Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen - Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Ini yang Terjadi Jika Pesawat Mengalami Mati Mesin Sewaktu Terbang

7 Juni 2023   09:36 Diperbarui: 7 Juni 2023   09:39 1535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bengawan Solo: Detik.com

Dengan makin majunya teknologi dan ilmu pengetahuan, transportasi udara menjadi salah satu moda perjalanan yang konon paling aman di dunia.  Hal ini dimungkinkan karena secara disain, pesawat sudah dirancang dengan memiliki banyak fitur keselamatan.  

Dalam bahasa yang lebih sederhana, sudah diperhitungkan jika suatu sistem mengalami kerusakan, maka akan ada sistem lain sebagai cadangan. Dan suatu kecelakaan yang fatal biasanya terjadi bila semua sistem cadangan tersebut tidak berfungsi.

Salah satu pertanyaan yang menarik untuk diulas adalah pertanyaan awam yang ingin mengetahui apa yang akan terjadi jika pesawat mengalami kerusakan mesing atau engine ketika sedang terbang?   Bagi pesawat bermesin ganda (dua) atau bahkan bermesin lebih dari dua baik tiga atau empat, tentunya diharapkan masih bisa terbang dengan mesin tersisa yang masih hidup.   Namun apa yang terjadi seandainya semua mesin mendadak mati?

Sebelum menjawab pertanyaan yang menarik ini, kita perlu kembali ke dasar pertanyaan mengapa pesawat bisa terbang?   Kalau jawabannya karena punya mesin, jelas jawaban ini kurang tepat walau tentunya bukan seratus persen salah.   

Yang menyebabkan pesawat terbang bisa mengangkasa adalah gaya angkat atau Lift yang dihasilkan oleh sayap atau wing.   Jadi selama pesawat tersebut masih memiliki sayap walaupun semua mesin mendadak mati, pesawat tersebut masih bisa mengudara alias terbang dan tidak jatuh begitu saja.  Kecuali kalau tiba-tiba saja sayapnya patah atau mengalami kerusakan.

Namun yang perlu diingat adalah bila pesawat kehilangan daya dorong atau thrust yang dihasilkan mesin, maka pesawat terbang tersebut secara perlahan akan kehilangan ketinggian (altitude) dan kemudian meluncur ke menurun yang dalam istilah penerbangan disebut dengan gliding.   Pertanyaannya sampai berapa jauh daya jelajah gliding ini, dan apakah pesawat tersebut akan mampu menemukan tempat untuk landing(mendarat) yang aman? 

Akan banyak faktor yang bisa mempengaruhi penerbangan emergensi ketika semua mesin telah mati atau flame out ini.  Bagaimana keadaan cuaca saat itu, bagaimana dengan keadaan situasi geografis di tempat pesawat tersebut sedang terbang, dan bagaimana juga kondisi pesawat dan krew pada saat ini. Semuanya mungkin terjadi, dan sudah banyak contoh pesawat yang bisa mendarat dengan selamat bahkan setelah semua mesin nya mati selama penerbangan.

Mari kita berkenalan dengan salah satu fitur yang ada pada setiap pesawat terbang dengan sayap tetap (Fixed Wing) yaitu Glide Ratio.   Glide Ratio ini adalah suatu angka yang menunjukkan perbandingan antara berapa jauh pesawat dapat melaju ke depan hingga kehilangan ketinggian.  Secara  matematis Glide Ratio adalah perbandingan berapa jauh pesawat melaju ke depan untuk setiap 1000 kaki kehilangan ketinggian.    

Glide Ratio ini berbeda-beda untuk setiap jenis pesawat dan juga konfigurasi ketika terbang. Pesawat ringan dengan sayap yang lebar biasanya memiliki Glide Ratio eyang lebih besar.  

Sebagai gambaran, sebuah pesawat Boing 747-200 memiliki Glide Ratio sekitar 15:1 sehingga jika pesawat ini kehilangan daya dorong dari keempat mesinnya pada ketinggian 10 Km (33.000 kak)i, maka ia akan dapat terbang sejauh sekitar 150 kilometer.    Pesawat Cesna 172 misalnya memiliki Glide Ratio sekitar 12:1. 

Pertanyaannya adalah apakah pesawat B747-200 tadi mampu menemukan tempat mendarat yang aman dalam jangkauan 150 kilometer sebelum dia kehilangan ketinggian. Dan apakah pesawat tersebut masih bisa dikendalikan dengan baik tanpa tenaga dari mesin?

Pada contoh di atas kita menggunakan contoh sebuah Boeing 747, yang merupakan pesawat bermesin empat alias Quadjet.   Tentunya secara probabilitas, makin banyak mesin yang ada pada pesawat maka makin kecil kemungkinan ke empat mesinnya gagal atau mati semua.   Dan untuk pesawat yang hanya memiliki dua mesin atau Twinjet tentunya kemungkinan dua mesin mati jauh lebih besar dibandingkan dengan keempat mesin mati semua.

