Saya kemudian berjalan mengeliling masjid dan melihat berbagai bangunan yang masih menjadi bagian kraton, Mungkin perkantoran atau bisa juga tempat kediaman pribadi.  Di sudut lain ada beberapa kendaraan roda empat yang parkir  dan kebanyakan nomor polisinya berasal dari luar daerah Yogya, seperti dari bali, Semarang, maupun Bengkulu.
Di belakang masjid ada sebuah taman yang cukup luas dan diberi pagar. Â Di sini ada sebuah monumen atau prasasti batu yang cukup besar.Â
"Sri Sultan Hamengku Buwono IX Mengambi Besar Jendral Prakarsa Serangan Oemoem 1 Maret 1949 dan Disetujui Panglima  Besar Jendral Soedirman."  Yogyakarta  29.6.2000    Demikian tertulis besar-besar pada batu prasasti yang ukurannya lumayan besar itu.  Dan di bagian kaki prasasti tersebut tertulis "Lokasi pertemuan Sri Sultan dengan Komandan WK III," diikuti dengan tanda panah yang menunjukkan arah ke kawasan yang saya lihat sebelumnya.
Ternyata prasasti dari batu yang diresmikan pada Juni 2000 ini seakan-akan dibuat untuk menegaskan kembali peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 yang menurut sejarah ingin membuktikan kepada dunia bahwa Republik Indonesia dan juga Tentara Nasional Indonesia masih eksis. Â Sebuah peristiwa yang banyak dikenang baik dalam film baik film Janur Kuning , Enam Jam di Jogja.Â
Keberadaan prasasti  atau lebih tepatnya tetenger ini mengingatkan saya akan sebuah Monumen yang jauh lebih megah dan kolosal yang ada di kawasan Titik Nol Kilometer di pusat Kota Yogya, yaitu Monumen Serangan Umum 1 Marta 1949.   Monumen ini diresmikan pada tahun 1973, lima tahun setelah orde baru berkuasa dan ternyata setelah Orde Baru runtuh, banyak yang berkomentar bahwa peran Suharto sendiri terlalu dilebih-lebihkan pada peristiwa bersejarah tersebut. Apakah Prasasti di dekat kraton ini untuk menanggapi Monumen yang ada di Titik Nol ?  Biarlah nanti waktu yang membuktikan.
Nah tidak jauh dari prasasti batu ini, saya kembali menemukan sebuah monumen berbentuk jam yang sudah ada lebih dahulu. Â Sebuah jam yang pagi itu menunjukkan waktu pukul 7.25 pagi . Â Sebuah jam berbentuk bulat dalam ukuran besar yang di atasnya terdapat lambang kesultanan Yogyakarta. Â Di bawah tugu jam ada sebuah arca ganesha.
Di bawah jam  yang sering disebut Negajam Keben ini ada prasasti yang ditulis dalam empat bahasa. Yaitu huruf Jawa hanacaraka, Bahasa Indonesia, Huruf Kanji, dan Bahasa Inggris.
"Persembahan dari paguyuban para pegawai pemerintahan dan masyarakat Tionghoa yang bertempat tinggal  di wilayah Ngayogyakarta Hadiningrat, dalam rangka memperingati hari penobatan Sri Sultan  Hamengku Buwono VIII tepat dua windu, pada hari Senin Wage, Tanggal 29 bulan Jumadilawal Tahun Alip 1867 atau 17 Agustus 1936," demikian tertulis  pada prasasti tersebut.
Pada bagian paling bawah prasasti tertulis :