Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen - Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Ketika Waktu Berhenti di Pukul 2.25 di Tangerang

27 November 2023   10:12 Diperbarui: 27 November 2023   10:29 1444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di depan pintu gerbang ini kami sempat berkumpul dan mendengarkan sekilas penjelasan mengenai kelenteng dan juga sekilas informasi mengenai Konghucu dan ajarannya serta sekilas mengenai Tridarma yaitu gabungan antara Buddha Tao dan Konghucu serta sejarah ummat Konghucu yang pada masa orde baru dikelompokkan dalam agama Buddha. Dijelaskan juga bahwa ajaran Konghucu memang lebih menekankan tentang budi pekerti dan akhlak kebaikan  seperti menghormati dan berbakti kepada orang tua.

Gerbang Kesusilaan: Dokpri
Gerbang Kesusilaan: Dokpri

Di dinding gerbang ini ada sebuah prasasti yang menerangkan bahwa Gerbang Kesusilaan ini diresmikan atas kehendak Tuhan yang Maha Esa pada 22 Desember 2012.  Nama gerbang kesusilaan ini terpampang pada empat huruf Kanji yang ada di atas pintu.  Saya sendiri hanya bisa membaca yang paling kiri alias yang terakhir yang berarti gerbang karena bentuknya mirip pintu alias Men. Tulisan kanji zaman dulu memang dibaca dari kanan ke kiri seperti juga tulisan Arab.  Kata men ini sama seperti Tian An Men di Beijing sana atau nama-nama gerbang di Kota Seoul Dong Dae Mun atau Nam Dae Mun yang berakhir dengan aksara Mun. 

Jalan-jalan di kota lama Tangerang terus berlanjut hingga sampai ke tepian Sungai Cisadane.  Gedung pertama yang menarik adalah sebuah bangunan tua yang cantik bernama Rumah Burung. Konon dulu merupakan rumah mode pada zamannya yang pada masa itu terkenal dengan Kebaya Encimnya.  Di sebut Rumah Burung karena sempat menjadi sarang walet sebelum kemudian direstorasi.  Sayang rumah ini pun sekarang dalam keadaan tutup dan tidak menerima kunjungan wisatawan.

Masih di tepian Cisadane ini, kami mampir ke Toapekong Air, sebuah tempat ibadah kecil yang berada tepat di tepi sungai.   Ada sebuah gapura dengan tulisan Toa Pekong Air, prasasti Tangga Jamban.  Ah sebuah nama yang menarik sekaligus menggelitik.

Tangga Jamban: Dokpri
Tangga Jamban: Dokpri

Ternyata nama tangga jamban ini berasal dari dibuatnya tangga berundak ke jalan dan di sekitar sini memang dulunya menjadi kamar mandi umum yang juga sekaligus menjadi toilet atau jamban.  Gapura ini sangat sederhana dan hanya dihiasi dua buah lampion merah di kedua sisinya. Tidak jauh dari gapura ini ada penjual durian dan juga berbagai jenis buah seperti alpukat dan mangga. 

Di sini ada sebuah tempat sembahyang dimana ummat Kong Hu Cu berdoa dengan membakar hio atau dupa.  Kebetulan saat itu ada yang sedang berdoa dan kemudian melepaskan kura-kura ke Sungai Cisadane.  Ternyata tradisi ini disebut dengan istilah Fang Shen yang dipercaya dapat mendatangkan rezeki. Selain kura-kura bisa juga dilepas ikan atau bahkan burung ke udara.   Uniknya sebagian kura-kura yang baru saja dilepas kemudian ditangkap lagi oleh tukang kura-kura tadi. 

Di sini dikisahkan tentang sejarah tentang Peh Cun dan makanan Bacang.  Peh cun yang dirayakan pada setiap tanggal 5 bulan 5 penanggalan Imlek ini konon untuk memperingati salah seorang Menteri Bernama Qu Yuan yang bunuh diri melompat ke Sungai Miluo karena merasa difitnah dengan muak dengan kemunafikan para pejabat pada saat itu.  Peh Cun sendiri bermakna Mendayung Perahu dan kini dirayakan dengan perlombaan perahu naga baik di Sungai Cisadane maupun di seluruh dunia.

Selain itu, di Toapekong Air ini, kami mendengarkan kisah mengenai sejarah Cina Benteng yang konon sudah ratusan tahun bermukim di Tangerang dan sekitarnya.  Mereka dipercaya sebagai keturunan anak buah Laksamana Ceng Ho yang berlayar ke Nusantara di awal abad ke 15.  Anak buah Laksmana Ceng Ho ini kemudian berdiam dan menetap di kawasan ini dan menikah dengan Perempuan setempat dan menghasilkan peranakan Tionghoa yang dinamakan Cina Benteng.

Masjid Kali Pasir: Dokpri
Masjid Kali Pasir: Dokpri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun