Tepat di depan seberang Stasiun Batu Tulis, angkot yang kami tumpangi dari Warung Laksa Pak Inin di Cihedeung berhenti, hanya sekitar beberapa puluh meter setelah melewati persimpangan jalan kereta api. Sebuah stasiun yang sangat sederhana dengan ukuran yang tidak terlalu besar. Â
Dari seberang, terlihat atapnya lengkap dengan genteng dan uniknya stasiun ini juga tembus pandang langsung ke peron dan rel dikarenakan sebagian besar bangunan ini tidak berdinding alias merupakan bangunan terbuka. Â
Jadi lebih mirip dengan gardu atau pos berukuran besar. Â Yang menandakan bahwa ini ada lah sebuah stasiun adalah lokasinya yang tepat berada di rel kereta api jalur ganda dan juga papan nama bertuliskan nama stasiun.
Kami menyeberang jalan dan masuk ke bangunan stasiun setelah membuka pagar dorong. Sebuah ruangan terbuka yang cukup nyaman dan ternyata lumayan luas. Ini adalah ruang tunggu penumpang  yang berlantai ubin warna putih dan langit-langit terbuka yang langsung terlihat gentingnya D
i sisi yang menghadap ke peron dan rel, dindingnya hanya tembok setinggi pinggang sementara yang mengadap ke jalan raya benar-benar terbuka. Â Di ruangan ini ada terdapat beberapa tempat duduk dan juga beberapa orang yang sedang duduk santai. Â
Apakah sedang menunggu kereta api atau mungkin hanya sekedar beristirahat. Ada dua orang yang kebetulan mengenakan seragam hijau ojek online tampak sedang sibuk dengan hape masing-masing. Di dekat tembok juga ada tempat untuk mengecas baterai hape sebagaimana sering kita lihat di setiap stasiun lainnya di tanah air.
Di sini Mbak Mutihah juga sekedar bercerita mengenai Stasiun Batutulis yang konon dibangun beberapa tahun setelah Stasiun Bogor pada era 1880-an.Â
Pembangunan Stasiun ini bersamaan dengan dibangunnya jalur kereta api Bogor Sukabumi di erah Hindia Belanda. Â Dijelaskan juga jika status stasiun Batutulis sebagai stasiun Kelas III dan juga sebagai cagar budaya.Â