Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen - Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Menikmati Kopi Durian bersama Nenek Cantik di Kampung Baduy

20 September 2022   12:16 Diperbarui: 20 September 2022   13:26 1547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suku Baduy merupakan salah satu sub etnis Sunda yang tinggal di kawasan Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Mereka umumnya hidup secara tradisional dan mengisolasi diri dari kemajuan teknologi.  

Secara umum suku Baduy diklasifikasikan dengan Baduy Dalam dan Baduy Luar tergantung tingkat interaksi mereka dengan dunia luar.  

Salah satu cara berkunjung ke Kampung Baduy adalah mampir ke kawasan Ciboleger dan kemudian berjalan kaki ke Kampung Gajeboh yang merupakan perbatasan Baduy Dalam dan Baduy luar.  Yuk ikuti kisah penulis bersama Wisata Kreatif Jakarta berkunjung ke Kampung Baduy Luar.

Stasiun Rangkasbitung
Stasiun Rangkasbitung

Perjalanan pagi itu dimulai dengan naik KRL menuju stasiun terakhir di Rangkasbitung.  Dari Tanah Abang waktu tempuh hampir dua jam melewati 18 stasiun.  

Sebuah peta wisata menunjukkan lokasi Stasiun Rangkasbitung dan juga beberapa tempat wisata terkenal di Propinsi Banten seperti Pantai Sawarna, Taman Nasional Ujung Kulon, Pulau Panaitan,  Gunung Luhur, Hutan Pinus Cisidin dan juga Kebun Teh Harendong. 

Di sebelahnya ada gambar mengenai Wisata Budaya Baduy dengan tiga orang Baduy yang mengenakan busana tradisional. 

Angkot Rangkas Coboleger pp: Dokpri
Angkot Rangkas Coboleger pp: Dokpri

Di stasiun Rangkasbitung ini, kami yang tergabung dalam Baduy Trip yang berjumlah 9 orang berkumpul dan bersama dengan Mbak Ira Latief dari Wisata Kreatif  Jakarta (Total 10 orang) kemudian naik angkot menuju ke Ciboleger. 

Jarak Rangkas Bitung Ciboleger yang sekitar 35 kilometer harus ditempuh selama lebih dari satu setengah jam karena walaupun lalu lintas tergolong sepi tetapi Sebagian jalan dalam kondisi kurang baik. 

Jalan raya Ciboleger Rangkas: Dokpri
Jalan raya Ciboleger Rangkas: Dokpri

Sekitar pukul 12 siang kami tiba di Ciboleger. Lumayan dapat meluruskan kaki yang sekitar 90 menit duduk di dalam Angkot yang berguncang keras di jalan yang kurang baik tadi.  

Angkot berhenti beberapa ratus meter dari pintu masuk kampung karena di sepanjang jalan sudah ramai kendaraan pengunjung yang parkir.  Setiap akhir pekan dan hari libur suasana di  kampung baduy ini memang selalu ramai.

Spanduk Selamat Datang: Dokpri
Spanduk Selamat Datang: Dokpri

"Selamat Datang di Ciboleger Wisata Desa Bojong Menteng Landscape Baduy," demikian sebuah spanduk menyambut kami di pintu gerbang menuju kampung Baduy.  

Di sini juga ada patung sebuah keluarga Baduy yang terdiri dari Ayah, Ibu dan sepasang anak lelaki dan perempuan. 

Mirip dengan kampanye  Keluarga Berencana di zaman Orde Baru dulu, Kata saya dalam hati.  Di bawah patung ini juga ada tulisan yang sama, memberikan salam Selamat Datang kepada semua pengunjung.

Patung Baduy: Dokpri
Patung Baduy: Dokpri

Kami kemudian diperkenalkan dengan beberapa pemuda suku Baduy yang akan menemani kami selama anjangsana siang hingga sore nanti. Baru kemudian saya mengetahui nama-nama mereka yaitu Asmin, Aldi dan Sarnata. 

Kampung Baduy: Dokpri
Kampung Baduy: Dokpri

"Bagi yang ingin salat dulu bisa diantar Sarnata ke masjid," kata Mbak Ira lagi sementara dia akan langsung menjuju ke rumah suku Baduy yang pertama akan kami kunjungi, yaitu rumah kepala kampung yang disebut Pak Jaro.  

Setelah salat, baru kami diantar memasuki perkampungan.  Jalan mulai sedikit mendaki dan ada lagi sebuah tugu yang disponsori salah satu BUMN bertuliskan selamat datang di Baduy.   

Tulisan Baduynya berwarna biru dengan hurup A berbentuk rumah dan di belakangnya ada simbol tiga batang bambu berwarna kuning.

Saba Budaya Baduy: DOkpri
Saba Budaya Baduy: DOkpri

Tidak jauh dari tugu ini, sebuah dinding ucapan selamat datang juga kembali menyambut.  Lagi-lagi disponsori BUMN yang lain. Kali ini ucapannya bertuliskan: "Selamat Datang di Saba Budaya Baduy, Lojor Teu Beunang Dipotong Pendek Teu Beunang Disambung,"   

Baru kemudian setelah sejenak berinteraksi dengan beberapa orang etnis Baduy saya ketahui makna yang mendalam dari filosifi Orang Baduy yang secara harfia berarti Panjang tak boleh dipotong dan Pendek tak Boleh disambung tadi.

Maknanya adalah hubungan yang harmonis antara orang Baduy dengan alam yang telah dilimpahkan oleh sang pencipta.

Kp Kadu Ketug I: Dokpri
Kp Kadu Ketug I: Dokpri

Kami terus berjalan menuju Kampung. Di tepi jalan kecil ada papan nama bertuliskan Kp Kaduketug I dan di sebelahnya ada lagi sebuah gambar seorang lelaki sedang mengatupkan tangan dengan tulisan "Gunung Ulah Dilebur Lebak Ulah Durusak,"   Secara harfiah maknanya adalah Gunung jangan dihancurkan dan lembah jangan dirusak.  

Ajaran ini juga merupakan salah satu falsafah hidup orang Baduy yang sangat menghormati alam dan lingkungan hidup.

Pak Jaro alias Kang Syarif: Dokpri
Pak Jaro alias Kang Syarif: Dokpri

Di rumah pertama , yaitu rumah Pak Jaro, kami berkenalan dengan lelaki berusia sekitar 50 tahun dan anak perempuannya yang bernama Ito.  Baru kami ketahu bahwa Jaro sebenarnya merupakan jabatan sebagai ketua kampung. 

Nama sebenarnya adalah Kang Syarif seperti tertulis di dinding rumah,,Sejenak kami mampir di kemudian diketahui bahwa Jaro sesungguhnya adalah nama jabatan sementara nama aslinya adalah Kang Syarif.  

Di sini juga kami membeli beberapa buah durian yang nanti akan dinikmati setelah selesai jalan-jalan. 

Ito juga sempat mengajak kami masuk ke rumahnya.  Di dalam rumah yang sederhana dan tidak memiliki listrik ini ada seorang anak kecil yang sedang tidur.  

Orang Baduy luar boleh memiliki telepon genggam, tetapi karena tidak boleh ada listrik, maka mereka harus turun ke perkampungan luar untuk menumpang mengisi batere. Sekali cas handphone, bayar dua ribu rupiah, demikian jelas Ito.

Ito juga sempat menjelaskan sekilas mengenai jumlah kampung yang termasuk kawasan Baduy Luar ini. Menurut Ito ada lebih dari 50 Kampung yang termasuk Wilayah Baduy Luar. 

Dan uniknya mereka sendiri menyebut diri mereka sebagai Urang Kanekes atau Orang Kanekes sementara nama Baduy sendiri adalah sebutan orang luar untuk mereka.

Kampung Kadu Ketug II: Dokpri
Kampung Kadu Ketug II: Dokpri

Perjalanan di lanjut memasuki Kampung Kaduketug II.  Di salah satu rumah kami mampir dan melihat seorang perempuan yang sedang menenun kain khas Baduy. Di sini juga dijual berbagai produk pakaian seperti sarung, kain tenun dan baju khas Baduy.

"Baju dan celana pangsi khas Baduy harganya 250 Ribu satu setel sementara sarung 200 ribu rupiah," demikian jelas Rumsah, nama perempuan muda berusia masih belasan tahun itu.    Sementara itu dia juga menunjukkan berbagai kain tenun dan selendang yang dibandrol sekitar 300 ribu atau 200 ribu, tergantung motif dan ukuran.   Juga ada berbagai jenis kerajinan tangan, gula aren dan kopi baduy.

Aswati dan kain Baduy: Dokpri
Aswati dan kain Baduy: Dokpri

Di rumah ini, kami juga berkenalan dengan seorang perempuan berusia tigapuluh tahunan yang dijuluki nenek cantik oleh Mbak Ira.  Namanya Aswati dan sudah mempunyai anak perempuan bernama Marsiah yang juga sudah menikah dan mempunyai anak. Jadi status Aswati sudah menjadi nenek walau baru berusia sekitar 32 tahun saja dan masih sangat muda dan cantik. 

Karena hari sudah menjelang siang, kami harus melanjutkan perjalanan menuju ke rumah ketiga tempat rombongan Baduy Trip akan dijamu makan siang.   Untuk membeli suvenir dapat dilakukan setelah selesai perjalanan sore nanti.

Di rumah ketiga kami dijamu makan siang dengan lauk ikan mas dan ayam goreng lengkap dengan lalapan, sambal, daun selada, mentimun, tahu dan tempe goreng. Walau sederhana, namun terasa sedap dan nikmat.  Di sini juga dipromosikan kopi duren yang nant bisa dinikamti selesai hikijg ke kampung gajeboh.

Anjang sana ke Kampung Gajeboh yang terletak di perbatasan Baduy Dalam dan Luar memang menjadi tantangan yang menarik buat peserta Badyu Trio kali ini. Diperkirakan lama watu sekali jalan sekitar 90 menit melewati jalan-jalan setapak yang sebenarnya cukup baik dan tidak susah untuk dilalui. 

Namun kondisi jalan yang naik dan turun cukup menguras stamina.  Untuk mempermudah perjalanan, kami bisa membeli tongkat hiking yang dijual oleh anak-anak seharga 5 Ribu.  

Tongkat ini akan menemani sepanjang perjalanan baik mendaki maupun menuruni bukit ang berliku-liku sambil meresapi keindahan panorama alam yang terbentang luas di hadapan.

Sekitar 15 menit berjalan santai, kami melewati deretan bangunan yang merupakan lumbung padi. Setiap keluarga harus minimal memiliki satu lumbung dan makin kaya satu keluarga bisa memiliki banyak lumbung. Demikian penjelasan Mbak Ira Latief. 

Setelah melewati lumbing masih ada beberapa jalanan mendaki yang juga harus dilalui dan akhirnya samai di sebuah perkampungan tempat kami bisa sejenak beristirahat. Ada tempat yang menjual kelapa mudah durian dan berbagai jenis makanan dan juga buah tangan.  

Di sepnajang jalan, kami banyak berjumpa dengan penunjung yang membawa durian sambil dipikul. Mereka rupanya membeli durian ini di Kampung Gajeboh yang menjadi tujuan kami.

Kampung Baduy di bebukitan: Dokpri
Kampung Baduy di bebukitan: Dokpri

Di sekitar pertengahan perjalanan ini, Saya ditemani Pak Jali, lelaki Baduy yang  berusia sekitar 50 tahunan memutuskan untuk kembali ke perkampungan.  

Sementara anggota rombongan Baduy Trip yang lain telah lebih dahulu  melanjutkan perjalanan sampai ke Kampung Gajeboh yang memiliki sebuah jembatan gantung dari bambu yang melintas di sungai.  Jembatan inilah yang menjadi ikon kampung ini di samping pemandangan alamnya yang indah.

Jembatan bambu di Kp Gajeboh: Baduy Trip
Jembatan bambu di Kp Gajeboh: Baduy Trip

Pak Jali ini bercerita bahwa dia memiliki 5 orang anak dan 3 di antaranya ternyata ikut menemani kami selama perjalanan di Kampung Baduy ini.  Pantas kalau dua anak yang berusia paling muda yaitu, Aldi dan Almin terlihat mirip karena memang mereka kakak beradik. 

Kami kembali ke temat kami makan siang tadi dimana Mbak Ira sudah menunggu. Sambil menanti anggota Baduy Trip yang lain, kami disuguhi kopi duren yang juga terasa nikmat dan khas.  

Tidak lama kemudianhujan rintik-rintik sempat turun. Untungnya rombongan Baduy Trip sudah kembali dari berkunjung ke Kampung Gajeboh dan kemudian bergabung menikmati kopi duren sambil Sebagian berbelanja souvenir.

Baduy Trip : Ira Latief
Baduy Trip : Ira Latief

Sesuai janji, kami mampir lagi ke rumah tempat nenek cantik untuk membeli berbagai souvenir. Ada yang membeli tas yang dibuat dari kulit kayi tereup, gelang suku baduy, sarung, dan juga gula aren. 

Namun acara yag asyik adalah foto bersama perempuan penenun bernama Rumsah dan nenek cantik bernama Aswati yang memakai busana khas Baduy ebrwarna buru dengan topi khas perempuan Baduy yang berebntuk bundar. 

Ada yang foto sendiri-sendiri, dan ada juga yang foto beramai-ramai. 

Duren Baduy: Dokpri
Duren Baduy: Dokpri

Persinggahan terakhir adalah kembali ke rumah Pak Jaro alias Kang Syarif dan anaknya ro untuk menikmari duren yang telah diesan sembelumnya.  Sebuah duraian dijual dengan ahrga 50 ribu rupiah. 

Walau tidak terlalu besar namun durian baduy memiliki rasa manis yang khas dan sangat enak. 

Bahkan menurut saya merupakan salah satu jeni duren paing nikamt yang pernah saya coba. Walau memang alah terkenal dibanding jenis-jenis duren lain yang sudah kondang seperti duren Medan atau Montong.

Foto bersama: Ira Latief
Foto bersama: Ira Latief

Waktu sudah semakin sore dan mendekati pukul 6 sementara Mentari masih menyisakan sinarnya ketika kami kembali berfoto di depan berbagai tempat yang menjadi penanda atau landmark kampung Baduy ini. 

Termasuk di depan Tugu KB dimana kendaraan alias Angkot sudah menunggu untuk membawa kembali rombongan Baduy Trip ke stasiun Rangkasbitung.

Sekitar pukul 7.30 malam kami tiba di Stasiun Rangkasbitung dan kemudian naik KRL yang berangkat jam 19.40 menuju Tanah Abang.   Di tanah Abang sebagian besar rombongan berpisah untuk kembali ke rumah masing-masing.

Sebuah hari yang panjang dan melelahkan namun menggembirakan dan akan tetap dikenang sebagai sebuah perjalanan yang berkesan.  Selain menikmati durian beserta kopi duren, kami juga sejenak belajar falsafah kehidupan orang Baduy yang penuh dengan kearifan dalam mempertahankan tradisi yang terus menerus mendapat serbuan atas nama kemajuan zaman.

Aswati dan Marsiah: Foto Ira Latief
Aswati dan Marsiah: Foto Ira Latief

Selain kenalan baru sesama rombongan Baduy Trip, kami juga bisa berkenalan dengan beberapa orang etnis Baduy, yaitu Pak Jali dan ketiga putranya Sarnita, Aldi dan Almin, Pak Jaro dan Anaknya Ito, serta nenek Cantik Aswati dan keponakannya si penenun Rumsiah.

Semoga bisa berjumpa lagi di Kampung Baduy entah sampai kapan mereka mampu bertahan terhadap perubahan.

September 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun