mulai gelisah memikirkan biaya melahirkan yang tidak terjangkau oleh pendapatannya yang hanya mengandalkan gaji yang pas-pasan. 

Walau pada awalnya ragu-ragu, akhirnya pak Mamad mencuri dan mengumpulkan kertas dan karbon dari kantor. Setelah banyak, kertas dan karbon ini dijual ke sebuah toko. Naas bagi pak Mamad ketika sedang menjual kertas curian ini, dia bertemu dengan Pak Samblun, yaitu direktur di kantornya yang ternyata merupakan pemilik toko ini.

Pak Mamad langsung berusaha menemui Pak Samblun untuk menjelaskan alasannya melakukan korupsi. Namun Pak Samblun menolak berbicara dan hanya mengatakan bahwa beliau sudah mengerti dengan santai. 

Sejak itu pak Mamad dihantui oleh dosa dan rasa bersalah. Walau Pak direktur sekan sudah mengerti dan memaafkan, pak mamd elum puas jika belum sempat menghadap dan mengatakan langsung.  Sudah beberapa kali Pak Mamad mencoba menemuinya di kantor, namun selalu gagal dan bahkan sempat diusir karena Pak Direktur sedang meeting.

Pak Mamad juga pernah berusaha datang ke rumah Pak Samblun, namun hanya ada anak-anak yang sedang bermain dan Pak Mamad dikira seorang pengemis yang meminta sedekah. Akhirnya Pak Mamad minta tolong diantar oleh mantan tetangganya, yaitu Budiman yang berprofesi sebagai dokter.  Di rumah Pak Direktur, Budiman malah bertemu dengan istri direktur yang dulu teman sekolah. Pak Mamad kembali gagal menemui direktur yang sedang menginap di Kartika Plaza, salah satu hotel berbintang di Jakarta pada waktu itu.

Rasa bersalah yang terus menghantui pak Mamad membuatnya nekad datang ke hotel menuju kamar Pak Direktur. Namun karena salah kamar, Pak Mamad malah kemudian dituduh mencuri baju dan pakaian yang akan dilaundri. Unsur komedi yang mengandung ironi yang secara gambling dipertontonkan di film gubahan sutradara Sjumandjaja ini.

Demikianlah sampai akhir film Pak Mamad masih terus berusaha menemui Pak direktur dengan bersepeda sehingga kesehatannya makin menurun dan Pak Mamad akhirnya harus jatuh sakit dan menemui ajalnya.

Adegan terakhir dalam film ini juga sangat menyentuh jiwa, yaitu suatu eulogi yang dibacakan oleh Budiman mengenai Pak Mamad yang digambarkan memiliki kejujuran mendekati perilaku Nabi. Namun harus bernasib malang dan menebus rasa bersalah dan dosa dengan nyawanya.

Menonton kembali film ini, kita akan disuguhkan pemandangan kota Jakarta di awal tahun 1970-an, dan tentu saja perasaan yang cukup terharu dengan kejujuran dan kesetiaan Pak Mamad.  Dan ternyata skenario yang ditulis oleh sang sutradara ini disadur dari karya sastrawan Rusia yang terkenal yaitu Anton Chekov.  Selain Mang Udel, Bintang-bintang kondang dari masa lalu juga hadir di film ini seperti Aedy Moward sebagai pak Direktur dan Rina Hasyim sebagai istri Pak Mamad.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun