Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen - Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Jelajah Kampoeng Toegoe, dari Kuliner hingga Keroncong

1 Oktober 2023   09:34 Diperbarui: 2 Oktober 2023   00:02 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kampung Toegoe sebagai asal muasal music keroncong yang dihuni keturunan Portugis sudah sering saya dengar, namun saya sama sekali tidak punya bayangan dimana letak dan bagaimana pergi berkunjung ke kampung ini hingga Wisata Kreatif Jakarta bekerja sama dengan Koteka Kompasiana atas sponsor Suku Dinas Parekraf Jakarta Utara pada akhir September 2023 lalu. 

Dari halte TransJakarta Plumpang Pertamina, saya naik angkutan kesayangan ojek daring menyusuri jalan yang tidak terlalu luas namun termasuk paling mengerikan. Di Tengah jalan berdebu di Tengah panasnya kawasan Jakarta Utara, ojek online saya harus berjibaku di antara truk kontainer yang besar dan panjang.  Jakarta Utara yang kondisinya jauh berbeda dengan Jalan Sudirman Thamrin  yang memiliki kaki lima yang lebar dan nyaman dan banyak bangunan ikonik memanjakan mata.

"Gereja Toegoe yang ada kuburan ya Pak.? Abang ojek bertanya sambil mengemudikan motor melewati truk kontainer. 

"Maaf Bang, saya juga tidak tahu, ikuti peta saja ke Gereja Toegoe," Jawab saya. Kata kuburan sempat membuat saya sedikit bergidik ngeri dan merinding. Sejenak bulu roma mulai berdiri di pagi yang panas ini. Suhu kota Jakarta memang sedang panas-panasnya. Bahkan ketika sekitar pukul 10 pagi bisa mencapai angka 37 derajat Celsius.

Gereja Tugu: Dokpri
Gereja Tugu: Dokpri

Ojek berhenti tepat di tepi jalan dan benar, di sini ada kuburan yang sekilas tidak menyeramkan. Di kejauhan ada bangunan gereja tua, yang tidak terlalu besar. Dan ketika turun, saya melihat Papan Nama warna hitam bertuliskan Gereja Protestan Tugu Anno 1748 dengan warna putih.   Wah sudah tua sekali karena hampir 300 tahun usainya, ucap saya dalam hati.

Saya segera mendaftar sebagai peserta Tur Kampung Portugis Tugu ini.   Sudah lumayan banyak peserta yang datang dan sebagian besar anak-anak remaja yang ternyata merupakan murid salah satu SMK di Pegangsaan Dua , Kelapa Gading didampingi salah seorang guru yang juga masih mudah yang kemudian saya kenal Bernama Pak Rudy.

Mbak Ira Latief dari Wisata Kreatif Jakarta kemudian membuka acara dan saya dimasukkan dalam kelompok pertama yang berjumlah sekitar 30 peserta.  Pemandu wisata kali ini adalah Mpok Yuli, yang sudah lama saya kenal baik karena sering jalan-jalan bersama ke berbagai tempat menarik di kawasan Jakarta dan sekitar. Mpok Yuli juga salah satu pemandu favorit saya.

Mpok Yuli: Dokpri
Mpok Yuli: Dokpri

 

Mpok Yuli mengucapkan selamat datang dan kemudian memulai jalan-jalan dengan sekilas menceritakan Sejarah Kampoeng Togoe ini. Di sebutkan kata Tugu sendiri kemungkinan berasal dari kata Portugis yang karen sulit dilafalkan oleh orang Betawi berubah menjadi Tugu. Kemungkinan lainnya adalah berasal dari sebuah prasasti yang Bernama Prasasti Tugu yang berasal dari era Kerajaan Tarumanegara.

Menurut Mbak Yuli asal muasal penduduk Kampung Tugu ini adalah kekalahan Portugis atau Belanda di Malaka pada pertengahan abad 17.  Portugis berkuasa di Malaka sejak 1511 hingga 164. Pada 1648, Belanda berkuasa di Malaka dan akibatnya pasukan Portugis yang ada di Malaka dibawa ke Batavia sebagai tawanan perang dan Budak. 

Dalam perkembangannya mereka bisa Merdeka dengan syarat memeluk agama Protestan dari sebelumnya memeluk agama Katolik. Akhirnya mereka pun menjadi Protestan dan bahkan nama keluarga atau Fam mereka pun diganti dengan Fam Belanda. 

"Dulu ada sekitar 23 Fam namun sekarang hanya tersisa 7 Fam." Demikian lanjut Mpok Yuli lagi sambil dengan lancar menyebutkan ketujuh nama keluarga itu. Satu di antaranya adalah Fam Michiel yang akan kita kunjungi rumahnya yang sekarang berfungsi menjadi  Rumah Toegoe sekaligus tempat asal muasal Kerontjong Toegoe.  Berkurangnya jumlah Fam ini kemungkinan karena ada yang tidak menikah atau hanya ada keturunan Perempuan sehingga nama keluarga menjadi punah. Atau ada juga yang pindah ke daerah lain atau pindah ke negeri Belanda. 

Rame-Rame: Dokpri
Rame-Rame: Dokpri

Mpok Yuli juga sekilas mengisahkan tentang kejadian Gedoran pasca kemerdekaan Indonesia. Pada saat itu penduduk Kampung Tugu ini sempat mengalami peristiwa pengusiran karena mereka dianggap selama ini pro Belanda.  Untungnya ada seorang tokoh lokal yaitu Haji Maksum yang melindungi mereka.  Karena itu penduduk Kampung Tugu ini memiliki tradisi mengenakan baju koko dan juga peci ketika ke gereja atau acara lainnya. Bahkan dalam keroncong toegoe pun ada alat musik rebana untuk menghormati jasa Haji Maksum ini.

Kami kemudian mampir sebentar ke dalam Gereja Tugu sambil mendengarkan kilasan Sejarah gereja yang aslinya dibangun pada abad ke 17. Namun bangunan yang sekarang ini berasal dari abad ke 18 alias tahun 1747 yang dibangun atas sumbangan tuan tanah Belanda Justinus Van der Finch yang juga membangun Pasar Tanah Abang.  Sebuah gereja yang indah walau sudah berusia ratusan tahun.

Makam Tua: Dokpri
Makam Tua: Dokpri

Di halaman samping gereja, juga ada kuburan yang pertama kali saya lihat ketika mampir ke sini. Ini adalah kuburan penduduk Kampung Tugu yang sudah berusia ratusan tahun. Walaupun begitu ada juga makam yang masih baru karena sistem tumpeng yang diterapkan oleh Pemda DKI. 

"Makam tertua di sini adalah Makam Guru atau Pendeta Leimena," demikian keterangan Mpok Yuli lagi sambil menunjukkan sebuah nisan berbentuk piramida kecil yang sayangnya tidak ada tanda tahun. 

Kotainer: Dokpri
Kotainer: Dokpri

Kami kemudian memulai perjalanan di Kampung Toegoe dengan berkunjung ke rumah Toeoge , Berjalan di trotoar sempit sambil terus harus memperhatikan truk besar yang melintas. Menurut Mpok Yuli, pada saat Gubernur Ahok, sempat ada wacana untuk mengembangkan Kampung Tugu sebagai destinasi unggulan Jakarta Utara, salah satunya adalah dengan melarang truk peti kemas melintas. Namun wacana ini terbang menghilang bersama lengsernya Ahok karena kasus penistaan agama.

Rumah Tugu: Dokpri
Rumah Tugu: Dokpri

Di Roumah Tugu, kami disambut oleh keturunan  keluarga Michele sebagai pewaris rumah ini. Rumah ini sendiri sedang dalam proses untuk menjadi Living Museum. Demikian keterangan Nyonya rumah yang menyambit.  Kemudian Arthur Michiel juga menjelaskan sekilas mengenai Sejarah rumah ini ketika banjir pernah hamoir tenggelam.

Keroncong Tugu: Dokpri
Keroncong Tugu: Dokpri

Perjalanan di Roemah Toegoe kemudian diakhiri dengan pertunjukan beberapa Lagu Keroncong bak dalam bahasa Belanda , Kreol (Campuran Portugis) dan juga bahasa Indonesia dengan musik yang mendayu-dayu. Sangat sedap dan menyegarkan di telinga alunan keroncong ini.   Sebelumnya Arthur juga memperkenalkan tim pemain musik serta penyanyi tamu yang kebetulan datang dari negeri Belanda. Keroncong Tugu ini juga sangat terkenal dan sering pentas baik di dalam negeri maupun Manca negara. 

Kue Kue: Dokpri
Kue Kue: Dokpri

Selain Keroncong Toegoe, ternyata ada sekitar 5 grup keroncong yang juga memainkan musik yang sama sekaligus melestarikan jenis music ini. Walau sering disebut music om-om atau opa-opa, music keroncong ternyata juga digemari oleh anak muda dan kaum remaja.

Cafe: Dokpri
Cafe: Dokpri

Tujuan terakhir kami hari itu adalah mampir ke rumah tempat berbagai jenis kuliner khas Kampung Tugu telah disiapkan sekaligus makan siang. Menu makan siang adalah Gado-Gado khas Kampung Toegoe dengan bumbu kacangnya yang lezat.  Selain itu juga ada kue sejenis Nagasari yang unik karena isinya pepaya, Kue apem dengan kinca dan juga ketan unti. Semua jenis kuliner ini kita coba dengan lahab nya. Wah ternyata sangat lezat sekaligus mengakhir kunjungan di Kampung Toegoe.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun