Kehidupan masyarakat  memang tidak pernah bisa dipisahkan dengan hingar bingar politik yang penuh dengan dinamika.  Tarik ulur kekuatan antara beberapa kubu yang tidak pernah berhenti mencari dukungan massa dan pembentukan opini terus meruak di ruang publik. Dan media baik mainstream maupun media sosial menjadi salah satu alat paling ampuh dan jitu untuk mencapai keinginan itu. Sudah bukan rahasia lagi kalau pembentukan opini di media bahan bisa mengubah jalan sejarah.  Dan untuk itu berbagai cara terus ditempuh baik dengan cara halus maupun terkadang dengan kekerasan yang sering kali memakan korban baik jiwa maupun harta.Â
Kita semua tentu merasa miris dengan kejadian yang menimpa PT GNI (Gunbuster Nickel Industri).  Bentrokan yang terjadi di fasilitas perusahaan pengolahan dan pemurnian (smelter) nikel di Morowali Utara, Sulawesi Tengah tersebut diberitakan melibatkan TKA dan TKI sehingga mengakibat 1 orang TKI dan satu orang TKA tewas.  Sontak kontroversi tentang TKA Tiongkok kembali mencuat ke permukaan. Dan banyak pihak kembali menyatakan rasa prihatin  mengenai maraknya TKA Tiongkok ini.
Namun, tentunya sebelum kita hanya bisa menyalahkan kebijakan pemerintah dengan keputusan untuk membangun fasilitas smelter dan bekerja sama dengan pihak asing (dalam hal ini Tiongkok) ada baiknya untuk  mengambil sikap dan menahan diri dari membuat pernyataan yang mungkin hanya membuat situasi kian runyam dan panas.Â
Selama ini, Indonesia yang kaya akan sumber daya alam memang selalu menjadi lahan yang menarik untuk pihak asing. Â Mereka berlomba-lomba ingin datang dan kemudian mendapat keuntungan maksimal dari sumber daya alam tersebut. Â Di masa kolonial, kita tentu sadar bahwa Nusantara ini sampai menjadi negeri terjajah selama ratusan tahun karena kekayaan alam. Dalam hal ini adalah rempah-rempah yang memancing Portugis, dan kemudian akhirnya Belanda melalaui VOC bercokol cukup lama di Nusantara.
Zaman pun berubah, kejayaan rempah-rempah sudah menjadi masa lalu. Namun setelah Indonesia merdeka, ternyata negeri ini masih mempunyai kekayaan alam yang lain dalam bentuk mineral dan energi. Â Sebut saja gas, minyak bumi, emas, tembaga dan juga nikel. Â Kita sudah menyaksikan selama ini kekayaan alam itu diolah oleh asing bekerja sama dengan pemerintah. Namun Sebagian besar diambil dalam bentuk bahan mentah sehingga nilai manfaat untuk kemakmuran negeri dan rakyat dirasakan kurang alias sangat minimal. Misalnya saja pengelolaan tambang tembaga dan emas di Papua.Â
Tentu saja pemerintah menyadari hal tersebut dan kemudian secara perlahan mulai mengubah kebijakannya. Khususnya untuk sumber daya mineral berupa nikel yang saat ini menjadi primadona dan diduga Indonesia memiliki potensi sumber daya yang lumayan berlimpah. Â Sebagian pihak asing lebih ingin jika Indonesia hanya mengekspor bahan mentah dan dikelola di luar negeri. Namun ketentuan undang-undang mewajibkan Indonesia untuk memiliki fasilitas smelter di dalam negeri.
Dan dimulailah era baru. Pembangunan smelter yang salah satunya adalah fasilitas yang ada di Sulawesi Tengah itu. Â Uniknya lagi yang membuat situasi tidak pernah berhenti dari kontroversi adalah pemerintah lebih suka bekerja sama dengan Tiongkok. Â Yang konon selama ini memang kurang disukai oleh sebagian pihak. Â Dan karenanya banyak isu mencuat salah satunya adalah jumlah TKA asing yang mencapai puluhan juta orang dan berbagai jenis pelanggaran hukum yang dilakukan.
Terlepas dari semua itu kejadian yang ada di PT GNI seharusnya membuka mata semua orang. Fakta dan data harus berbicara. Bukan hoaks yang bertujuan untuk memperkeruh kenyataan. Dan dengan memperkeruh situasi, tujuan Indonesia untuk mengelola sumber daya alam dengan lebih baik dan menghasilkan manfaat lebih banyak untuk kesejahteraan rakyat bisa terancam.Â
Bukankah kita ingin kesejahteraan rakyat kian meningkat dengan sering kali menyitir korelasi antara kekayaan alam dan kesejahteraan rakyat  negeri-negeri di Timur Tengah seperti Qatar, Uni Emirat Arab, Saudi Arabia, atau bahkan negeri tetangga Brunei Darussalam.  Nah untuk itu, sebagai rakyat, tentunya kita tetap harus menduku pemerintah selama kebijakannya memang mempunyai tujuan untuk kepentingan nasional.
Kembali ke data dan fakta yang ada di PT GNI. Apa sesungguhnya yang menjadi penyebab kerusuhan. Apakah memang terjadi bentrokan antara TKA dan TKI. Apakah ada pihak ketiga yang mungkin menjadi provokator dan kemudian mengambil keuntungan di tengah kekacauan ini. Â Berapa sebenarnya jumlah TKA dan TKI. Apakah keberadaan PT GNI di Morowali Utara itu berdampak positif terhadap ekonomi di sekitar wilayah.
Kapolri, Listyo Sigit Prabowo, dalam konperensi pers di Istana negara pada 16 Januari 2023 kemarin menyebutkan bahwa bentrokan bermula dari pemogokan kerja yang ada unsur pemaksaan. Kemudian timbul provokasi sekan-akan ada pemukulan TKI oleh TKA yang kemudian berakhir dengan kerusuhan.
Kemudian terungkap juga fakta bahwa di PT GNI saat ini mempekerjakan sekitar 11 Ribu TKI dan 1300 TKA. Â Ke depannya jumlah TKI akan ditingkatkan sampai 30 ribu orang. Â Bahkan pada saat ini juga sudah dibangun politeknik di kawasan itu untuk mendidik tenaga lokal agar bisa bekerja di industri smelter nikel ini. Â
Nah pertanyaan-pertanyaan di atas itu yang harus bersama kita jawab dengan bijak dan kepala dingin, Bukan dengan emosi membabi buta yang bisa menyebabkan kita kembali ke kesalahan di masa lampau. Mengapa negeri ini setelah 78 tahun merdeka, tingkat kesejahteraan dan kemajuan rakyatnya masih kalah jauh dengan beberapa negara tetangga. Mengapa negeri ini juga tingkat kesejahteraan dan kemakmurannya masih kalah dengan Tiongkok dan bahkan terus tertinggal makin jauh?
Mari bersama kita merenung. Bukan untuk menghujat atau mencari kesalahan orang lain. Tetapi melakukan muhasabah dan introspeksi diri kita masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H