Destinasi kedua KOTEKA Trip ke Kota Bogor bersama Dinas Pariwisata Kota Bogor dengan naik uncal adalah Kampung Pulo Geulis, yang terletak di tengah Sungai Ciliwung tepat di sebelah selatan Kebun Raya. Â Walau sering main ke Bogor, saya dan sebagian besar peserta Koteka Trip sebelumnya kurang mengenai nama kampung ini. Apalagi membayangkan ada sebuah pulau di tengah kota Bogor.
"Kampung Pulo Geulis merupakan salah satu kampung yang melambangkan indahnya kebersamaan dan toleransi di Kota Bogor," demikian kira-kira jelas Kang Arief di dalam uncal. Â Dan kata-kata itu terbukti setelah kunjungan singkat kami ke sana.
Turun dari uncal kami kemudian menuruni tangga menyusuri tepian Ciliwung dan sampai di salah satu jembatan menuju kampung ini. Pemandu lokal bernama Dina sudah siap menyambut dengan ramah.  Di depan gerbang jembatan yang sederhana tertulis "Selamat Datang di Kp Pulo Geulis,RW 04,"  dari atas jembatan yang tiangnya dicat warna merah ini, saya dapat memandang sungai Ciliwung yang airnya mengalir cukup deras jauh ke utara menuju Jakarta.  Di dinding warna putih sebuah rumah di seberang jembatan ada poster  bertuliskan "RW Siaga Corona, Kelurahan Babakan Pasar RT 04 RW 04. Yang tidak Berkepentingan Dilarang Masuk,"  dengan ini saya juga mengetahui bahwa secara administratif, kampung ini termasuk Kelurahan babakan Pasar.
Sebuah masjid yang lumayan besar dengan kubah berwarna hijau juga menjadi salah satu bangunan yang pertama kali menyapa pengunjung di kampung ini. Teh Dina kemudian mengajak kami melewati gang dan Lorong yang lumayan sempit dan hanya bisa dilewati kendaraan roda dua. Â Kendaraan roda empat memang tidak bisa masuk ke sini. Â Sambil berjalan The Dina dengan cekatan bercerita tentang indahnya keberagaman di kampungnya yang memiliki penduduk sekitar 2500 jiwa dan kebanyakan penduduknya adalah etnis Sunda dan Tionghoa.
Menurut Teh Dina, di kampung ini, warga masih mempunyai kebiasaan mengantar makanan pada setiap hari raya keagamaan seperti Lebaran maupun Imlek. Â Yang etnis Tionghoa mengantar makanan ke tetangga yang etnis Sunda sewaktu imlek dan demikian juga sebaliknya sewaktu Lebaran. Â Di sepanjang jalan, di dinding tembok rumah dan pagar ada mural dan tulisan narasi mengenai kilasan sejarah Kampung Pulo Geulis yang dulunya bernama Polo Parakan Baranang Siang. Â Akses ke Pulo Geulis ini bisa dari Jalan Roda di belakang Jalan Surya Kencana maupun Jalan Riau di dekat Terminal Bus Baranang Siang.
Dalam perjalanan, Teh Dina juga menunjukkan sebuah tempat yang konon digunakan untuk memandikan salah satu patung yang ada di kelenteng yang akan kami tuju  pada setiap perayaan Cap Go Me.
Thek Thek Dhung Dhung Dheng Dheng Chis, Thek Thek Dhung Dhung, Dheng Dheng Chis, demikian bunyi alat musik ritmis pengiring barongsai yang terdiri dari tambur, lhin, dan jik menggema nyaring memekakkan telinga, menyambut kedatangan rombongan Koteka Kompasiana dan Dinas Pariwisata Kota Bogor di Kelenteng Phan Ko Bio.
Pada tambur yang berukuran lumyan besar yang terbuat dari kayu dan diplitur warna cokelat terdapat tulisan BLBC dilengkapi dengan aksara Hanzhi.  BLBC sendiri ternyata merupakan singkatan dari Bogor Liong Barongsai Club yang merupakan salah satu klub barongsai cukup terkenal di Bogor.  Diiringi ritme musik yang dinamis ini, barongsai dengan kostum warna kuning tua mempertontonkan tariannya yang menghibur.  Sangat menarik, bagaikan dalam suasana imlek walaupun kedatangan kami saat itu adalah di bulan Oktober. Uniknya lagi para pemuda yang bermain barongsai dan juga musik pengiring sama sekali tidak terlihat seperti etnis Tionghoa. Â
Di halaman kelenteng juga ada gerai yang menjual makanan kecil khas Bogor. Â Ada kue pisang, kue mangkok, lemper dan makanan lainnya. Mungkin ini dapat dianggap sebagai representasi kecil Festival Pasar Rakyat yang diusung oleh Adira Finance
Selesai menyaksikan atraksi barongsai dan berfoto bersama, kami dipersilahkan masuk ke ruang utama kelenteng dan disambut pengurus kelenteng yaitu Pak Chandra. Â Pak Chandra di temani oleh Nova, putri salah seorang tetua di Kampung ini, Pak Hamzah, ketua RW 4 dan juga Teh Dina sebagai pemandu wisata yang juga anggota Pokdarwis (kelompok Sadar Wisata) kampung Geulis.
"Bangunan ini adalah sebuah kelenteng dan bukan Vihara," demikian Pak Chandra membuka sambutannya setelah selesai mengucapkan salam. Â Terasa agak aneh karena nama resminya adalah Vihara Mahabrahma. Â Namun Pak Chandra menjelaskan bahwa vihara adalah tempat ibadah umat Buddha yang memiliki waktu jam tertentu untuk beribadah, sementara kelenteng ini terbuka bagi siapa saja untuk berdoa dan tidak memiliki waktu-waktu atau hari tertentu.Â
Di depan pintu masuk kelenteng ada sebuah hiolo atau tempat dupa besar yang terbuat dari kuningan sementara di dekat altar ada lagi beberapa hiolo yang kecil. Â Pak Chandra kemudian menceritakan sekilas sejarah kelenteng ini. Disebutkan bahwa kelenteng ini ditemukan kembali oleh ekspedisi ketiga orang Belanda yang dipimpin Abraham Van Rebeeck pada 1703. Â Konon Van Rebeeck ini juga yang kemudian menjadi Gubernur Jendral Hindia Belanda yang ke 18 pada awal abad ke 18.Â
Ditemukan kembali bukan berarti dibangun karena bisa saja kelenteng ini sudah ada berpuluh tahun sebelumnya. Karena itu sudah bisa dipastikan bahwa kelenteng ini merupakan yang tertua di Bogor, bahkan lebih tua dari Kelenteng Dhanagun yang ada di jalan Surya Kencana dan jauh lebih terkenal. Â Bahkan di kelenteng ini juga terdapat banyak peninggal dari Jaman Pajajaran dan konon pernah menjadi tempat persinggahan Prabu Siliwangi. Â Terbukti dengan ada nya batu megalitikum di beranda dan juga payung bersusun tiga yang berwarna hijau.
Mona. Puteri almarhum Pak Bram yang merupakan pemerhati dan tetua kampung Pulo Geulis juga menambahkan sedikit kisah tentang kampung Geulis dengan menekankan bahwa kata geulis sendiri berarti cantik dalam Bahasa Sunda. Â Sementara Pak Hamzah yang menjadi ketua RW juga menjelaskan sedikit mengenai komposisi penduduk dan jumlah RT serta Kepala keluarga di kampung ini Ada sekitar 2500 warga dan 700 lebih KK, katanya. Â Dan untuk urusan keberagamn, pak RW sendiri menjadi contoh karena beliau sendiri mempunyai istri yang etnis Tionghoa.
Pak Chandra kemudian melanjutkan sedikit kisah mengapa kelenteng ini bernama Phan Ko Bio.  Rupanya karena yang menjadi dewa pelindung di kelenteng ini adalah Dewa Pan Kho yang dipercaya merupakan dewa dari segala dewa atau bahkan leluhur  bagi orang Tionghoa.
Ada beberapa altar di kelenteng ini, baik untuk Dewa Phan Ko maupun Dewi Kwan im, Sang Buddha dan juga beberapa dewa lainnya. Uniknya juga ada altar untuk Eyang Jugo Imam Sudjono. Â Sayangnya saya lupa bertanya siapkah beliau dan mengapa ada altarnya di kelenteng ini.
"Siapa yang mau solat, bisa juga di ruang bagian belakang," demikian kata pak Chandra lagi sambil mengajak kami meninjau ruangan belakang yang dindingnya didominasi warna hijau.  Di pojok ruangan ada sebuah musolah kecil dengan sajadah yang terbentang dan juga sebuah petilasan berupa dua batu monolit. Di atas batu ini juga ditaruh selembar sajadah.  Ada papan nama bertuliskan Eyang Jayadiningrat dan Eyang Sakee di depan batu ini selain  beberapa piring berisi uang logam. Minyak dan lilin yang menyala, korek api serta kendi. Juga ada dua buah air kemasan ukuran kecil.
Di sisi lain ada bendera merah putih, Â kotak donasi warna merah, hio, hiolo kecil dan juga tasbih yang dikalungkan di batu berbentuk nisan kecil serta kendi dan piring berisi korek api. Namun papan nama di sini bertuliskan Utut Gebok.
Di dinding ruangan ini juga banyak digantung gambar Haramain yaitu Masjid Al Haram di Mekah dan Masjid Nabawi di Madinah, serta juga ada gambar ayat-ayat suci Al Quran.  Juga ada payung hijau bersusun tiga.
Setelah sejenak melihat ruang petilasan yang menjadi satu dengan ruang salat kami kembali ke beranda tengah dan melihat-lihat altar serta hiasan lain di kelenteng ini. Â Rupanya julukan vihara sendiri sebenarnya merupakan warisan zaman orde baru ketika semua kelenteng harus berganti nama menjadi vihara. Karena itu sampai sekarang tidak mengherankan bila banyak kelenteng yang juga bernama vihara.
Di sisi halaman luar juga ada toilet dan unik nya di depan toilet ada beberapa tempat untuk berwudu seperti di masjid. Â Bahkan pak Chandra juga bercerita bahwa setiap malam Jumat di ruang belakang juga sering digunakan untuk pengajian.
Sebenarnya masih banyak yang ingin ditanyakan mengenai kelenteng yang unik dan menarik serta kisah kampung Pulo Geulis yang unik. Namun karena koteka trip sudah ditunggu di kampung tetangga, yaitu Kampung Labirin, maka kami pun mengucapkan selamat tinggal kepada Pak Chandra dan teman-temannya sambil mengucapkan banyak terima kasih.
Kampung Pulo Geulis dapat dinobatkan sebagai kampung nan damai penuh toleransi dan keberagaman. Â Walaupun tidak bisa dilalui kendaraan roda empat, kampung Polo Geulis masih bisa dikategorikan sebagai Desa Wisata Ramah Berkendara karena relatif mudah diakses dari berbagai titik di pusat kota Bogor. Â Desa Wisata Ramah Berkendara ini memang sedang giat dicanangkan oleh Adira Finance di berbagai tempat dan lokasi di Indonesia. Â Bersamaan dengan Festival Pasar Rakyat yang menjadi inti kegiatan Festival Kreatif Lokal yang merupakan salah satu program Corporate Social Responsibility (CSR ) tahunan Adira Finance.
Sebuah anjangsana yang menarik ke sebuah kelenteng tempat kita boleh juga salat dan mengaji.
Bogor, Oktober 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H