Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen - Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Islam di Tiongkok dan Kontroversi Uyghur

3 Mei 2023   21:54 Diperbarui: 3 Mei 2023   22:12 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tiongkok dan Islam bagaikan minyak dan air, Keduanya tidak akan pernah Bersatu, demikian pandangan sebagian besar masyarakat Indonesia yang kalau sejenak diperhatikan memang sulit dibantah kebenarannya.  Tiongkok identik dengan komunisme dan komunisme identik dengan anti agama alias tentu saja anti Islam.

Pertanyaan ini pula yang sering ditanyakan kepada saya dari sahabat dan kerabat ketika sedang berbincang-bincang tentang Tiongkok. Bahkan sering pula meluas hingga ke keberadaan kereta cepat Jakarta Bandung yang menurut rencana akan beroperasi beberapa bulan lagi.  Banyak yang menyatakan tidak akan mau naik kereta ini atau paling tidak menunggu beberapa bulan dan melihat bagaimana safety recordnya.

Namun pertanyaan yang paling sering diajukan adalah bagaimana perlakuan pemerintah Tiongkok atas umat Islam etnis Uyghur di Xinjiang yang menurut sebagian berita mengalami persekusi dan bahkan hingga genosida.  Suatu pertanyaan yang memang sangat sulit dijawab, apalagi kalau kita tidak pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri. 

Demikianlah, untuk pertanyaan yang tidak bisa dijawab, maka ada baiknya tidak menjawab dan hanya menjawab berdasarkan sumber-sumber berita yang dapat dipercaya. Sementara untuk hal-hal yang pernah dialami berdasarkan pengalaman pribadi tentunya dapat diceritakan dengan apa adanya.

Tiongkok dan Islam memang memiliki banyak dimensi yang sangat kompleks dan kadang penuh kontroversi seperti yang sudah diuraikan di atas. Akan tetapi hal ini pun tidak menutup kenyataan bahwa Islam merupakan salah satu agama yang ada di Tiongkok sejak lebih 1300 tahun lalu dan memiliki cukup banyak pemeluknya.  Konon ada sekitar 30 Juta pemeluk Islam di Tiongkok dan bahkan bisa mendekati angka 50 juta. 

Islam pertama kali masuk ke Tiongkok pada masa Dinasti Tang dan kemudian berkembang pesat saat Dinasti Yuan dan terus mengalami pasang surut saat Dinasti Ming dan Ching.  

Ketika Dinasti Ching runtuh dan Tiongkok menjadi republik, Islam terus berkembang di Tiongkok hingga mengalami masa sangat kelam di masa Revolusi Kebudayaan pada 1966 hingga 1976.  Namun ketika Tiongkok mulai menjadi lebih terbuka sesudah meninggalnya Mao dan naiknya Deng Xiao Ping, kehidupan beragama mulai kembali marak, demikian juga dengan Islam di Tiongkok.

Secara etnis ada 10 kelompok minoritas yang memeluk ISlma di Tiongkok yaitu, Hui, Uyghur, Kazhak, Dongxiang, Kyrgyz, Uzbek,  Salar, Tajik,  Bonan, dan Tatar yang kebanyakan bertempat tinggal di Xinjiang, Ningxia, Gansu, dan Qinghai. 

Namun penduduk muslim juga tersebar di seluruh kota-kota besar di berbagai provinsi di seluruh Tiongkok.  Saat ini hampir semua kota-kota besar di Tiongkok memiliki masjid-masjid baik yang sudah berusia lebih seribu tahun maupun baru saja dibangun.

Bahkan salah satu masjid yang dianggap paling tua di Tiongkok adalah Masjid Huaisheng di Guangzhou yang menurut catatan dibangun oleh salah seorang sahabat Nabi Saad bin Abu Waqqas pada Tahun 627.   

Sementara salah satu masjid yang paling besar dan indah di Tiongkok terapat di Xian yang merupakan ibukota beberapa dinasti termasuk DInasti Tang yang ketika itu terkenal dengan nama Chang An. Great Mosque of Xian ini dibangun pada tahun 742 dan hingga kini merupakan salah satu masjid paling indah di Tiongkok.

Sementara itu, di Beijing juga terapat Masjid Niujie yang dibangun pada 996 dan keindahan arsitekturnya menjadi inspirasi Masjid Chengho yang banyak tersebat di berbagai kota di Nusantara seperti Surabaya, Palembang dan masih banyak lagi.   Laksamana Cheng Ho sendiri dianggap sebagai salah satu pejabat dari Dinasti Ming yang ikut menyebarkan agama Islam di Nusantara pada abad ke XV.

Penulis sendiri sudah sempat berkunjung ke beberapa kota di Tiongkok baik Guangzhou, Shenzhen, Guilin, Beijing, Hangzhou, Shanghai, Nanjing, Xiamen, Quanzhou, Chengdu, Tianjin dan mampir ke berbagai masjid yang terkenal seperti Masjid Niujie di Beijing, Qingjing di Quanzhou, XIaotauyuan di Shanghai, Jinjue di Nanjing, dan juga Huangcheng di Chengdu. 

Di masjid-masjid ini kita bisa melihat bahwa kehidupan umat Islam di Tiongkok sama sekali tidak mengalami pembatasan dan persekusi seperti yang sering diberitakan.  Namun tentu saja belum menjawab tentang kehidupan etnis Uyghur di Xinjiang.

Kalau kita belum memiliki kesempatan untuk berkunjung langsung ke Tiongkok apalagi ke Xinjiang, tentu nya saat ini cukup banyak sumber baik berupa buku, artikel ataupun berita di website yang dapat kita simak.   Untuk berita di website, tentunya harus memilah dan tidak mudah percaya kepada satu sisi saja. Karena kadang ada pemberitaan yang sangat negatif bila kita merujuk ke satu pihak sementara ada lagi berita yang sangat positif jika kita merujuk ke pihak yang lain.  

Kembali ke kebebasan beragama di Tiongkok, memang sangat menarik untuk dibahas. Dari berbagai sumber, ternyata dalam konstitusi Tiongkok sendiri yaitu pasal 36 UUD Tiongkok versi tahun 1982 menyatakan bahwa setiap warga negara dijamin kebebasan untuk memeluk dan menjalankan agamanya masing-masing tanpa paksaan dari siapa pun.  

Kebebasan Beragama ini pun mencakup kebebasan untuk tidak beragama.  Namun memang ada syarat dalam kebebasan beragama ini yang disebut dengan normal religious activities yaitu  kegiatan agama yang normal dan dimaknai bahwa tidak seorang pun boleh menggunakan agama untuk kegiatan yang bisa membahayakan ketertiban umum .

Singkatnya kebebasan beragama tetap dijamin selama tidak ada kegiatan yang mencampurkan politik dengan agama atau kebebasan beragama di Tiongkok memang masih terbatas jika dibandingkan dengan di Indonesia, misalnya saja di Tiongkok sebagai negara komunis, tentu saja tidak diizinkan untuk mendirikan partai berdasarkan agama dan kegiatan sejenisnya.

Sehubungan dengan Uyghur dan Xinjiang, kita juga harus menyadari bahwa Xinjiang merupakan provinsi yang sekarang memiliki status daerah otonom dan memiliki sejarah panjang yang penuh pergolakan.  Xinjiang juga merupakan provinsi yang sangat luas karena memiliki luas sekitar 1.6 wilayah Tiongkok dengan kekayaan alam yang sangat luar biasa. 

Selain keindahan alamnya, banyak mineral, minyak dan bahkan giok atau juga ada di Xinjiang.   Tiongkok tentu saja tidak mau kehilangan Xinjinag karena ternyata banyak sekali Gerakan separatis yang ingin Xinjiang merdeka. 

Kegiatan kekerasan juga sering terjadi atas nama kemerdekaan Xinjiang seperti peristiwa serangan di Stasiun Kereta Api di Kunming pada 2014 yang menewaskan puluhan orang. Belum lagi berbagai peristiwa kerusuhan di Xinjiang.  Ada yang bilang, bahwa Indonesia dan Tiongkok memiliki kesamaan yaitu antara Papua dan Xinjiang.  Tentu saja pendekatan dan kebijakan yang diambil pemerintah Indonesia tidak sama dengan yang diambil oleh pemerintah Tiongkok.

Walaupun begitu, seiring dengan kemajuan ekonomi dan teknologi di Tiongkok, Xinjiang juga terus berubah. Bahkan sejak 2014,  kereta cepat  juga  sudah hadir di Urumqi, ibu kota Xinjiang sehingga dari Lanzhou, di Provinsi Gansu, kita bisa berkunjung ke Urmqi yang jaraknya sekitar 1800 kilometer melewati Xining di Qinghai dalam waktu yang lebih singkat.   

Konon kereta cepat ini juga merupakan kereta cepat tertinggi di dunia karena melewati kawasan dengan ketinggian lebih dari 3000 meter dari permukaan laut.  Dan dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat di Xinjiang diharapkan Gerakan separatis akan kian memudar.  

Selain itu etnis minoritas di Tiongkok bahkan memiliki banyak keistimewaan yang tidak dimiliki oleh etnis Han.  Salah satunya adalah ketika Tiongkok menerapkan kebijkan satu anak atau One Child Policy, maka etnis minoritas seperti Uyghur dan Hui dibebaskan dari kebijakan ini.  

Kebijakan ini pula yang menyebabkan pertumbuhan umat Islam di Tiongkok sendiri relatif lebih cepat dibandingkan etnis Han yang umumnya non muslim atau ateis.    

Kebijakan Satu Anak ini sendiri terbukti menyebabkan masalah demografi yang rumit sehingga sejak 2016 mulai dilonggarkan dan setiap pasangan diizinkan untuk memiliki dua anak. Bahkan sejak 2021 setiap pasangan didorong untuk mempunyai tiga anak.

Tentu saja hal seperti ini masih belum bisa menghilangkan berita-berita miring mengenai larangan beribadah, larangan berpuasa, hingga adanya kamp konsentrasi sejuta orang etnis Uygur di Xinjiang. Benar atau tidaknya, rasanya tetap sulit untuk diungkap dan tetap saja diserahkan kepada keyakinan masing-masing.

Sekarang persoalannya dikembalikan kepada setiap pembaca, akan percaya berita versi yang mana. Versi persekusi hingga  kamp konsentrasi dan genosida, atau versi pemerintah Tiongkok yang lebih ramah mengenai  training dan  pelatihan agar etnis Uyghur memiliki keterampilan dan keahlian yang pada gilirannya dapat meningkatkan perekonomian mereka.

Terima kasih sudah membaca dan silakan memberi komentar di kolom yang tersedia.

Penulis adalah traveller yang sudah kerap kali berkunjung ke Tiongkok dan juga Alumni Sekolah Kajian Strategik dan Global, Kajian Timur Tengah dan Islam, Universitas Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun