Selain bank dan toko-toko , rumah Taipan Lim Sui Liong, sobat kental Presiden Suharto juga dijarah oleh masa. Gelombang eksodus pun mulai terlihat di jalan tol menuju bandara ketika mereka dalam suasana panik berharap dapat mendapatkan tempat duduk di pesawat yang menuju ke Singapura atau Hong Kong.
Dari atap hotel bertingkat tinggi di tengah-tengah Jakarta, kota berpenduduk 10 juta jiwa ini tampak seperti neraka yang luas. This city of 10 million looked like a vast inferno. Asap tebal berlomba-lomba menembus langit, dan setiap beberapa menit timbul titik api kebakaran yang baru.  Tampak juga helikopter polisi  terbang berpatroli, sementara di bawah, di jalan-jalan suara raungan ambulans mencoba membuka jalan di antara massa yang bertepuk tangan dan bernyanyi di setiap persimpangan jalan. Ketika matahari akan tenggelam,  di tengah-tengah segala kekacauan itu, suara azan pun menyeruak dari masjid-masjid di seantero kota.
Ketika sore menjelang, Jakarta seperti kota yang terkepung. Sebagian penjaga toko mulai menyemprotkan cat bertuliskan kata "Pribumi" di pintu dan jendela yang tertutup rapat. Â Tentara dan polisi menjaga gedung-gedung pemerintahan dan universitas. Para perusuh dan penjarah seakan-akan bebas melampiaskan kemarahan dan nafsu merusak mereka di seantero kota, bahkan meringsek ke kawasan pusat kota seperti Jalan M.H Thamrin. Sebuah Department Store di dekat Hotel Sari Pan Pacific juga tidak luput dari penjarahan. Kaca-kaca jendela dipecahkan dan isinya dijarah.
Suharto dan keluarganya juga menjadi target kemarahan. Kantor Departemen Sosial yang dipimpin oleh putri tertua Suharto (Mbak Tutut) juga tidak lepas dari perusakan. Â Menjelang matahari tenggelam, ratusan orang berkumpul di depan Hotel Grand Hyatt yang dimiliki oleh konglomerat yang dikendalikan oleh salah satu putra Suharto, Bambang Tri. Mereka meneriakkan slogan anti Suharto. Tidak lama kemudian, pasukan tank pun tiba dan membubarkan orang-orang ini.
Membaca kembali berita koran  The New York Times yang ditulis pada 15 Mei 1998 ini seakan membawa kita kembali ke masa 25 tahun yang lalu. Ke masa yang kelam dan mengerikan dan penuh tantangan.  Masa yang menandakan runtuhnya Orde Baru. Suatu masa pemerintahan selama 32 tahun yang hingga kini tetap penuh dengan kontroversi.  Dihujat sekaligus dipuja.  Suatu masa pemerintahan yang diawali oleh tragedi dan diakhiri juga dengan tragedi yang memilukan.Â
Semoga peristiwa kelam ini tidak akan terulang lagi dan kita semua dapat belajar dari sejarah. Â Setiap kekerasan biasanya akan merugikan semua pihak. Tentunya kita tidak mau lagi ada berita yang menyatakan bahwa Jakarta adalah neraka yang luas. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H