Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen - Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Ketika Waktu Berhenti di Pukul 2.25 di Tangerang

27 November 2023   10:12 Diperbarui: 27 November 2023   10:29 1444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Biro Inovasi & Pengembangan Kreativitas Himpunan Pramuwista Indonesia Jakarta kembali mengadakan acara pengayaan untuk para tour guide maupun umum yang secara rutin diselenggarakan setiap bulan. Kali ini menyusuri seluk beluk dan sekilas sejarah Pecinan di Tangerang. 

Sekitar pukul 9.30 pagi, semua peserta sudah hadir di MEPO alias meeting point di depan ROTI O Stasiun Tangerang.  Acara dibukan oleh Mbak Ira Latief dan dilanjutkan sambutan oleh Mas Rizki yang mewakili Bang Indra Diwangkara, ketua HPI DPD Jakarta.  

Acara jalan-jalan langsung dimulai dan dipandu oleh Mbak Utami yang memang sangat menguasai kawasan Tangerang dan sekitarnya ini.  Kami diajak berjalan di depan stasiun Tangerang untuk melihat sebuah prasasti yang menyatakan bahwa stasiun Tangerang ini merupakan cagar budaya dan sudah ada sejak tahun 1889.

Prasasti : Dokpri
Prasasti : Dokpri

"Setation Kereta Api, UU No. 11 Tahun 2010. Sejarah: Berdiri sejak 2 Januari 1889, merupakan station akhir karena tidak ada lanjutan lintasan bersama keberadaannya dengan jalan kereta sampai Jakarta-Tangerang."  Demikian kata-kata yang terukir pada prasasti itu.

Mbak utami juga menjelaskan bahwa pemerintah Belanda dulu membangun jalur kereta api dari Duri ke Tangerang dengan tujuan untuk memperlancar transportasi untuk mengangkut hasil industri kerajinan Tangerang yang sudah diekspor sampai ke negeri Belanda dan Eropa yaitu topi buni.  Topi buni atau kadang disebut topi boni ini merupakan topi anyaman yang terbuat dari bambu dan pandang yang bentuknya mirip topi koboi dan juga kemudian topi pramuka zaman kini. 

Mbak Tami: Dokpri
Mbak Tami: Dokpri

Saya juga teringat pernah membaca sebuah buku karya Pramoedya Ananta Toer yang menceritakan sekilas bahwa topi boni ini telah membuat Tangerang tersohor di mata dunia internasional. Bahkan pada tahun 1887 saja lebih dari 145 juta topi diekspor. Topi ini menjadi popular digunakan baik di Eropa, hingga Amerika Latin. 

"Selain topi Boni, Tangerang juga kala itu menjadi penghasil garam yang terkenal," demikian tambah Mbak Utami sambil menekankan pentingnya stasiun Tangerang ini dalam perekonomian kala itu.  Di samping itu, Tangerang juga terkenal dengan industri kecil yang menghasilkan peralatan masak tradisional yang kemudian meredup setelah maraknya barang-barang dari plastik.

Dijelaskan juga sekilas mengenai buah-buahan di Tangerang. "Kalau Pasar Minggu terkenal dengan buah-buahan seperti dalam lagu papaya mangga pisang jambu, maka Tangerang juga menghasilkan buah musiman seperti Alpukat, manggis , lengkeng, rambutan dan durian." 

Namun seiring berjalannya waktu, stasiun Tangerang ini pernah mati suri hingga dihidupkan kembali di tahun 1970-an ketika kereta api Jabotabek (Jakarta Bogor Tangerang Bekasi) mulai beroperasi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun