Setelah lebih dari satu jam naik angot K 18 yang dicarter oleh ClicKompasiana, saya dan teman-teman akhirnya bisa meluruskan kaki dengan sampai di Saung Ranggon.Â
Perjalanan selama satu jam tidak terasa membosankan karena kami terus bergembira dan bersenda gurau di sepanjang jalan.Â
Bahkan dalam perjalanan, kami juga sempat melihat odong-odong yang sedang melaju dan membayangkan kalau kami jadi naik odong-odong itu, tentunya lebih menyenangkan walau waktu tempuh bisa saja lebih lama.
Tempat parkir di Saung Ranggon tidak terlalu luas dan kebetulan hanya angkot kami yang berkunjung walau ada lagi sebuah mobil lain di situ. Â
Sebenarnya, ini adalah kunjungan saya yang kedua ke tempat ini. Bedanya pada kunjungan pertama sekitar 6 tahun lalu, saya tidak naik angkot. Sekilas situasi, kondisi, dan suasana di sekitar situs bersejarah ini masih tetap sama.Â
Sama-sama menyimpan atmosfer sakral penuh misteri dan teka-teki. Â Sama-sama sepi dan juga sama-sama mengundang rasa penasaran. Â Azan Dzuhur baru saja menggema dari sebuah musalah kecil yang ada di belakang bangunan utama Saung Rangoon.
Sebuah rumah panggung tua dari kayu ulin yang tampak kokoh. Rumah panggung ini dikeliling pagar.Â
Saya masih ingat bahwa untuk masuk ke Saung Ranggon, pengunjung harus ditemani sang kuncen alias juru kunci, seorang ibu yang berusia sekitar 60 tahun lebih.Â
Karena itu, Mbak Mutiah ingin mencari ibu kuncen sementara saya dan Mas Topik Irawan berniat bergabung ikut solat dzuhur terlebih dahulu. Â
Selesai sholat baru saya bergabung dengan teman-teman Click naik ke rumah panggung dan duduk di beranda yang lumayan luas. Â Suasananya pun masih seperti dulu, kami duduk di lantai kayu beralas tikar yang sebagian ditutupi sajadah berbagai warna.Â
Ibu kunci yang Bernama Sri Muryati duduk di pojok dan ditemani Mbak Muthia serta teman-teman Click. Â Ibu Kuncen bercerita sekilas mengenai sejarah Rumah Panggung yang Bernama Saung Ranggon ini. Â Teman-teman pun sesekali bertanya.
Ada sebuah tirai berwarna hijau yang membatasi beranda dengan sebuah ruangan lain di dalam yang terlihat sedikit penuh misteri..Â
Sekilas di dalamnya ada sebuah tempat tidur berkelambu dan di atas Kasur terdapat banyak pusaka berupa senjata dan keris. Â Konon pusaka ini merupakan peninggalan Raden Rangga dan Raden Abbas yang masih keturunan Pangeran Jayakarta.Â
Menurut Bu Kuncen, rumah ini juga dulu pernah dijadikan tempat persembunyian para pejuang ketiak melawan Belanda. Maklum tempatnya memang tersembunyi di kampung Cikedok.Â
Luas rumah sendiri tidak terlalu luas dengan atap sirap yang unik dan cantik serta sama sekali tidak memiliki jendela. Sementara luas tanah sebenarnya cukup luas yaitu sekitar 500 meter dan ada sebuah sumur di pojoknya.
Dalam kunjungan pertama dulu, saya sempat masuk ke dalam kamar dan melihat pusaka berupa golok, pedang dan keris tua yang diletakkan di atas Kasur dengan alas seprei berwarna putih. Â
Selain itu juga ada sebuah lukisan besar Nyai Roro Kidul dengan pakaian kebesaran yang berwarna hijau.Â
Kali ini saya hanya melihat dari ruang tengah dan tidak masuk ke dalam kamar. Walaupun begitu, suasana penuh mistis tetap terasa di dalam saung ini.
Sang kuncen juga sempat menawarkan apakah ada yang ingin melakukan ritual dan bernazar di tempat ini. Untuk itu bisa disiapkan berbagai perlengkapan seperti kemenyan , bunga dan juga rokok.Â
Dan sang kuncen akan merapalkan doa doa dalam bahasa Jawa atau Sunda memohon jodoh naik pangkat atau juga untuk mendapatkan keturunan. Namun rombongan Click menolak dengan halus tawaran itu.
Kami hanya mengadakan tanya jawab sekilas mengenai sejarah Saung Ranggon yang sudah berusia ratusan tahun ini. Â Juga sang kuncen bercerita sekilas mengenai hal-hal gaib yang ada di sini.Â
Termasuk jika yang datang adalah pemuda tampan, bisa saja ketika pulang aka nada yang mengikuti.Â
Selain itu ibu kuncen juga bercerita banyak tokoh terkenal yang datang ke tempat ini, dan bila mereka berhasil dengan nazar makan akan memberi bantuan seperti membangun dan merenovasi mushola yang ada di dekat Saung.
Saya kemudian keluar Saung dan melihat gambar dan keterangan yang ditempel di dinding. Sebagian masih sama seperti 6 tahun lalu, namun ada juga foto dan informasi yang baru termasuk foto Ibu Kuncen bersama mahasiswa Universitas Pelita Bangsa yang mengadakan KKN di sini pada tahun 2022 lalu. Â
Mahasiswa ini juga membuat spanduk Selamat Datang di Saung Ranggon yang hingga kini masih terpasang dengan rapi.
"Selamat Datang (Welcome Cultural Heritage) di Cagar Budaya Saung Ranggon Desa Cikedokan," Â demikian tertulis pada spanduk tersebut.
Sebagaimana rencana awal, kami semat mampir ke sebuah rumah makan atau saung yang ada di samping Saung Rangon. Â Saya ingat dulu pernah mampir dan menikmati makan siang dengan menu khas Gabus Pucung dan juga karedok.Â
Namun suasana warung ini tampak sepi. Ketika kami bertanya baru muncul seorang perempuan yang membawa menu tanpa daftar harga. Daftar harganya baru ditulis kemudian. Â Â
Kami membatalkan rencana makan siang di Saung Ranggon dan memutuskan untuk mencari restoran Padang saja dalam perjalanan ke Taman Buaya.
Berkunjung dan melihat Saung Ranggon dalam selang waktu hampir enam tahun, saya merasa bahwa waktu seakan-akan berhentu di tempat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H