Film ini banyak menonjolkan  sisi  kemanusiaan dari para eksil yang merasa disisihkan dari tanah air mereka sendiri.
Betapa mereka selalu mencintai Indonesia dan berusaha tetap tidak mengambil kewarganegaraan lain sampai akhirnya terpaksa melakukan hal tersebut agar dapat memiliki secarik Kerta identitas yang bahkan bisa digunakan untuk pulang menjenguk tanah air.
Namun Asahan juga sempat  kecewa karena ketika pulang  bahkan sempat diusir oleh keluarga sendiri.
Sementara Tom Ilyas yang sempat  pulang ke kampung di Sumatera  Barat untuk mencari kuburan massal ayahnya juga dideportasi.
Dari  sekian banyak kisah para  eksil ini, yang cukup berkesan adalah cuplikan kata Kartaprawira yang mengatakan bahwa Orde Baru masih ada hingga saat ini, mereka hanya berganti jas. Dia bahkan sempat mengomentari bahwa tidak pernah ada pihak yang diadili dalam kasus 1965/6 itu.  Mendengar ini kita merasa seakan-akan bayang-bayang dan hantu PKI serta komunisme memang masih terus menjadi momok yang mebalutkan.
Film ini juga bercerita banyak tentang peristiwa yang bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan Revolusi Kebudayaan di Tiongkok dan Perestroika di Uni Soviet. Â Juga sekilas ditampilkan momen momen peristiwa Kerusuhan Mei 1998 hingga jatuhnya Suharto.
Masih banyak kisah-kisah para  eksil yang ditirukan langsung dengan apa adanya yang terkadang membuat penonton meneteskan airmata.
Film ini, mau tidak mau akan menimbulkan pro dan kontra tergantung pandangan penonton terhadap peristiwa 1965. Â Akan tetapi memiliki dan mendengarkan pendapat dari dua sisi akan membuat kita jauh lebih bijak dan adik dibandingkan hanya mengetahui satu versi saja.
Versi mana yang anda percaya? Itu terserah anda dan konsekuensinya juga ditanggung masing-masing. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H