Pagi  itu setelah mampir sejenak ke Kauman, lalu muncul di Majid Gedhe dan  Alun-alun Utara, saya melanjutkan jalan kaki ke selatan. melewati Museum Kereta Kraton Yogyakarta yang sekarang bernama Wahanarata.  Museum ini ternyata terdapat di kawasan Kagungan Dalem Wahanarata.  dan saat ini masih dalam periode soft launching sehingga memberikan diskon 20% untuk tiket masuk.Â
Di sebelahnya juga ada Kantor Kemantren Kraton yang terletak di Jalan Rotowijayan.  Kemantren merupakan istilah khusus di Yogya yang setingkat dengan kecamatan di daerah lain di Indonesia.  Di sini kebetulan ada spanduk Pemilihan Dimas Diajeng Kota Jogja 2023. Dimas Diajeng ini sama seperti Abang dan None untuk kota Jakarta.  Juga ada tulisan  Sulih Pulih Luwih yang merupakan slogan untuk HUT kota Yogyakarta ke 266 pada Oktober 2022 lalu.  Sulih Puih Luwih bermakna akan semangat untuk berpindah ke keadaan normal yang kondusif dan lebih baik.Â
Saya kemudian berjalan belok kiri menuju ke halaman Kraton atau lebih lebih tepatnya pelataran yang Bernama Kamandungan Lor. Biasanya suasana di sini sangat ramai dengan wisatawan baik asing maupun domestik yang akan berkunjung. Tetapi karena masih pagi, tentunya masih sepi dan belum dibuka. Karena itu saya dapat menikmatinya lebih baik dan saksama dalam keadaan sunyi dan hening.
Di halaman yang luas ini, saya sejenak termenung sambil melihat beberapa pohon keben yang rindang. Â Karena itu Pelataran Kamandungan Lor ini sering juga disebut dengan nama Pelataran Keben. Â Di sini juga terdapat beberapa bangsal yang asri dan cantik seperti bangsal Pancaniti, Bangsal Pacaosan dan Bale Antiwahana. Â Di halaman ada sebuah kendaraan yang sedang parkir, Â . Â Kendaraan ini bergambar salah seorang anggita DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta dengan tulisan Kadospundi Kabaripun Jogja alias Apa Kabar Yogya.
Di loket tiket masuk kraton yang masih sepi, saya sempat melihat instruksi pakaian yang sopan untuk para turis yang datang seperti disarankan tidak boleh memakai pakaian tanpa lengan walau memakai celana pendek masih diperbolehkan. Di sudut kawasan, juga terdapat toilet umum yang pagi itu masih dibersihkan oleh seorang petugas. Â Â
Setelah sejenak menikmati suasana hening di halaman luas di kawasan kraton ini, saya kembali keluar dan kali ini melewati sebuah masjid kecil  yang cukup cantik dengan atap limasan bersusun dua.  Di depannya ada petunjuk arah untuk tempat wudu putera dan puteri.  Salah satu hal menarik mengenai masjid masjid di Yogya adalah penggunaan kata putera dan puteri sementara di kawasan lain sudah banyak yang menggunakan kata Akhwat dan Ikwan.  Masjid ini Bernama Masjid Rotowijayaan dan sering juga disebut dengan nama Masjid Keben.
Saya kemudian berjalan mengeliling masjid dan melihat berbagai bangunan yang masih menjadi bagian kraton, Mungkin perkantoran atau bisa juga tempat kediaman pribadi.  Di sudut lain ada beberapa kendaraan roda empat yang parkir  dan kebanyakan nomor polisinya berasal dari luar daerah Yogya, seperti dari bali, Semarang, maupun Bengkulu.
Di belakang masjid ada sebuah taman yang cukup luas dan diberi pagar. Â Di sini ada sebuah monumen atau prasasti batu yang cukup besar.Â
"Sri Sultan Hamengku Buwono IX Mengambi Besar Jendral Prakarsa Serangan Oemoem 1 Maret 1949 dan Disetujui Panglima  Besar Jendral Soedirman."  Yogyakarta  29.6.2000    Demikian tertulis besar-besar pada batu prasasti yang ukurannya lumayan besar itu.  Dan di bagian kaki prasasti tersebut tertulis "Lokasi pertemuan Sri Sultan dengan Komandan WK III," diikuti dengan tanda panah yang menunjukkan arah ke kawasan yang saya lihat sebelumnya.
Ternyata prasasti dari batu yang diresmikan pada Juni 2000 ini seakan-akan dibuat untuk menegaskan kembali peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 yang menurut sejarah ingin membuktikan kepada dunia bahwa Republik Indonesia dan juga Tentara Nasional Indonesia masih eksis. Â Sebuah peristiwa yang banyak dikenang baik dalam film baik film Janur Kuning , Enam Jam di Jogja.Â
Keberadaan prasasti  atau lebih tepatnya tetenger ini mengingatkan saya akan sebuah Monumen yang jauh lebih megah dan kolosal yang ada di kawasan Titik Nol Kilometer di pusat Kota Yogya, yaitu Monumen Serangan Umum 1 Marta 1949.   Monumen ini diresmikan pada tahun 1973, lima tahun setelah orde baru berkuasa dan ternyata setelah Orde Baru runtuh, banyak yang berkomentar bahwa peran Suharto sendiri terlalu dilebih-lebihkan pada peristiwa bersejarah tersebut. Apakah Prasasti di dekat kraton ini untuk menanggapi Monumen yang ada di Titik Nol ?  Biarlah nanti waktu yang membuktikan.
Nah tidak jauh dari prasasti batu ini, saya kembali menemukan sebuah monumen berbentuk jam yang sudah ada lebih dahulu. Â Sebuah jam yang pagi itu menunjukkan waktu pukul 7.25 pagi . Â Sebuah jam berbentuk bulat dalam ukuran besar yang di atasnya terdapat lambang kesultanan Yogyakarta. Â Di bawah tugu jam ada sebuah arca ganesha.
Di bawah jam  yang sering disebut Negajam Keben ini ada prasasti yang ditulis dalam empat bahasa. Yaitu huruf Jawa hanacaraka, Bahasa Indonesia, Huruf Kanji, dan Bahasa Inggris.
"Persembahan dari paguyuban para pegawai pemerintahan dan masyarakat Tionghoa yang bertempat tinggal  di wilayah Ngayogyakarta Hadiningrat, dalam rangka memperingati hari penobatan Sri Sultan  Hamengku Buwono VIII tepat dua windu, pada hari Senin Wage, Tanggal 29 bulan Jumadilawal Tahun Alip 1867 atau 17 Agustus 1936," demikian tertulis  pada prasasti tersebut.
Pada bagian paling bawah prasasti tertulis :
Mandiri Caraka Trah Mataram,
 Paguyuban Warga Tionghoa Yogyakarta,
Yogyakarta, Jumadil Awal 1935 atau Agustus 2002.Â
Demikianlah jalan-jalan santai di pagi hari yang selain menyenangkan, gratis, sekaligus dapat melihat banyak fakta yang mungkin selama ini terlewatkan dan kurang mendapat perhatian para wisatawan yang berkunjung ke kawasan Kraton.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H