Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen - Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Kisah Zweimal Kaffe yang Tak Terlupakan dari Jerman Barat

12 Mei 2023   15:04 Diperbarui: 12 Mei 2023   15:10 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Marienplatz: Muenchen.de

Belajar berbagai bahasa asing merupakan hobi yang menyenangkan dan sudah dimulai sejak saya berusia belia.  Ada yang melalui kursus dan ada pula yang swabelajar melalui buku-buku yang dibeli di toko buku,  pasar loak, maupun meminjam di berbagai perpustakaan.  

Saat masih kuliah di Fakultas Teknik di suatu universitas negeri di Yogyakarta dulu, selain meminjam buku-buku sesuai dengan mata kuliah, saya juga sangat senang meminjam buku-buku pelajaran bahasa asing yang ada di perpustakaan pusat.  Ada buku berbahasa Spanyol, Rusia dan juga Jerman.  Tiga  bahasa ini yang pada awalnya sangat saya suka. Bahasa Rusia sendiri walau sangat susah belajarnya tetapi memiliki aksara yang Sirilik yang menarik karena bentuknya terbalik-balik.   Bahasa Jerman sendiri sudah sering dipelajari secara mandiri sejak SMA.

Kecintaan akan belajar bahasa ini terus berlanjut bahkan hingga saya sudah bekerja di Jakarta beberapa tahun kemudian.  Kali ini bukan hanya swabelajar melalui buku-buku, melainkan saya ikut kursus bahasa asing tersebut.  Salah satunya adalah agar lebih mudah dan serius belajarnya.  Pada zaman itu tentu saja belum ada internet sehingga kesulitan belajar sendiri yang paling utama adalah ucapan yang benar.   Akhirnya ada beberapa bahasa yang saya pelajari dengan kursus langsung. Selain bahasa Inggris, saya juga kursus bahasa Jerman di Goethe Institute.  Walau pernah belajar sendiri, kursus seminggu dua kali yang dilakukan pada sore hari ini dimulai dari dasar. 

Untuk satu tingkat belajar memakan waktu sekitar 3 atau 4 bulan dan di adakan di Goethe Institute di Jalan Sam Ratulangi, Menteng dan kemudian pada tingkat berikutnya diadakan di Jalan Matraman.  Saya akhirnya bisa menyelesaikan kursus sampai  mendapatkan sertifikat Deutsch Als Fremde Sprache.   Pada saat itu lumayan untuk sekedar bisa membaca majalah Der Spiegel atau surat khabar Sddeutsche Zeitung, walau masih banyak kosa kata yang harus mengintip di kamus.  

Ternyata kesempatan untuk berkunjung ke Jerman akhirnya dapat dilaksanakan pada 1989.  Ketika itu berkunjung ke Jerman Barat masih dapat dilakukan tanpa visa dan kita dapat tinggal selama tiga bulan.  Perjalanan ini adalah bagian dari perjalanan keliling dunia saya yang pertama karena di mulai dari Jakarta menuju Los Angeles, dan setelah itu masuk ke benua Eropa melalui Amsterdam.  

Kota pertama yang saya kunjungi adalah sebuah kota di Bavaria yang terletak di Jerman bagian Selatan, yaitu Munich atau Munchen.  Nah ternyata surat khabar yang sering saya baca tadi juga diterbitkan di kota ini.  Kebetulan saat itu sekitar akhir November dan salju sudah mulai turun di sebagian kota Munchen. Terutama ketika saya berkunjung ke berbagai kastil yang indah di ibukota Bavaria ini seperti Neues Schloss Schleissheim dan Nymphenburg Palace.  Di Munich ini saya tentu saja sangat senang karena bisa mempraktekkan bahasa Jerman yang selama ini hanya dipelajari di buku dan di tempat kursus saja.

Kebetulan kedatangan di Munich bertepatan dengan hari Minggu dan barulah saya tahu bahwa semua toko di Jerman tutup di saat hari Minggu.  Salah satu tempat menarik di Munchen adalah kawasan pusat kota yang terkenal yaitu Marienplatz dengan Rathaus yang berarsitektur Neogotik. Di sini ada sebuah lonceng yang Bernama Glockenspiel dan berdentang setiap pukul 11 dan 12 siang.  Dilapangan ini pula biasanya festival minum bir paling terkenal di dunia, Oktoberfest diadakan setiap tahun.

Setelah beberapa hari di Munich, perjalanan di Jerman dilanjutkan menuju kota terbesar di Jerman Barat kala itu yaitu Frankfurt.  Kalau menuju Munich dari Amsterdam, saya naik pesawat KLM, maka kali ini dari Munich menuju Frankfurt, saya naik pesawat milik Jerman yaitu Lufthansa.   Penerbangan singkat ini sanga unik, karena pramugari tidak menyediakan makanan di dalam pesawat, tetapi snack dan buah bisa diambil bersamaan ketika kita naik pesawat atau boarding.    Di dalam pesawat ini pula saya berkesempatan mempraktikkan bahasa Jerman dengan meminta Apfelsaft saft alias Jus Apel dari pramugari yang hanya menawarkan minuman saja.

Kebetulan saya menginap di sebuah hotel yang jaraknya bisa ditempuh dengan berjalan kaki dari Hauptbahnhoft atau stasiun pusat di Frankfurt.  Untuk menuju stasiun ini dari bandara juga sangat muda karena tepat di bawah bandara ada stasiun kereta api yang bernama Flughaven.  Kata flughaven sendiri berarti bandara.   Nah sama seperti di Amsterdam, naik kereta api di Jerman juga pada umumnya tidak ada pemeriksaan tiket dan lebih kepada unsur kepercayaan dan kesadaran masyarakat untuk membeli tiket sebelumnya. 

Frankfurt atau lengkapnya Frankfurt Am Main adalah salah satu kota favorit saya karena merupakan tempat kelahiran salah seorang sastrawan Jerman yang paling terkenal yaitu Johan Wolfgang von Goethe.  Dari namanya pula tempat saya belajar bahasa Jerman Goethe Institut diambil.  Ada beberapa karya Goethe yang pernah saya baca atau saksikan pertunjukan teaternya dan salah satunya adalah Faust yang menceritakan seorang lelaki yang menjual jiwanya kepada iblis.

Saya masih ingat pernah menonton pertunjukkan teater musikal berjudul Faust et Rangda yang merupakan kolaborasi seniman Perancis dan Bali dengan kisah yang menggabungkan kisah Faust yang menggadaikan ruhnya serta Rangda, mitologi dari Bali yang melambangkan kejahatan dalam perwujudan ratu para leak yang konon sering memakan anak kecil.   Kalau tidak salah pertunjukkan ini pernah lihat di Taman Ismail Marzuki sekitar tahun 1987 atau 1988, beberapa tahun sebelum kunjungan saya ke Frankfurt.   

Frankfurt, selain terkenal sebagai salah satu kota paling modern di Jerman Barat kala itu dengan kumpulan pencakar langit dan juga merupakan pusat perbankan di Eropa, juga masih terdapat kota tua yang disebut Altstadt dan masih di sekitar kawasan ini juga terdapat Romerberg Square, yang merupkaan sebuah lapangan atau plaza tempat terdapat deretan bangunan-bangunan dari abad pertengahan yang cantik dengan arsitekturnya yang khas, salah satunya adalah Der Rmer, yang sejak abad ke 15 sudah berfungsi sebagai Rathaus atau Balai Kota Frankfurt.  

Nah di sekitar sini pula kita dapat mampir ke rumah kelahiran Goethe yang sekarang berfungsi sebagai museum dan disebut dengan nama Goethe Haus. Kunjungan ke Frankfurt memang terasa belum lengkap jika tdak mampir ke sini.  

Pada masa itu, kunci kamar masih manual dan belum ada kunci elektronik yang menggunakan kartu seperti sekarang dan ketika mengambil kunci, kita harus meminta kepada resepsionis hotel dan saya masih ingat nomor kamar saya yaitu 56 dan saya selalu meminta kunci dengan nomor  sechsundfnfzig dalam bahasa Jerman.

Namun ketika mampir di suatu kedai kopi dan memesan kopi saya belajar lagi suatu istilah yang selama ini belum sempat saya ketahui.  Ketika memesan dua cangkir kopi saya hanya menjawab dengan zwei kaffee bitte.  Yang langsung dikoreksi oleh pelayan dengan mengatakan zweimal kaffee.   Semenjak saat itu setiap kali memesan makanan dan minuman saya selalu menyebutkan einmal atau zweimal dan baru dilanjutkan dengan makanan atau minuman yang kita pesan. 

Siapa sangka pengalaman langsung belajar di negeri Jerman memang lebih membekas dibandingkan dengan hanya belajar melalui kursus atau buku.   Nah sejak saat itu, saya kemudian mendapat banyak kesempatan untuk berkunjung ke negeri-negeri atau kota dimana kita bisa bicara bahasa Jerman. Baik di Hamburg, Berlin, Koln, Bonn, dan berbagai kota di Austria sepeti Wina dan Salzburg atau bahkan di Swiss seperti di Zurich.  Di sini lah saya dapat mempraktikkan bahas Jerman untuk berbicara dengan sopir taksi atau ketika memesan makanan dan minuman di restoran.  

Dan kata zweimal kaffee tidak akan pernah saya lupakan hingga saat ini walau kemampuan bahasa Jerman saya tetap statis.   Lebih banyak bisa membaca dibandingkan berbicara.   Hal ini membuktikan bahwa pengalaman sering kali lebih berharga dibandingkan belajar melalui buku saja. Bahkan belajar dan kursus hingga mendapat sertifikat saja masih belum cukup untuk mengetahui istilah yang sederhana seperti memesan dua cangkir kopi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun