Pertanyaannya adalah apakah pesawat B747-200 tadi mampu menemukan tempat mendarat yang aman dalam jangkauan 150 kilometer sebelum dia kehilangan ketinggian. Dan apakah pesawat tersebut masih bisa dikendalikan dengan baik tanpa tenaga dari mesin?
Pada contoh di atas kita menggunakan contoh sebuah Boeing 747, yang merupakan pesawat bermesin empat alias Quadjet. Â Tentunya secara probabilitas, makin banyak mesin yang ada pada pesawat maka makin kecil kemungkinan ke empat mesinnya gagal atau mati semua. Â Dan untuk pesawat yang hanya memiliki dua mesin atau Twinjet tentunya kemungkinan dua mesin mati jauh lebih besar dibandingkan dengan keempat mesin mati semua.
Dengan pertimbangan di atas pula maka muncul konsep ETOPS untuk pesawat yang hanya memiliki twin engine atau dua mesin. Â Konsep ETOPS Â atau Extended Range Twin engine OperationsPerforance Standard ini memberikan rambu-rambu keselamatan bagi pesawat yang hanya memiliki dua mesin dalam keadaan satu mesin mati hingga diusahakan dapat menemukan tempat mendarat dengan selamat.
Sekarang kita kembali ke Glide Ratio dan apakah ada contoh peristiwa nyata suatu pesawat dapat mendarat dengan selamat ketika mengalami semua mesin mati mendadak dalam penerbangan. Ternyata cukup banyak kisah yang dapat dijadikan contoh. Â Salah satunya adalah insiden yang terkenal dengan Gimli Glider, yatu ketika sebuah Boeing 767 milik Air Canada haus mendarat darurat karena kedua mesinnya mati disebabkan kekurangan bahan bakar dalam penerbangan dari Montreal ke Edmonton pada 23 juli 1983.
Penerbangan Air Canda AC 143 ini mulai mengalami masalah saat terbang pada ketinggian 41 ribu kaki (Sekitar 12.500 Meter) ketika mesin sebelah kiri mendadak mati. Dan ketika mencoba melakukan pendaratan darurat menuju Winnipeg dengan atau mesin, ternyata mesin kanan pun mati di ketinggian sekitar 35 Ribu Kaki. Â
Dengan estimasi Glide Ratio sekitar 12:1, maka diperkirakan pesawat tidak akan bisa mencapai Winnipeg sehingga kapten pilot memutuskan pesawat untuk melakukan pendaratan darurat di Gimli, sebuah  landasan milik Royal Canadian Airforce di Manitoba yang saat itu sudah tidak digunakan lagi.  Bahkan di lokasi tersebut sering diadakan balapan motor.   Namun pilot sukses mendaratkan pesawat dan hanya beberapa orang yang menderita luka ringan ketika pesawat mendarat.
Selain pesawat Air Canada ini, masih ada beberapa contoh pendaratan darurat ketika pesawat kehilangan daya dari mesin, misalnya saja pesawat TACA, Boeing 737-300 nomor penerbangan TA110 yang kehilangan power dalam penerbangan dari Belize ke New Orleand pada 24 Mei 1988, dan yang juga tidak kalah heroik adalah kisah penerbangan US Airways 1549 yang mengalami mati mesin karena bird strike ketika baru saja lepas landar dari bandara La Guardia di New York dengan tujuan  Bandara Charlotte Douglas, Charlote, North Carolina pada 15 Januari 2009.
Pesawat A320 yang naas ini baru saja lepas landas sekitar tiga menit ketika menabrak kawasan Angsa Kanada dan kedua mesin mati mendadak pada ketinggian sekitar 850 meter saja. Â Â
Dalam ketinggian yang sangat rendah pilot akhirnya memutuskan mendaratkan pesawat ke Sungai Hudson dan beruntung semua penumpang dan awak selamat. Kisah yang heroik ini kemudian  diceritakan kembali dalam sebuah film berjudul Sully sesuai dengan nama kapten pilot yaitu Chesley "Sully" Sullenburger. Â
Selain itu kita juga tentu ingat akan sebuah pesawat Garuda yang pernah mendarat di Sungai Bengawan Solo? Â Pesawat Boeing 737-300 yang terbang dari Ampenan menuju Yogyakarta pada 16 Januari 2002 ini mengalami cuaca buruk dan ketika pilot terbang di celah-celah badai kedua mesinnya mati dan akhirnya harus mendarat darurat di Bengwan Solo. Â Semua penumpang selamat kecuali satu orang pramugari yang sempat hilang dan baru ditemukan beberapa saat kemudian.