Setelah selesai beranjangsana ke Pulo Geulis, kami kembali diantar oleh pemandu, teh Dina keluar kampung untuk menuju kampung yang lain yaitu Kampung Labirin. Â Kampung ini letaknya tidak jauh dari Kampung Pulo Geulis,. Â Kami melalui jalan-jalan yang berliku-liku dan akhirnya sampai di pintu masuk Kampung Labirin. Di sini pemandu setempat yaitu Ade Irma dan Deny sudah menyambut.
"Selamat Datang Bapak Walikota Bogor dan  Rombongan Universitas Katolik Parahyangan Bandung, Kampung Labirin Kelurahan Babakan Pasar RW 10, demikian sebuah spanduk menyambut kedatangan kami walau spanduk tersebut bukan ditujukan buat rombongan Koteka Trip bersama Dinas Pariwisata Kota Bogor, tetapi tetap saja senang tiba di sebuah kampung dan disambut dengan spanduk.
"Sebelumnya saya mohon maaf, karena nanti atraksi yang menyambut mungkin tidak lengkap, karena ada Sebagian yang sekolah dan bekerja," demikian kata pembuka Ade Irma ketika menjelaskan bahwa akan ada beberapa atraksi yang telah disiapkan untuk menyambut Koteka Trip di Kampung Labirin ini.
Benar saja, baru beberapa puluh Langkah melewati pintu gerbang dan spanduk penyambutan, ada serombongan anak lelaki yang telah siap dengan alat music berupa angklung di tangan. Â Jumlahnya mungkin sekitar sepuluh anak dan rata-rata berusia sekitar 10 tahunan. Â Anak ini berseragam kaus hitam dan celana panjang hitam, Sebagian mengenakan udeng atau ikat ke[ala khas Sunda yang disebut tetopong dengan motif batik warna coklat tua kombinasi hitam.
Tidak berapa lama kemudian, alunan alat musik tradisional sudah bergema di Kampung Labirin. Agu-lagunya cukup menghibur dan rombongan koteka trip menikmati suguhan lagu ini dengan santai sambil sejenak beristirahat di dekat tempat parkiran motor. Â Yang menarik adalah anak-anak ini mempunyai komando dengan sebutan Keju, yang ternyata merupakan singkatan nama kampung ini dahulu, yaitu Kebon Jukut.Â
Selesai menikmati suguhan angklung, kami memulai perjalanan di Kampung Labirin sambil menjelaskan cerita-cerita menarik dari Ade Irma yang cantik.. Â Salah satunya adalah mengapa dinamakan kampung Labirin yang ternyata memang gang dan Lorong di kampung ini sangat rumit dan karena hampir semua rumah dicat warna hijau, maka non warga yang datang kesini seakan-akan masuk ke labirin dan dijamin tersesat. Demikian yang terjadi dengan pengendara ojol atau pun petugas paket yang kebetulan mengantarkan barang ke sini. Â Saya sendiri selalu berusaha berada tidak jauh dari Ade Irma selama di Kampung Labirin ini. Selain asyik mendengarkan ceritanya dari dekat juga selalu terhibur dengan ucapan-ucapannya yang jenaka.
Ade Irma juga menjelaskan bahwa di kampung ini cukup banyak program untuk warga termasuk kegiatan hidroponik atau akuaponik yaitu bertanam sayuran serta ikan di dalam wadah khusus seperti akuarium yang besar. Â Selain itu dikisahkan juga bahwa warga Kampung Labirin kebanyakan berjodoh dengan sesama warga, sehingga boleh dibilang hampir semua warga kampung ini masih terikat tali persaudaraan akibat perkawinan sekampung tersebut. Â
"Bahkan warga kampung yang mencoba pindah dari kampung ini, banyak yang akhirnya kembali lagi ke Kampung Labirin. Salah satunya adalah karena suasana kampung yang bikin betah dan selalu banyak kegiatan selama hampir 24 jam penuh.
"Bahkan di tengah malam pun di sini selalu ramai baik dengan kegiatan warga ,atau pun pedagang makanan, demikian tambah "Ade Irma.
Atraksi kedua adalah menyaksikan anak-anak perempuan yang lebih kecil sedang berlatih menari di beranda sebuah rumah. Â Di dinding rumah ini juga ada peta kampung Labirin yang disponsori oleh salah satu perusahaan swasta terkenal. Â Anak-anak ini berlatih tidak menggunakan seragam tetapi memakai selendang yang diikatkan di pinggang. Tariannya terlihat lemah gemulai dan lumayan menarik bagi penonton.
Rombongan terus mengikuti Ade Irma memasuki lebih jauh kawasan kampung. Di antara Lorong-lorong yang sempit kami semat bertemu dengan perempuan berusia 50 tahunan yang disebut nyai yang sedang membuat Emping jengkol. Jengkolnya tampak dipenyetkan di sebuah wadah dari batu. Â Di sini dijual juga Emping jengkol yang sudah dalam kemasan plastik. Satu plastik harganya juga sangat ekonomis, yaitu 5000 rupiah saja. Sontak lumayan banyak peserta Koteka Trip yang membeli emping jengkol ini. Ada yang langsung dimakan di tempat dan ada juga yang dibawa pulang untuk oleh-oleh.
Kami terus berjalan hingga sampai ke tepian Sungai Ciliwung. Ternyata airnya cukup deras dan di sini kami disuguhkan atraksi pemuda kampung Labirin yang sedang berolahraga Arung Jeram. Wah asyik juga kegiatan mereka. Ternyata fasilitas arung jeram ini juga bisa digunakan oleh pengunjung yang datang sehingga beberapa peserta koteka ada yang tertarik untuk mencoba. Namun karena tidak ada yang membawa pakaian ganti serta keterbatasan waktu, rencana ini akhirnya dibatalkan.
Hari sudah semakin siang. Hampir mendekati pukul dua ketika kami meninggalkan Kampung Labirin untuk menuju destinasi berikutnya pada perjalanan seru di Kota Bogor ini, yaitu Agrowisata Mulyaharja, yang merupakan persawahan terakhir di Kota Bogor. Di sana kami nanti akan sejenak beristirahat sambil makan siang.
Nah jalan-jalan ke Kampung Labirin memang tidak akan mudah dilupakan. Pertama karena ramahnya pemadu wisata seperti Ade Irma, kedua karena jalan-jalan sempit di kampung ini yang bikin kami bisa tersesat, ketiga karena kegiatan arung jeram para pemudanya, dan yang terakhir karena oleh-olehnya yang berkesan yaitu Emping Jengkol.
Bogor, Oktober 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H