Thek Thek Dhung Dhung Dheng Dheng Chis, Thek Thek Dhung Dhung, Dheng Dheng Chis, demikian bunyi alat musik ritmis pengiring barongsai yang terdiri dari tambur, lhin, dan jik menggema nyaring memekakkan telinga, menyambut kedatangan rombongan Koteka Kompasiana dan Dinas Pariwisata Kota Bogor di Kelenteng Phan Ko Bio.
Pada tambur yang berukuran lumyan besar yang terbuat dari kayu dan diplitur warna cokelat terdapat tulisan BLBC dilengkapi dengan aksara Hanzhi.  BLBC sendiri ternyata merupakan singkatan dari Bogor Liong Barongsai Club yang merupakan salah satu klub barongsai cukup terkenal di Bogor.  Diiringi ritme musik yang dinamis ini, barongsai dengan kostum warna kuning tua mempertontonkan tariannya yang menghibur.  Sangat menarik, bagaikan dalam suasana imlek walaupun kedatangan kami saat itu adalah di bulan Oktober. Uniknya lagi para pemuda yang bermain barongsai dan juga musik pengiring sama sekali tidak terlihat seperti etnis Tionghoa. Â
Di halaman kelenteng juga ada gerai yang menjual makanan kecil khas Bogor. Â Ada kue pisang, kue mangkok, lemper dan makanan lainnya. Mungkin ini dapat dianggap sebagai representasi kecil Festival Pasar Rakyat yang diusung oleh Adira Finance
Selesai menyaksikan atraksi barongsai dan berfoto bersama, kami dipersilahkan masuk ke ruang utama kelenteng dan disambut pengurus kelenteng yaitu Pak Chandra. Â Pak Chandra di temani oleh Nova, putri salah seorang tetua di Kampung ini, Pak Hamzah, ketua RW 4 dan juga Teh Dina sebagai pemandu wisata yang juga anggota Pokdarwis (kelompok Sadar Wisata) kampung Geulis.
"Bangunan ini adalah sebuah kelenteng dan bukan Vihara," demikian Pak Chandra membuka sambutannya setelah selesai mengucapkan salam. Â Terasa agak aneh karena nama resminya adalah Vihara Mahabrahma. Â Namun Pak Chandra menjelaskan bahwa vihara adalah tempat ibadah umat Buddha yang memiliki waktu jam tertentu untuk beribadah, sementara kelenteng ini terbuka bagi siapa saja untuk berdoa dan tidak memiliki waktu-waktu atau hari tertentu.Â
Di depan pintu masuk kelenteng ada sebuah hiolo atau tempat dupa besar yang terbuat dari kuningan sementara di dekat altar ada lagi beberapa hiolo yang kecil. Â Pak Chandra kemudian menceritakan sekilas sejarah kelenteng ini. Disebutkan bahwa kelenteng ini ditemukan kembali oleh ekspedisi ketiga orang Belanda yang dipimpin Abraham Van Rebeeck pada 1703. Â Konon Van Rebeeck ini juga yang kemudian menjadi Gubernur Jendral Hindia Belanda yang ke 18 pada awal abad ke 18.Â
Ditemukan kembali bukan berarti dibangun karena bisa saja kelenteng ini sudah ada berpuluh tahun sebelumnya. Karena itu sudah bisa dipastikan bahwa kelenteng ini merupakan yang tertua di Bogor, bahkan lebih tua dari Kelenteng Dhanagun yang ada di jalan Surya Kencana dan jauh lebih terkenal. Â Bahkan di kelenteng ini juga terdapat banyak peninggal dari Jaman Pajajaran dan konon pernah menjadi tempat persinggahan Prabu Siliwangi. Â Terbukti dengan ada nya batu megalitikum di beranda dan juga payung bersusun tiga yang berwarna hijau.