"Malam ini kita makan di restoran kecil bernuansa kekeluargaan," demikian ucap Mas Agus ketika kita berjalan kaki dengan santai kembali ke hotel selepas mandi uap dan pijat di hamam yang telah berusia lebih 5 abad.Â
Sekitar pukul 7 malam, kami semua berkumpul di lobi dan kemudian kembali berjalan kaki menyusuri lorong-lorong di kota tua Bukhara.  Belok kiri, lurus, belok kanan  dan kemudian berputar melewati jalan-jalan sempit yang tetap saja memikat. Suasana 1001 malam hadir walau langit Bukhara tampak mulus tanpa bintang.
Setelah 10 atau 15 menit berjalan, kami tiba di sebuah restoran kecil yang lebih mirip sebuah rumah di perkampungan. Â Walau pun dari luar tampak kecil, namun ternyata setelah masuk lumayan luas karena bertingkat dua. Bentuknya mirip seperti kebanyakan rumah tua di Uzbeksitan, yaitu memiliki halaman tengah yang terbuka dan lantai dua yang mengelilinginya. Mirip dengan hotel atau restoran di film-film silat Cina. Â Tentu saja dengan atmosfer Asia Tengah yang kental. Â Kalau sebelumnya Mas Agus menjanjikan kita boleh mengintip dapur dan melihat makanan dipersiapkan di tungku tradisional, ternyata makanan sudah siap di ruangan khusus di lantai atas.Â
Meja-meja di atur dengan ketinggian yang berbeda. Â Kursi dari kayu dengan ukiran mirip ukiran Jepara hadir cantik dilengkapi dengan bantal-bantal yang ditutupi sarung bergambar bunga aneka warna. Di tempat lain, ada ruang makan yang dilengkapi tirai warna putih yang tembus pandang.Â
Kami masuk ke ruang makan yang cantik. Karpet tebal dengan warna merah dominan  dengan pola hiasan berbentuk belah ketupat berwarna kombinasi hitam, kuning, dan coklat menutupi lantai,  Sebuah meja besar lengkap dengan makanan, piring dan gelas serta buah-buah dan salad sudah menanti. Selain makanan yang terlihat sedap, bahkan peralatan makan seperti piring, cawan, dan mangkoknya pun cantik. Warna-warni dengan hiasan khas Uzbekistan.Â
Tuan rumah pun kemudian menyambut dengan ramah dan mengucapkan selamat datang. Tidak lama kemudian di ruang tengah yang terbuka, para pemain musik sudah siap beraksi. Beberapa gadis Uzbek yang cantik pun kemudian menari mengikuti irama yang riang. Kostum tradisional yang dengan warna yang kontras seperti merah, kuning dan hitam.Â
Diiringi musik yang riang, kami pun makan malam dengan santai menikmati malam terakhir di Bukhara. Â Bahkan para penari pun kemudian mengajak para tamu untuk ikut berjoget bersama. Â Suasana di restoran ini pun kian cair. Tamu dan penari semua bergembira menikmati malam.Â
Di dalam ruangan yang khusus yang nyaman ini, Â kami duduk bersama menikmati makan malam. Sejenak saya lemparkan pandangan menyapu ruangan. Dindingnya dominan warna putih dengan hiasan beberapa jendela warna hijau muda yang dipercantik dengan tirai warna putih. Â Di sisi lain ada pintu tertutup tirai dan di atasnya ada gambar ka'bah dengan hiasan kaligrafi di bawah lengkungan dengan ornamen muqarnas. Â Sangat mirip dengan madrasah dan masjid-masjid cantik di Bukhara. Â Yang menarik adalah hiasan atau rak-rak cantik yang ada di kedua sisi pintu bertirai ini. Â Ada deretan rak-rak kecil bertingkat tingkat membentuk jendela beratap lengkungan. Â Rak ini disebut Tochka dan digunakan untuk menyimpan benda-benda. Kalau sebelumnya di rumah tua Yahudi di dekat hotel saya melihat Tochka yang kosong, di resto ini semua rak atau tochka berisi benda-benda cantik sebagai pajangan atau pemanis ruangan. Kebanyakan berupa barang pecah belah seperti piring, cangkir, cawan, gelas, kendi, guci, yang terbuat dari keramik dengan hiasan warna-warni yang sangat cantik. Â Menurut mas Agus, makin tinggi posisi tochka, makin berharga atau mahal benda-benda yang disimpan.
Saya kembali ke meja makan. Selain roti nan yang besar dan bundar, tentu saja ada buah anggur, melon dan  semangka yang segar. Juga ada salad,  samsa, dan kemudian muncul Plov Bukhara yang hadir lengkap dengan telur puyuhnya.  Plov di Bukhara ini konon tidak terlalu berminyak dibandingkan dengan Plov di Samarkand dan Tashkent.  Selain air mineral, juga disediakan minuman ringan dan tentu saja teh atau tsai yang nikmat.Â
Yang menarik, ada lagi buah yang bentuknya bulat agak kehitaman. Sekilas mirip manggis namun tidak ada kelopaknya. Satu, dua, tiga, empat: saya menghitung jumlah buah yang ditaruh dalam wadah khusus berbentuk cawan mirip gelas untuk minum wiski. Â Dalam hati saya sempat bertanya buah apakah ini.
" ?" Â Chto Eta alias Apa Ini? Â Saya bertanya ketika tuan rumah datang menghampiri sambil membawa minuman ke meja. Â "Anjir," Â jawabnya dengan santai. Â Dia kemudian sadar bahwa saya tidak mengerti makna kata anjir dan kemudian menyebut nama buah itu dalam bahasa Inggris, fig.Â
Barulah saya tahu bahwa ini adalah buah ara atau lebih terkenal dengan nama Buah Tin. Anjir sendiri merupakan nama buah tin ini dalam bahasa Uzbek. Â Saya segera mengambil buah tin dan kemudian membukanya. Â Buah nya cukup lembut karena sudah cukup masak. Sekilas banyak bijinya dan sedikit berair namun rasanya cukup manis.Â
Buah Tin adalah buah yang ada dalam Al-Quran dan sering diucapkan berdampingan dengan buah zaitun. Â Konon buah ini disebut juga buah surga dan banyak memiliki manfaat untuk Kesehatan. Â Salah satunya adalah sifatnya yang basa alias mengandung alkalin sehingga bisa menetralisir sifat asam yang ada dalam tubuh.Â
Siapa sangka, jauh-jauh datang ke Bukhara, malam itu saya dapat langsung menikmati lezatnya buah Tin atau buah ara.  Buah surga yang uniknya dalam bahasa setempat disebut dengan nama Anjir.  Sebuah kata  yang dalam bahasa Sunda yang  sering kali digunakan untuk eufemisme sebuah makian
Dalam setiap perjalanan, kita sering menjumpai hal-hal yang menakjubkan. Â Salah satunya adalah kata-kata dalam setiap bahasa yang sering maknanya sangat berbeda dalam bahasa yang sudah kita kenal.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H