Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen - Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Masjid Tua di Seberang Pasar Kambing di Pekojan

23 Februari 2023   10:36 Diperbarui: 24 Februari 2023   04:45 1019
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masjid An-Nawier. (Foto: Dokumentasi Pribadi)

Hari menjelang siang ketika kereta saya berhenti di stasiun Angke.  Ini adalah pertama kali saya turun di sini dan saya sangat menikmati suasana jalan di depan stasiun.  Si sini berjejer pedagang yang menjual bermacam-macam keperluan sehari-hari. 

Ada sayuran dan buah-buahan serta juga jajanan dan pakaian.  Atmosfer sebuah pasar tradisional dengan latar belakang Jakarta Tempo dulu yang sudah mulai hilang di bagian lain kota Jakarta. 

Sementara di kios-kios yang menempel di stasiun, sebagian besar menjual minyak wangi.

Jalan Stasiun Angke. (Foto: Dokumentasi Pribadi)
Jalan Stasiun Angke. (Foto: Dokumentasi Pribadi)

Saya sempatkan mampir dan membeli kue pancong di salah satu pedagang dan kemudian bersantai sejenak menikmati kue tersebut. 

Sudah cukup lama tidak makan kue tradisional yang sudah agak jarang ditemukan di tempat lain.  Satu porsi harganya 10 ribu dan terdiri dari empat potong. Lumayan untuk mengganjal perut yang belum diisi sejak semalam.

Perjalanan kemudian dilanjut sampai di pertigaan jalan Tubagus Angke. Ada sebuah jembatan layang di depan dan saya belok kanan menyusuri  kaki lima yang lumayan baik walau tidak lebar. 

Kira-kira dua ratus meter berjalan, saya menemukan sebuah kelenteng kecil yang bernama Vihara Dharma Paramita.  Warna merah mendominasi tampak muka dan pagar kelenteng ini.

Jalan Tubagus Angke dan Vihara Kecil. (Foto: Dokumentasi Pribadi)
Jalan Tubagus Angke dan Vihara Kecil. (Foto: Dokumentasi Pribadi)

Kemudian  saya menyeberang jalan dan belok kiri di sebuah jembatan kecil  di atas Kali Angke.   Aroma yang khas tiba-tiba datang menyengat. Terasa familier walau mula-mula tidak disangka-sangka. 

Tepat di seberang jembatan ada sekumpulan kambing di dalam kandang. Ternyata ini adalah deretan pedagang kambing yang memang sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu.  

Tidak mengherankan bila tempat ini memang dinamakan Jembatan Kambing.  Saya memang sudah memasuki Kampung Pekojan. 

Kampung yang dinamakan demikian karena kebanyakan penghuninya merupakan keturunan Arab walau kata Pekojan sendiri berasal dari kata Khoja yang merujuk kepada keturunan India yang beragama Islam,

Tepat di depan Jembatan Kambing ini, berdiri megah Masjid An Nawir.  Pintu gerbangnya berbentuk gapura dengan tulisan nama Masjid An Nawier dengan keterangan alamat Jalan Pekojan Raya no 71 Jakarta Barat dan didirikan pada 1189  H / 1760 M.

Azan Zuhur baru saja menggema dan  di tempat wudu lumayan ramai jemaah. Tempat wudunya sederhana dan di dekatnya ada sebuah sumur tua yang ditutup dengan papan. 

Di sini juga ada toilet. Yang membedakan dengan kebanyakan masjid lainnya adalah toilet pria mirip dengan toilet masjid -masjid di Arab Saudi dimana tidak ada urinoar sehingga kaum lelaki pun buang air dengan jongkok. 

Menurut pendapat Sebagian orang, ini adalah cara yang sesuai dengan hadis Nabi dan konon lebih sehat.

Pilar-pilar. (Foto: Dokumentasi Pribadi)
Pilar-pilar. (Foto: Dokumentasi Pribadi)

Selesai wudu saya masuk ke ruang masjid. Ternyata merupakan bangunan sayap yang kebetulan sedikit  gelap dan banyak tiang atau pilar yang berbentuk bulat. 

Kalau dihitung, jumlah pilar ini ada 33 buah yang konon sesuai dengan jumlah butiran tasbih untuk berzikir sambil mengucapkan tahmid, takbir dan tahlil.

Plafon ruangan ini terbuat dari kayu jati yang dipelitur warna cokelat tua dan dihiasi  deretan kipas angin berbaling-baling tiga.

sumur. (Foto: Dokumentasi Pribadi)
sumur. (Foto: Dokumentasi Pribadi)

Jamaah sholat zuhur kebetulan tidak terlalu ramai, hanya ada tiga saf sesuai dengan lantai masjid yang ditutup karpet warna hijau. 

Di dinding dekat mimbar tidak terdapat banyak hiasan, hanya ada jam digital yang menunjukkan waktu salat.   Mimbarnya terbuat dari kayu jati dan memiliki undakan dengan hiasan ornamen  cantik warna keemasan. 

Di dekatnya juga bersender sebuah tongkat yang biasa dipegang khatib sewaktu salat Jumat.  Konon mimbar ini merupakan hadiah dari Sultan Pontianak. 

Selain mimbar, ada sebuah partisi dari kayu  yang juga hadiah dari Sultan  Di sebelahnya  ada sebuah jam berbentuk almari yang biasa disebut Grandfather's Clock.

Beduk. (Foto: Dokumentasi Pribadi)
Beduk. (Foto: Dokumentasi Pribadi)

Mihrab lumayan cantik berbentuk gapura kecil dengan hiasan ukiran bukan bintang warna emas di atas bagian tengah dan lafal Allah dan Muhammad yang mengapitnya.

Selesai salat  saya sempatkan melihat ke sekeliling masjid. Di beranda  terdapat sebuah beduk yang lumayan besar. Selain beduk baru yang masih dipakai, ada juga beduk lama yang hanya disimpan karena sudah tidak layak pakai lagi. 

Di sebelah barat ada makam yang ditutup kain hijau. Ternyata ini adalah makam Syarifah Babah Kecil yang merupakan salah satu keturunan Nabi yang mewakafkan tanahnya untuk membangun Masjid ini. 

Kata Babah ini konon berasal dari kata Hubabah yang merupakan versi mutsanah atau perempuan untuk kata habib. 

Di dekat  pintu masuk masjid yang bergaya neoklasik ini ada sebuah prasasti yang menjelaskan bahwa ini adalah bangunan bersejarah yang sudah dinyatakan menjadi cagar budaya.

(Foto: Dokumentasi Pribadi)
(Foto: Dokumentasi Pribadi)

"Masjid Jami'An-Nawier, Dibangun pada 1760  oleh Sayid Abdullah bin Husein Al-Aydrus, Arsitek Bangunan Gaya Arab dan Neo Klasik," demikian tulisan pada prasasti itu.

Selain arsitekturnya yang unik karena mewakili gaya neoklasik , ternyata pintu dan jendela di masjid ini juga memiliki lambang filosofis islami. 

Pintu masjid ini pintu selatan ada 4 buah melambangkan kulafah rasyidin.  Ada tiga pintu besar untuk melambangkan Abu Bakar, Umar, Usman,  yang pintu yang  kecil  melambangkan Ali.    

Sedangkan pintu sebelah timur ada lima  melambangkan rukun Islam dan pintu utara ada lima melambangkan  jumlah waktu salat fardu. Sementara jumlah jendela di sisi barat yang ada enam melambangkan rukun iman.

Saya kemudian berjalan di halaman dan melihat masjid menara masjid yang menjulang. Bentuknya unik dan cantik dan berada di bagian utama masjid yaitu di sudut timur laut.  

Sekilas menara ini lebih mirip dengan mercu suar dibandingkan menara masjid. Dan ada bagian yang berbentuk silinder dan juga persegi panjang. Di bagian atas dihiasi dengan beberapa jendela kecil dan tampak pengeras suara untuk melantunkan azan.

Perlahan-lahan, satu persatu Jemaah salat zuhur meninggalkan masjid. Dan saya pun kemudian meninggalkan masjid ini untuk melanjutkan pengembaraan di kawasan Pekojan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun