Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen - Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Mausoleum O.G. Khouw, Lambang Keabadian Cinta Termegah di Asia Tenggara

3 Desember 2023   20:44 Diperbarui: 3 Desember 2023   21:12 555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jumat siang menjelang sore, dari Stasiun Karet saya  naik ojol dengan santai menuju ke Petamburan. Ah ternyata saya datang terlalu cepat sekitar 30 menit dari waktu yang ditentukan.  Tetapi ketika sampai di halaman TPU Petamburan sudah menanti salah satu peserta Give Away Tour yang diselenggarakan oleh Wisata Kreatif Jakarta ini. Kami segera berkenalan dan bercakap-cakap sejenak sampai akhirnya sekitar 10 menit kemudian, Mbak Ira Latief pun muncul dan mengajak kami untuk sejenak ngopi bareng di sebuah kafe di seberang TPU yang ada di Jalan AIPDA K.S. Tubun ini sambil menunggu peserta yang lain. 

  Deretan  Makam:: dokpri 
  Deretan  Makam:: dokpri 

Sekitar pukul 3.30, kami kembali ke depan pintu gerbang TPU dan sudah melihat beberapa orang lagi yang datang. Memang sore itu karena cuaca agak mendung dan sesekali hujan rintik-rintik membasahi bumi kota Jakarta, ada beberapa peserta yang mendadak batal ikut.  Akhirnya sekitar pukul 3.45, Mbak Ira memutuskan untuk memulai tur yang walau pun di bawah langut mendung membuat hati para peserta senang dan gembira.  Walaupun tempat yang dikunjungi adalah sebuah makam alias mausoleum.

Patung di halaman: dokpri 
Patung di halaman: dokpri 

Kebanyakan peserta belum pernah mampir ke TPU ini termasuk saya yang mengaku sudah mengunjungi banyak makam, mausoleum, monumen, dan memorial di pelosok dunia.  Sebenarnya saya sudah lama mengetahui dan sekilas membaca mengenai Mausoleum O.G. Khouw yang akan kami kunjungi ini tetapi selama ini belum ada kesempatan yang tepat.  Baru hari ini memang sudah jodoh.

Kami memasuki kompleks TPU dan baru kemudian tahu bahwa TPU ini memang khusus non muslim. Dari bentuk makam dan nama-nama yang tertera di batu nisan, jelas bahwa kebanyakan yang dimakamkan di sini memang berasal dari etnis Tionghoa, walau saya sempat membaca ada juga dari etnis lain yang memiliki marga yang khas.  

sumber Foto bersama: WKJ 
sumber Foto bersama: WKJ 

Berjalan sekitar 100 meter di dalam kompleks TPU, sudah terlihat mausoleum O.G Khouw yang megah dengan pilar-pilar dari marmer dan kubah yang khas.  Di puncaknya ada sebuah penangkal petir.  Wah ternyata bangunan ini cukup tinggi ketika dilihat dari dekat walau selama ini saya mengira ukurannya todak terlalu besar ketika hanya melihat foto atau gambarnya.

Prasasti : dokpri 
Prasasti : dokpri 

Mausoleum ini terletak di lahan yang cukup luas dengan pagar dan di halamannya juga sudah penuh dengan deertan makam. Apakah masih kerabat atau makam siapa saja, saya kurang informasi walau ketika melihat nama-nama mereka yang memiliki banyak marga yang berlainan, maka dapat dipastikan ini bukan kompleks makam keluarga.

Indah & Megah: WKJ
Indah & Megah: WKJ

Kami kemudian berfoto bersama di depan pintu pagar mausoleum dan Mbak Ira kemudian menunjukkan sebuah prasasti yang menjelaskan arsitek yang membangun mausoleum ini.  Di dekatnya juga ada sebuah QR code yang ketika saya skan langsung memunculkan sebuah laman yang banyak memberikan informasi mengenai sejarah mausoleum serta siapakah O.G Khouw ini. Tetapi untuk sementara saya lebih fokus mendengar cerita dari Mbak Ira saja.

 Di bawah kubah : dokpri 
 Di bawah kubah : dokpri 

"Ini adalah mausoleum lambang cinta yang paling megah di Asia Tenggara," jelas Mbak Ira memulai kisahnya.  Selain itu dijelaskan juga bahwa salah satu mausoleum yang paling megah di dunia adalah Taj Mahal yang ada di Agra India.  Sebuah bangunan megah yang pernah saya kunjung beberapa belas tahun lalu.  Nah yang membedakan keduanya adalah jika Taj Mahal dibangun oleh Syah Jehan untuk istrinya yang sangat dicintai. Mausoleum di Petamburan ini dibangun oleh seorang istri untuk suaminya yang tentu saja juga sangat dicintai.  Hal ini dapat dibuktikan dengan sang istri yang bersedia menjanda selama sekitar 30 tahun terbukti dari tanggal kematian keduanya yang tertera di batu nisan.

Nisan Khouw Oen Giok: dokpri 
Nisan Khouw Oen Giok: dokpri 

Siapakah O.G.Khouw ini.  Mbak ira sebelumnya telah menunjukkan foto atau gambar Mayor Khouw Kim An, sebuah wajah yang pernah saya lihat ketika berkunjung ke Candra Naya, rumah tua yang kini tersembunyi di bawah bangunan pencakar langit di Jalan Ganjah Mada atau West Molenvliet.   Ternyata mereka berdua masih sepupu dan sama-sama bermarga Khouw.    Dijelaskan juga juga O.G Khouw atau Khouw Oen Giok ini adalah seorang konglomerat sekaligus filantropis alias dermawan yang terkenal pada masanya.   Dan beliau juga merupakan sedikit orang kawula Hindia Belanda yang kemudian bisa mendapatkan status warga negara Belanda.  

O.G Khouw lahir pada tahun 1874 di Batavia seperti tertulis pada batu nisannya dan meninggal pada Juni 1927, dalam usia 53 di Swiss.   Ternyata mereka dan keluarga saat itu sudah tinggal di Belanda. Kemudian sang istri Lim Sha Nio meminta mausoleum megah ini untuk dibangun melalui biro arsitek bernama Il  Marmir Italiana dengan arsitek  Bernama Giuseppe Racina.  Masuoleum ini ternyata memerlukan waktu sekitar 4 tahun untuk masa Pembangunan dan baru selesai pada 1931.  

Patung di halaman: dokpri
Patung di halaman: dokpri

Di bawah kubah mausoleum ini kami  membentuk lingkaran kecil dan mendengarkan kisah menarik tentang sepasang suami istri ini. Sepasang batu nisan ada di sana. Di sebelah kira adalah makam sang istri Lim Sha Nio yang meninggal pada 1957 dan dimakamkan di tempat yang sudah di persiapkan untuk menemani abu jenazah sang suami menuju keabadian cinta.  Di sebelah kanan adalah nisan sang filantropis tersebut.  Mbak Ira juga menunjukan ukiran yang ada di atas pusara, yaitu kata dalam bahasa Belanda Gewijd yang bermakna didedikasikan.  Makam ini memang didekisasikan untuk O.G Khouw oleh sang istri.

Sejenak dengan kagum saya memutar kepala dan memandang delapan buah pilar yang megah. Ternyata tinggi mausoleum ini sekitar 15 meter dan terbuat dari marmer yang didatangkan dari Italia.  Delapan tiang ini membentuuk sebuah segi delapan yang nyaris sempurna dipandang dari berbagai sudut. Tidak mengherankan kalau biayanya pada saat itu saja sudah mencapai setengah juga Gulden di zaman Belanda yang kalau diuangkan saat ini nilainya sudah dalam hitungan Milyaran Rupiah. 

Diceritakan juga bahwa saat pemakaman beliau pada September 1927, iringan abu jenazah itu berangkat dari rumah kediaman di West Molenviet no 211 menuju ke Laanhof , yang sekarang menjadi TPU Petamburan ini. Da ribuan orang memberikan penghormatan terakhir si sepanjang jalan, baik warga Tionghoa, Belanda dan juga warga sekitar. 

Diceritakan juga jika rumah kediaman di West Molenvilet alias Jalan gajah Mada ini kemudian disewakan dan digunakan sebagai kedutaan Republik Rakyat Tiongkok. Saya langsung teringat akan sebuah lahan kosong yang ditutup seng dan pepohonan yang berada tidak jauh dari Pasar Glodok di akhir tahun 1979 an. Mungkin ini lah lahan yang dulunya merupakan rumah kediaman keluarga Khouw.  

 Pintu binker: dokpri
 Pintu binker: dokpri

Mbak Ira juga menceritakan bahwa mausoleum itu sudah cukup lama terlantar dan baru diketemukan kembali pada tahun 2000-an oleh komunitas pecinta sejarah yang kemudian merawat dan membersihkannya secara berkala.  Bahkan ruang bunker di bawah tanah sempat tertutup lumpur. Namun sejak tahun 2012-an pemerintah DKI mulai lebih banyak memberikan perhatian dan kini pintu bunker tersebut terkunci dan hanya mereka yang memiliki izin diperbolehkan masuk.

Tangga menuju binker: WKJ
Tangga menuju binker: WKJ

Berama -sama kami berjalan melalui sepasang tangga melingkar ke bagian belakang mausoleum yang uniknya menurut Mbak Ira dulu adalah bagian depan mausoleum. Dijelaskan jika dulu kendaraan sang istri bisa masuk hingga ke dekat mausoleum dan menuju bangunan ini melalui pintu belakang.  

Setelah menuruni beberapa anak tangga kami melihat pintu gerbang ruang bawah tanah dengan tulisn  Rest in Vrejde yang artinya Rest in Peace dalam Bahasa Belanda.  Di sebelah kana a da sebuah panel besi yang sudah berkarat yang menurut mbak Ira dulunya digunakan sebagai kontrol untuk membuka gerbang ruang bawah tanah ini secara otomatis.

 Relief Mevrouw Khouw: dokpri 
 Relief Mevrouw Khouw: dokpri 

Ruang bawah tanah ini terdapat makam atau ruang makam atau cryot yang terbuat dari dinding marmer warna putih. Ada  relief sepasang karangan buahs di dinding marmer ini.  Kami berjalan mengelilingi nya dan sam[ai di bagian depan tempat terdapat sebuah altar.  Di sebelah kiri ada relief wajah sang istri dan di sebelah kanan adalah relief wajah O.G Khouw.  Ada tiga buah gelas air mineral plastik dan juga parung anjing kecil di altar tersebut. 

Di sekeliling ada beberapa cerukan yang sebagian masih dilengkapi dengan tempat duduk dari marmer.Pada bagian lain, ada tempat duduk yang sudah rusak.  Menurut Mbak Ira pula di balik dinding marmer ini  ada beberapa benda milik pribadi yang ikut dikubur bersama seperti piano dan mungkin benda berharga lainnya. Tentu saja kita tidak tahu isinya karena tidak pernah dibongkar lagi.

Makam Jepang : dokpri 
Makam Jepang : dokpri 

Setelah puas berada di dalam bungker, kami kemudian kembali ke ruangan atas mausoleum.. Selain patung malaikat yang di dekat nisan. Di halaman mausoleum, di empat sisi mata angin, ada patung marmer yang melambangkan proses perubahan manusia dari anak-anak, remaja, dewasa, dan tua. Patung-patung ini juga berasal dari Italia dan sangat kental dengan  gaya Neorenaissance yang mengingatkan saya akan patung-patung karya Leonardo Da Vinci.

Hujan rintik-rintik masih membasahi tanah di sekitar Petamburan. Namun kami juga masih semat berkunjung ke sebuah bangunan berbentuk rumah kecil yang berada di belakang museum. Ternyata ini adalah rumah abu tentara Jepang yang dimakamkan di Petamburan. Ini jelas ada pada sebuah papan informasi yang ada di dinding bangunan. 

Bahkan menurut mbak Ira pula di kompleks TPU ini juga masih ada beberapa makam orang Yahudi. Sayang letaknya agak jauh sehingga kami tidak berkunjung ke sana. Mbak Ira hanya memperlihatkan foto dan menjelaskan cara orang Yahudi berziarah, yaitu dengan meletakan batu kerikil di atas pusara. Alasannya karena kerikil lebih awet dan tahan lama dibandingkan bunga yang cepat layu.

Sekitar satu setengah jam kami berada di mausoleum ini. Sebuah masuoeluem seorang tokoh yang munkgin sekarang sama sekali tidak dikenal, Namun mausoleumnya tetap abadi di tengah padatnya kota Jakarta. Semoga monument keabadian cinta ini tetap lestari dan tidak akan berubah di telan masa.

Sayang stastusnya sendiri sekarang belum dijadikan cagar budaya.  Bukankah, tempat ini pun bisa menjadi salah satu tujuan wisata alternatif yang cukup menarik baik buat wisatawan Nusantara atau wisatawan mancanegara. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun