Perjalanan di Sarinah kemudian berlanjut sejenak mengintip Distrik Seni di lantai enam. Untuk masuk ke pameran seni ini, pengunjung dikenakan tiket sebesar 50 Ribu Rupiah.Â
Setelah itu saya menggunakan eskalator dan menuruni lantai demi lantai Sarinah. Di Lantai empat terdapat lantai yang masih kosong dan tampaknya digunakan untuk menjual berbagai jenis minuman beralkohol Wah sangat jauh dari ide sosialisme, UMKM maupun rakyat jelata yang digadang-gadang menjadi inspirasi  pembangunan Sarinah.
Di lantai 3, ada pojok yang menjual berbagai jenis cokelat. Ternyata di sini terdapat pintu masuk untuk menuju ke Sarina Sky Deck. Â Untuk masuk hanya perlu mendaftar melalui aplikasi. Dan bahkan bagi yang sudah berstatus lansia, diperbolehkan masuk tanpa mengunduh aplikasi.
Dari sky deck ini kitab isa menikmati pemandangan Sebagian kota Jakarta dan juga bangunan -bangunan di Jalan Thamrin dan sekitar Sarinah. Â Di kejauhan tampak Tugu Selamat Datang, air mancur Bundaran HI, Hotel Indonesia, Plaza Indonesia dan juga halte Trans Jakarta yang sekarang sedang viral. Â Â Sementara tepat di depan Sarinah juga ada Halte Trans Jakarta yang masih belum selesai direvitalisasi.
Tidak terasa, waktu berjalan begitu cepat. Â Tiba waktunya untuk meninggalkan Sarinah untuk kembali berjalan kaki menuju Grand Indonesia dan menyaksikan Penutupan World Cinema Week yang sekaligus menayangkan film Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti.
Jakarta, Akhir Oktober 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H