Tidak dapat disangkal lagi, bahwa pusat kota Yogya adalah kawasan Keraton yang disebut Jeron Beteng. Di sini terdapat banyak tempa menarik yang sering dikunjungi wisatawan baik Nusantara maupun Mancanegara sepeti Kraton, Taman Sari, Alun-Alun Kidul dan lain sebagainya.Â
Namun sebenarnya kalau kita mau memperhatikan lebih teliti, banyak bagian-bagian di dalam kompleks jeron beteng ini yang tidak kalah menarik.
Sebagaimana kebiasaan saya setiap pagi, adalah jalan kaki di sekitar Alun-Alun Kidul. Â Namun kali ini saya melanjutkan perjalanan kea rah utara di belakang Sasana Dwi Abad dimana terdapat Bangsal Kamandungan yang pernah saya kunjungi sebelumnya. Â Namun kali ini perjalanan di teruskan ke utara melalui jalan dan gang yang kadang sempit di perumahan yang cukup padat penduduk.
Akhirnya saya muncul di Jalan Kesatryan belok kiri dan lalu belok kiri lagi ke Jalan Suryoputran. Di jalan yang cukup besar namun sepi ini di sebelah kanan terdapat sebuah kompleks yang disebut Ndalem Suryoputran dan kedua sisi tepi jalan diparkir beberapa odong-odong VW Kodok yang kalau malam biasa beraksi di alun-alun kidul.Â
Saya berjalan terus kembali ke arah Barat dan melihat sebuah lapangan besar dengan pintu gerbang yang setengah tertutup. Pada pagar besi berwarna hijau ada tulisan: Kendaraan roda 2 dan 3 mohon Dituntun. Â Â
Kebetulan, saya juga melihat seorang lelaki, bercelana pendek. Memakai helm dan membawa kantong plastik sedang menuntun sepeda motor ke arah keluar lapangan.
Di tengah lapangan terdapat sebuah bangsal besar dengan atap berbentuk joglo yang bersusun tiga. Bangsal yang terbuka ini terlihat memiliki lantai dari ubin warna kuning dan ditopang banyak tiang dari kayu berwarna coklat tua. Â
Ini adalah Bangsal Magangan atau Kamagangan yang konon dulunya digunakan untuk tempat tes bagi calon pegawai, prajurit atau abdi dalem di Kraton Yogya. Seluruh bangunan dikeliling oleh pagar berwarna hijau.
Tepat di sebelah utara bangsal ada sebuah pohon tua yang cukup besar. Saya duduk sejenak di sini sambil memperhatikan sebuah pintu gerbang atau regol yang menuju ke bagian dalam kraton. Tepat di depan regol ada bangunan terbuka yang disebut Bale Rata. Â
Banyak abdi dalem yang duduk di sini dan memakai pakaian adat Jawa. Â Bila kita masuk sedikit ke dalam Regol, ada tembok warna putih yang atas dihiasi Candra Sengkala Memet berbentuk dua ekor naga warna hijau yang buntutnya saling bertautan, Â Ini adalah Dwi Naga Rasa Tunggal yang melambangkan Tahun Jawa 1682 atau 1756 Masehi.
Sementara di kedua sisi gerbang, juga ada tembok dengan masing-masing bertengger naga warna merah yang menghadap ke selatan. Konon ini adalah Dwi Naga Rasa Wani yang ternyata sama memiliki arti tahun 1682. Â Cukup menyenangkan duduk di sini dan memperhatikan kegiatan di sebelah selatan bangunan pusat kraton ini.
Kalau kita sejenak berkeliling di sekitar Bangsal Magangan ini, ada beberapa bangunan kecil di sebelah utara yang langsung berbatasan dengan tembok putih Kraton dan ada yang juga digunakan sebagai pos penjagaan. Â Sementara di bagian barat terdapat Bale Raos, yang merupakan restoran yang konon menyajikan menu kuliner yang biasa disantap oleh keluarga Sultan.
Saya melihat ada lagi seorang lelaki yang sedang menuntun sepeda motor dengan latar belakang bangsal lebihi kecil  di sebelah  barat daya dengan tiang-tiang dari tembok yang besar. Lantainya juga sama yaitu ubin warna kuning. Â
Sejenak saya teringat pernah berkunjung ke tempat ini beberapa tahun lalu dan melewati Jalan Magangan Kulon untuk terus sampai ke pohon tua di perempatan Jalan Taman dan yang juga ke Pasar Ngasem.Â
Pada salah satu tembok di sebelah kanan ada sebuah tugu kecil dengan prasasti bertuliskan aksara Jawa. Sayangnya saya tidak dapat membaca tulisan tersebut dan hanya ada di baris paling bawah angka 1891. Apakah menunjukkan angka tahun?
Kemudian saya kembali ke arah timur dan kali ini bahkan melihat deretan lebih banyak lagi odong-odong warna pink di kedua sisi jalan. Semuanya berbentuk mobil VW baik Kombi maupun kodok.
Perjalanan di dalam kompleks Jero Beteng terus berlanjut ke arah utara melewati Jalan Kesatryan. Namun dalam pikiran saya masih membayang prasasti bahasa Jawa di Magangan Kulon dengan angka 1891 itu.
Yogya, Juli 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H