Kalau kita belajar suatu bahasa, mau tidak mau kita juga sesekali akan diajak ke negara-negara tempat bahasa itu digunakan. Â Nah salah satu hal yang menarik dengan Bahasa Spanyol adalah beragamnya negeri-negeri yang menggunakannya. Â Selain negeri induknya di Semenanjung Iberia, bahasa ini juga mengajak saya mengembara hingga ke Kepulauan Karibia. Salah satunya adalah Kuba.
Kuba merupakan negara di Kepulauan Karibia yang terkenal dengan keindahan alam dan juga pemimpinnya yang karismatik, Fidel Castro. Â Di era Bung Karno, Indonesia sendiri mempunyai hubungan yang sangat baik dan mesra dengan Kuba. Salah satu persamaan antara Kuba dan Indonesia adalah keduanya terletak di Kepulauan Hindia, Kalau Nusantara di sebut Hindia Timur, maka Kuba terletak di kawasan Hindia Barat.
Negeri ini sangat menarik dan penuh kontroversi karena sistem politiknya yang sangat berbeda dan bertentangan dengan negeri adi kuasa di sebelah baratnya, Amerika Serikat. Hungan keduanya yang penuh dengan ketegangan ternyata menyimpan sebuah fakta sejarah yang cukup lama tidak terungkap. Â Kisah ini saya dapatkan melalui pengembaraan saya ketika menggeluti bahasa Spanyol. Â Yuk kita ikuti ringkasan kisahnya.
Pada Agustus 1961, Margarita, seorang gadis cilik berusia 8 tahun untuk pertama kalinya pergi ke Bandara Jose Marti di Havana.  Dia adalah anak kedua dari 6 bersaudara. Dari bandara ini, Margarita bersama 3 orang saudaranya kemudian berangkat ke Miami, Florida, sementara orang tuanya dan dua saudara yang lain tetap tinggal di Kuba.Â
Margarita dilahirkan di sebuah kota kecil di daerah pertanian di Kuba, ayahnya seorang dokter dan dia tinggal bersama keluarga besar yang terdiri dari kakek, nenek, dan juga beberapa paman dan bibi.  Kehidupan Margarita cukup bahagia dan baik-baik saja hingga pada 1959, terjadi revolusi di Kuba.  Fulgencio Batista harus melarikan diri ke luar negeri dan Fidel Castro kemudian berkuasa selama puluhan tahun.Â
Bagi Margarita, perjalanan naik pesawat adalah pengalaman yang pertama, apa lagi ke Amerika Serikat. Â Sementara orang tuanya berjanji akan menyusul dalam 15 hari ke depan. Ada hal unik dalam penerbangan ini, sebagian besar penumpangnya adalah anak-anak. Sesampainya di Miami, relawan telah menjemput dan Margarita bersama saudari perempuannya Lola dipisahkan dari dua saudara nya yang lain dan ditempatkan di sebuah kamp militer. Â Tiga minggu berlalu, tetapi tidak ada kabar dari orang tuanya di Kuba.
Margarita dan Lola kemudian dipindahkan jauh ke utara, yaitu ke Syracuse di negara bagian New York. Di sini Margarita dan Lola ditempatkan di sebuah rumah Yatim Piatu. Â Dan di sini pula pada musim dingin 1961, Margarita pertama kali melihat salju. Sesuatu yang belum pernah dilihatnya di Kuba yang beriklim tropis.
Kehidupan di rumah yatim pada awalnya sangat sulit bagi Margarita dan Lola. Mereka hanya bisa berbahasa Spanyol dan sering menjadi obyek perundungan anak-anak lainnya. Dan hingga 6 bulan kemudian pun, orang tuanya yang pada awalnya berjanji akan menjemput dalam waktu 15 hari tidak pernah muncul beritanya.
Apa sebenarnya yang terjadi dengan Margarita dan tiga saudara kandungnya. Mereka ternyata merupakan bagian dari sekitar 14 ribu anak-anak Kuba yang diterbangkan dari ke Amerika Serikat dalam sebuah misi rahasia yang disebut "Operacion Pedro Pan." Â Misi ini direncanakan oleh pemerintah Amerika bersama dengan gereja Katolik di Miami untuk memberikan ijin pembebasan visa khusus bagi anak-anak Kuba untuk pindah ke Amerika. Â Hal ini dikarenakan sebagian orang tua merasa khawatir bahwa rezim komunis di bawah Fidel akan menerapkan kebijakan yang otoriter dan mengekang kebebasan. Untuk masa depan anak-anak itu, para orang tua rela berpisah untuk waktu yang belum ditentukan.
Akhirnya Margarita dan Lola mendapatkan orang tua angkat yang kemudian mengasuh mereka di rumah besar mereka di sebuah kota kecil di bagian Utara Syracuse. Di sini Margarita dan Lola hidup dengan baik dan kemudian mulai mengadaptasi kehidupan di Amerika. Namun mereka tetap merasa kehilangan orang tua kandung mereka yang terus dirindukan.
Demikianlah, waktu tunggu yang semula dijanjikan hanya 15 hari berubah menjadi 4 tahun. Pada 1965, Akhirnya orang tua Margarita mendapatkan ijin untuk meninggalkan Kuba dan menunggu mereka di Washington. DC. Â Orang tua mereka terbang dari Kuba ke Amerika melalui Meksiko. Â Maria dan Lola bersama dua saudara yang lain kemudian terbang ke Washington dan akhirnya bertemu kembali dengan keluarganya. Â Di sana ayah, ibu, kedua adiknya dan beberapa orang paman dan bibi sudah menunggu. Â Walaupun begitu perpisahan dengan keluarga angkat tetap terasa cukup berat bagi Margarta dan Lola.
Demikianlah seluruh Keluarga Margarita memulai kehidupan baru di Amerika Serikat. Keenam bersaudara itu belajar keras dan semuanya berhasil masuk ke universitas. Margarita kemudian berhasil lulus dari University of Maryland. Â Margairta pun kemudian menikah dengan serang pemuda yang berasal dari Kolombia.
Dan baru pada tahun 2000 Margarita dan Lola sempat berkunjung kemabli ke kota kelahirannya di Kuba selama satu minggu. Â Dia sempat menjenguk beberapa keluarga besar yang masih ada seperti beberapa bibi dan saudara sepupu. Mereka membawakan banyak oleh-oleh baik uang dan pakaian dan dapat kembali melihat tempat-tempat penuh kenangan semasa kecil yang sudah ditinggalkan hampir 40 tahun yang lalu.
Sekembalinya ke Maryland setelah kunjungan ke Kuba,  Margarita dan Lola  menyadari bahwa keputusan orang tua mereka untuk mengirim mereka bersama dua saudaranya ke Amerika dalam "Operacion Pedro Pan," adalah merupakan keputusan yang tepat.  Kehidupan mereka saat ini tentu nya akan sangat berbeda jika dan akan jauh lebih sulit jika tetap tinggal di Kuba.
Demikian sekilas cuplikan dari kisah anak-anak Kuba yang terpaksa harus berpisah dari orang tua mereka pada misi rahasia yang berlangsung sejak Desember 1960 hingga Oktober 1962 itu. Â Sebuah kisah yang mungkin tidak pernah akan saya ketahui jika tidak mengembara ke dunia dan negeri-negeri berbahasa Spanyol di Amerika Latin. Â Sebuah fakta sejarah dari enam dasa warsa yang lalu yang mungkin jarang dikenal di Indonesia.
Untuk mengakhir kisah ini, ada baiknya kita kutip pernyataan salah seorang anak yang ikut dalam misi rahasia ini.
"The world changed while I slept, and much to my surprise, no one has consulted me"  Carlos Eire  6 April 1962, Usia 11 Tahun.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H