Arsitektur gedung yang berbentuk silinder bulat ini ternyata disebut Ronde Tempel, memadukan arsitektur Romawi Kuno dan bangunan tradisional candi di Indonesia. Bagian atas yang lancip ternyata mewakili susunan bambu runcing yang melambangkan perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Saya kemudian menaiki anak tangga untuk masuk menuju pintu utama. Pintu kaca ini tertutup namun tidak di kunci. Saya masuk ke dalamnya. Sepi dan sunyi tidak ada siapa-siapa. Yang ada hanya sebuah buku tamu.Â
Rupanya kita bisa masuk dan kemudian mengisi buku tamu itu sendiri. Dan seluruh isi museum pun menjadi milik saya sendiri untuk dinikmati di pagi yang cerah itu.
Di atas pintu masuk utama museum ini ada gambar bintang bersudut delapan, di tengahnya ada peta kepulauan Nusantara. Juga ada candrasengkala yang bunyinya Anggatra Pirantining Kusuma Nagara yang memiliki arti tahun 1959.Â
Museum Perjuangan Yogyakarta (Museum Benteng Vredeberg Unit II), demikian sebuah papan informasi besar yang ditulis dengan warna putih berlatar biru menyambut di balik pintu utama. Juga ada tulisan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan" serta Wahana Pengenalan Sejarah Bagi Generasi Muda sebagai tujuan didirikannya museum ini.
Saya memulai pengembaraan di dalam museum. Sebuah maket museum yang ada di dalam kaca memberikan ilustrasi yang lengkap mengenai kompleks museum yang lumayan luas, megah dan indah ini.Â
Saya berjalan melihat-lihat benda yang dipamerkan. Ada sebuah meriam kuno yang ukurannya tidak terlalu besar. Pada penjelasannya disebutkan jika meriam ini ditemukan di Benteng Vredeburg.
Selain itu di dalam lemari kaca juga ada sebuah mesin tik tua yang pernah digunakan oleh Surjopranoto, pemimpin gerakan buruh perkebunan tebu di zaman kolonial Belanda yang melakukan protes terhadap ketidakadilan oleh penguasa pada saat itu. Ah ingat ketidakadilan dan protes buruh, koq masih sama walau sudah merdeka lebih tujuh dekade?