Satu hari menjelang peringatan Sumpah Pemuda yang ke 95, saya kembali mengunjungi Museum Sumpah Pemuda yang beralamat di Jalan Keramat Raya 106, Jakarta Pusat. Â Kali ini bertepatan dengan acara berkunjung ke Museum yang diadakan oleh Wisata Kreatif Jakarta dan dipandu secara langsung oleh Mbak Ira Latief.
Ketika turun dari halte TransJakarta Pal Putih, saya berjalan kaki menyusuri kaki lima yang nyaman dan sempat mengamati sebuah rumah tua yang tampak sudah lama terbengkalai dan lokasinya tepat di sebelah Museum Sumpah Pemudah. Gedungnya tampak megah dan cantik dengan halaman yang luas, namun dalam keadaan yang menyedihkan karena sudah tidak dirawat dan ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya. Â Di sepanjang jalan ini memang terdapat banyak rumah-rumah tua yang dalam ukuran besar dengan lahan yang luas. Sayangnya sebagian besar sudah berubah fungsi dan juga sudah berubah bentuk. Seandainya sejak dahulu dipertahankan bentuk asli dan dirawat dengan baik, tentunya menjadi kawasan kota tua yang cantik dan menawan.
Di depan museum, suasana meriah langsung menyambut saya. Gedung juga bertabur hiasan bernuansa merah putih. Â Ada korps music yang sedang berlatih. Rupanya sedang diadakan gladi resik untuk peringatan Hari Sumpah Pemuda besok, yaitu pada 28 Oktober 2023. Â Tulisan besar Museum Sumpah Pemuda yang gagah juga menyambut kedatangan saya. Mbak Ira juga dengan senyum manisnya yang khas berjalan gesit sambil menyapa dengan ramah.
Saya segera masuk ke beranda dan mengamati beberapa plakat yang ada di dinding dan di dekat pintu masuk. Pertama adalah yang menyatakan gedung ini sebagai cagar budaya dan peresmian pemugaran terakhir pada 2021. Sesudah itu dekat dinding ada tiga prasasti yang berurutan dari atas ke bawah. Yang paling atas adalah peresmian Museum Sumpah Pemudah pada 20 Mei 1974 oleh Presiden Soeharto, lalu peresmian pemugaran gedung Ex Indonesische Club Gebouw pada 1973 oleh Gubernur Ali Sadikin dan yang paling bawah adalah prasasti hibah Gedung Sumpah Pemuda dari Keluarga pemilik yang ditandatangani oleh dr. Yanti Silman kepada pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Dirjen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Â Hilmar Farid pada 28 Oktober 2021.
Wah sejak kunjungan saya sekitar 7 tahun lalu, sudah banyak yang berubah di Museum ini.  Saya masuk ke dalam ruangan pertama di dalam museum.  Di sini kami disambut oleh Pak Patul, yang merupakan pemandu museum yang dengan bersemangat berkisah tentang ruangan-ruangan yang ada di sini.  Di ruangan dengan lantai yang masih asli dengan corak hiasan bermotif flora yang cantik ini terdapat  display mengenai kawasan Weltevreden dan juga sekilas sejarah  gedung  ini. Juga ada kilasan sejarah  menjelang Sumpah Pemuda, yang dimulai dari Kebangkitan Nasional dengan terbentuknya Budi Utomo pada 20 Mei 1908.
Dalam Sejarah Indonesia, ada tiga tonggak peristiwa yang penting, yaitu Kebangkitan Nasional pada 20 Mei 1908, Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 dan proklamasi pada 17 Agustus 1945, Â demikian ujar pak Patul mengawali ceritanya.
Di ruang ini juga ada patung Tirto Adhi Soerjo yang memakai busana tradisional Jawa lengkap dengan blangkon. Di dinding ada kutipan kata-kata beliau yaitu "Dengan bekerja sebagai redaktur koran, saya bisa menggerakkan hati bangsa." Â Tokoh TAS ini mengingatkan saya akan tokoh Minke yang ada dalam buku Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Â
Di sini juga ada display mengenai Indische Partaj dan Tiga Serangkai yang terkenal. Namun yang paling menarik adalah sebuah altar di sudut ruangan yang berkisah tentang Sejarah gedung sumpah pemuda ini. Dijelaskan bahwa gedung ini dulunya merupakan rumah kos milik seorang etnis Tionghoa Bernama Sie Kong Lian dan menjadi tempat tinggal para pemuda yang kebanyakan belajar di Stovia dan juga Sekolah Hukum. Â Stovia atau dulunya Sekolah Dokter Jawa ini sekarang menjadi Museum Kebangkitan Nasional, namun hingga sekarang lokasi Sekolah Hukum masih belum dapat dipastikan.
Altar dengan potret Sie Kong Lian dalam dua masa. Yaitu ketika beliau masih muda dan gagah serta ketika beliau sudah lanjut usia. Â Nah altar ini sangat unik karena merupakan altar persembahan yang sering dijumpai di rumah orang Tionghoa. Lengkap dengan lilin merah, dupa alias hio dan juga buah-buah seperti apel, jeruk dan juga pir.Â
"Penampakan terbaru di Museum Sumpah Pemuda. Sekarang begitu  masuk ada Sejarah dan altar persembahan untuk Sie Kong Lian, sari etnis Tionghoa pemilik rumah indekos yang dipakai untuk peristiwa Sumpah Pemuda.  Baru ini sih lihat di dalam museum milik negara ada altar persembahan seperti ini," demikian komentar Mbak Ira yang dikirim melalui whats up group.
Melihat altar ini, saya langsung teringat akan pertemuan saya beberapa tahun lalu dengan dokter Yanti Silman. Â Yang ketika itu menceritakan bahwa keluarganya memang berniat akan menghibahkan rumah warisan sang kakek itu kepada negara karena memang itu merupakan wasiat Sie Kong Lian sendiri. Â Yang mereka inginkan hanyalah satu ruangan sebagai peringatan bahwa rumah ini dulu nya memang milik Sie Kong Lian. Â Rupanya altar ini merupakan salah satu perwujudan peringatan tersebut.
Kami kemudian berjalan melihat banyak ruangan lainnya. Ada ruangan khusus untuk W.R Soepratman yang menciptakan lagu Indonesia Raya. Â Di sini kita bahkan bisa mendengarkan lagu Indonesia Raya dalam berbadai versi, selain versi asli, juga ada versi keroncong dan versi terakhir aransemen Addie M.S bersama Melbourne Philarmonic Orchestra.Â
Di sini kita bisa mengenal W.R Soepratman lebih mendalam dan juga ketika beliau bekerja sebagai wartawan Harian Sinpo dan sampai berusaha merekam lagu tersebut. Â Museum ni juga semakin menarik dan interaktif, karena di sini kita bahkan bisa memainkan peran sebagai dirigen. Juga ada dipamerkan biola milik Wage, sebuah gramafon serta sebuah piringan hitam berisi rekaman lagu Indonesia raya
Di ruangan lain kita juga bisa secara singkat mengenal berbagai pemuda baik dari Jong Java, Jong Sumatra, Jong Batak, Sekar Rukun, Jong Islamiten Bond, Pemuda Kaum Betawi, Jong Minahasa dam juga Jong Celebes mewakili Indonesia bagian timur. Â Inilah cikal bakal persatuan pemuda yang mewakili kedaerahan kemudian berikrar untuk membentuk satu bangsa Bernama Indonesia.Â
Perjalanan di Museum Sumpah Pemuda terus berlanjut. Ternyata jejak Sie Kong Lian masih ada di ruangan lain, yang memamerkan secara lebih rinci tentang rumah di Jalan Kramat Raya 106 ini.  Selain foto-foto zaman dulu juga ada keterangan bahwa para pemuda yang indekos di sini membayar 12,50 Gulden termasuk makan tiga kali.  Selain menjadi rumah kos tempat tinggal, rumah ini juga menjadi tempat berkumpul para pemuda dan kemudian terkenal dengan nama Indonesische Club Gebouw  Â
Juga ada ruangan khusus tentang Sie Kong Lian dan keluarga ada beberapa foto dan juga penjelasan kutipan dari koran lama berbahasa Belanda seperti iklan mengenai Firma Sie Kong Lian yang berusaha tempat tidur dari bahan kayu kapok dan beralamat di Senen no. 95 dan didirikan sejak 1877. Â Juga ada iklan disewakan rumah kos dengan paviliun pada koran Het Niews van de dag voor Nederlands Indie tanggal 24 Oktober 1923. Â Berdasarkan iklan ini kita juga mengetahui bahwa rumah ini dulu dekat dengan stasiun atau halte tram. Angkutan massal peninggalan zaman Belanda yang sekarang sudah tidak ada dan digantikan TransJakarta.
"Museum Sumpah Pemuda sangat berharga bagi kami, tetapi jauh lebih berharga untuk NKRI. Maka dari itu kami menghibahkannya  untuk negara Indonesia," Keluarga Sie Kong Lian.  Demikian tertulis di salah satu sudut ruangan yang juga berisi beberapa perabotan kuno dan potret-potret lawas keluarga Sie Kong Lian ini.  Kata-kata yang sama juga tertulis pada prasasti di beranda museum.
Kini Impian keluarga seperti yang pernah diutarakan secara langsung oleh dokter Yanti Silman sudah menjadi kenyataan. Rumah yang sekarang menjadi museum ini sudah sah menjadi milik negara dan satu ruangan dan altar dipersembahkan khusus untuk mengenang jasa Sie Kong Lian. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H