Karena lokasinya di pasar, maka dewa yang menjadi tuan rumah kelenteng ini adalah Dewa Dagang atau Hok Teng Ceng Sin. Â Di beranda kelenteng terdapat gambar dewa dan juga patungnya dalam berbagai ukuran. Â Selain itu, di kelenteng ini juga ada bagian yang didedikasikan untuk Dewi Welas Asih atau Dewi Kwan Im. Â Di sini ada altar khusus untuk Dewi Kwan Im dengan berbagai patung dalam berbagai pose dan ukuran. Â Sangat cantik sekaligus memberikan suasana yang mistis.
Kami terus berjalan melihat-;lihat sudut-sudut kelenteng. Di salah satu pojok ada sebuah petilasan yang diperuntukkan bagi Embah Raden Suria Kencana Winata. Â Menurut cerita, sosok yang diduga masih keturunan Prabu Siliwangi ini merupakan tokoh yang sangat dihormati oleh orang Tionghoa sehingga di banyak kelenteng tua sering ditemukan petilasan untuk sanga Raden. Â Petilasan ini berbentuk tempat tidur kecil lengkap dengan bantal, guling dan juga kelambu. Di depannya ada hiolo untuk menancapkan hio atau dupa. Â Juga ada sarung, pakaian, dan peci. Â Menutur penjaga kelenteng, setiap bulan puasa, di petilasan ini juga disediakan makanan untuk sahur dan berbuka buat embah Raden. Bahkan sarung, pakaian dan pecinya juga diganti setiap tahun menjelang lebaran.
Di sudut lain, ada sebuah patung besar yang terbuat dari kuningan dengan sosok dewa berperut gendut yang sedang tertawa. Ternyata ini adalah patung Buddha Maitreya atau Budha Tertawa yang di kelenteng ini disebut Me Lek Hut. Â Selain patung besar tadi, juga ada puluhan patung Buddha tertawa dalam ukuran yang lebih kecil... Â Sementara lampu lilin merah dan lampion ada di seantero kelenteng. Asap dupa juga terus menemani perjalanan kita.
Masih banyak patung beberapa dewa dan sosok lain yang ada di kelenteng ini. Â Salah saatu yang menarik adalah foto dan patung Laksamana Cheng Ho yang disebut juga Sam Po Thay Djin atau San Bao Ta Ren. Â Dan yang tidak kalah menariknya adalah adanya patung yang memakai sorban dengan sikap berdoa dan memegang sebuah kitab. Ternyata merupakan patung dengan nama Tai Ol Lao Shi atau disebut juga Eyang Djugo.
Di dalam kelenteng juga banyak kotak tak dalam berbagai ukuran yang isinya adalah pakaian, sepatu, dan berbagai perlengkapan dari kertas yang diperuntukkan untuk arwah orang yang sudah meninggal. Kotak kotak ini dibeli oleh Jemaah yang datang untuk kemudian dibakar di kimlo di depan kelenteng. Dipercaya bahwa barang-barang dari kertas yang dikirim untuk arwah itu akan diterima oleh orang yang sudah meninggal di alam lain.
Kami terus berjalan sambi mendengarkan penjelasan dari Mbak Ira. Masih di sekitar beranda kelenteng ada sebuah tambur tua ukuran lumayan besar yang sekilas mirip beduk  Tambur atau beduk ini dipukul untuk memberitahu dewa bahwa ada orang atau Jemaah  yang datang mau sembahyang.  Uniknya ketika dibunyikan, beduk ini iramanya mirip dengan suara beduk sebelum azan.  Konon beduk yang sering dijumpai di masjid-masjid kuno di Nusantara memang merupakan adaptasi dari budaya Tionghoa .