Dengan pertimbangan di atas pula maka muncul konsep ETOPS untuk pesawat yang hanya memiliki twin engine atau dua mesin.   Konsep ETOPS  atau Extended Range Twin engine OperationsPerforance Standard ini memberikan rambu-rambu keselamatan bagi pesawat yang hanya memiliki dua mesin dalam keadaan satu mesin mati hingga diusahakan dapat menemukan tempat mendarat dengan selamat.

Sekarang kita kembali ke Glide Ratio dan apakah ada contoh peristiwa nyata suatu pesawat dapat mendarat dengan selamat ketika mengalami semua mesin mati mendadak dalam penerbangan. Ternyata cukup banyak kisah yang dapat dijadikan contoh.  Salah satunya adalah insiden yang terkenal dengan Gimli Glider, yatu ketika sebuah Boeing 767 milik Air Canada haus mendarat darurat karena kedua mesinnya mati disebabkan kekurangan bahan bakar dalam penerbangan dari Montreal ke Edmonton pada 23 juli 1983.

Penerbangan Air Canda AC 143 ini mulai mengalami masalah saat terbang pada ketinggian 41 ribu kaki (Sekitar 12.500 Meter) ketika mesin sebelah kiri mendadak mati. Dan ketika mencoba melakukan pendaratan darurat menuju Winnipeg dengan atau mesin, ternyata mesin kanan pun mati di ketinggian sekitar 35 Ribu Kaki.  

Dengan estimasi Glide Ratio sekitar 12:1, maka diperkirakan pesawat tidak akan bisa mencapai Winnipeg sehingga kapten pilot memutuskan pesawat untuk melakukan pendaratan darurat di Gimli, sebuah  landasan milik Royal Canadian Airforce di Manitoba yang saat itu sudah tidak digunakan lagi.  Bahkan di lokasi tersebut sering diadakan balapan motor.    Namun pilot sukses mendaratkan pesawat dan hanya beberapa orang yang menderita luka ringan ketika pesawat mendarat.

Selain pesawat Air Canada ini, masih ada beberapa contoh pendaratan darurat ketika pesawat kehilangan daya dari mesin, misalnya saja pesawat TACA, Boeing 737-300 nomor penerbangan TA110 yang kehilangan power dalam penerbangan dari Belize ke New Orleand pada 24 Mei 1988, dan yang juga tidak kalah heroik adalah kisah penerbangan US Airways 1549 yang mengalami mati mesin karena bird strike ketika baru saja lepas landar dari bandara La Guardia di New York dengan tujuan  Bandara Charlotte Douglas, Charlote, North Carolina pada 15 Januari 2009.

US Airways: Kompas.com
US Airways: Kompas.com

Pesawat A320 yang naas ini baru saja lepas landas sekitar tiga menit ketika menabrak kawasan Angsa Kanada dan kedua mesin mati mendadak pada ketinggian sekitar 850 meter saja.   

Dalam ketinggian yang sangat rendah pilot akhirnya memutuskan mendaratkan pesawat ke Sungai Hudson dan beruntung semua penumpang dan awak selamat. Kisah yang heroik ini kemudian  diceritakan kembali dalam sebuah film berjudul Sully sesuai dengan nama kapten pilot yaitu Chesley "Sully" Sullenburger.  

Selain itu kita juga tentu ingat akan sebuah pesawat Garuda yang pernah mendarat di Sungai Bengawan Solo?  Pesawat Boeing 737-300 yang terbang dari Ampenan menuju Yogyakarta pada 16 Januari 2002 ini mengalami cuaca buruk dan ketika pilot terbang di celah-celah badai kedua mesinnya mati dan akhirnya harus mendarat darurat di Bengwan Solo.  Semua penumpang selamat kecuali satu orang pramugari yang sempat hilang dan baru ditemukan beberapa saat kemudian.

Bengawan Solo: Detik.com
Bengawan Solo: Detik.com

Pertanyaan menariknya adalah bagaimana pilot dapat mengendalikan pesawat jika semua mesin sudah mati.  Flight Control yang biasanya digerakan dengan tenaga hidraulik pasti akan kehilangan sumber tenaganya. 

Nah di sini kita harus berterima kasih kepada semua alat yang bernama RAT (Ram Air Turbine), yang merupakan sebuah tubin darurat yang akan keluar jika semua mesin mati untuk memberikan tenaga darurat buat sistem hidraulik menggerakkan flight control dan juga tenaga untuk beberapa instrumen vital yang membantu pilot mendaratkan pesawat.

Dan sebagai penutup, ada sebuah istilah yang umum digunakan dalam situasi pendaratan darurat ketika semua mesin mati. Yaitu Deadstick Landing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun