Tidak lama saya berada di Panggung Krapyak dan sejenak mengagumi keindahan serta peran monumen ini dalam simbol poros atau sumbu filosofi Utara Selatan yang sarat nilai budaya Jawa. Â
Akhirnya saya memutuskan kembali ke Alun-Alun Kidul melewati jalan Ali Maksum dan DI Panjaitan dengan niat melalui kaki lima yang berseberangan. Tujuannya agar dapat melihat tepat yang mungkin dilewatkan pada perjalanan ke arah selatan sebelumnya.
Setelah  melewati Kampung Santri, perjalanan memasuki kawasan Jogokaryan yang terkenal dengan masjid nya yang fenomenal.  Di tepi jalan karena masih pagi banyak penjaja makanan yang menggelar jualannya di tepi jalan.Â
Salah satunya adalah Nasi Arab alias Kebuli yang ditawarkan seharga Rp. 13 Ribu. Â Ditulis juga jika nasi ini menggunakan beras basmati lengkap dengan telur ceplok dan irisan ayam. Penjualnya adalah Kun Anta.
Tidak jauh dari sini ada juga menjual jajanan pasar dengan harga sangat ekonomis yaitu mulai Rp. 1000 per buah. Bermacam-macam jajanan ada di sini dan ramai sekali ibu-ibu yang belanja. Â Di dekatnya ada gambar berbagai jenis kue tadi dalam tampah lengkap dengan nomor hape penjualnya. Selain dijual di sini, juga menerima pesanan.
Saya terus melangkah di Jalan DI Panjaitan dan menyeberang jalan melewati kaki lima yang sebelah kiri. Â Tepat di seberang Six Senses, banyak orang-orang sedang berkumpul sambil santai di kaki lima. Tiba-tiba saja sebuah sepeda motor datang dan membagikan makanan dalam kotak.Â
Sontak orang-orang tadi mengerubungi sepeda motor tadi yang dalam watu sekejap sudah menghabiskan makanan kotak dan pergi meninggalkan tempat. Mungkin karena ini adalah Jumat pagi sehingga banyak dermawan yang membagikan makanan di tempat-tempat tertentu. Jumat Barokah istilahnya.
Berjalan terus ke utara, pada sebuah dinding, ada lukisan mural tentang perjuangan Palestina. Di antarnya bergambarkan seorang perempuan dengan kerudung motif catur hitam utih khas Palestina. Lukisan ini berjudul Laela Khaled, Perempuan Pejuang Palestina. Di sebelahnya ada lagi mural bergambar Dome of The Rock.
Sementara di sebelah kanan jalan dari seberang saya sempat melihat sebuah gereja yang cukup besar dan cantik. Namanya GBI Ngadinegaran Yogyakarta. Â GBI sendiri merupakan singkatan Gereja Betel Indonesia. Â
Bagian depan gereja ini ada hiasan bertuliskan huruf Yunani Alpha dan Omega yang mengapit sebuah tangan terbuka yang memegang sebuah buku, mungkin Al-Kitab atau injil.
Kembali ke sebelah kiri jalan, ada sebuah rumah tua dengan halamannya yang luas. Sepertinya sedang direnovasi dan arsitekturnya mirip dengan rumah-rumah di Kebayoran Baru yang dibangun pada era 1960-an. Terkesan sangat minimalis dan cantik.
Tidak jauh dari rumah ini, ada sebuah bangunan bertingkat dua yang terdiri dari beberapa petak alias pintu. Di salah satu pintu ada sebuah kendaraan yang sedang parkir. Halamannya cukup luas dan di dinding bagian depan ada tulisan Azalia Homestay. Â Â
Rupanya di sebelah selatan Plengkung Gading juga sudah mulai tumbuh hotel dan penginapan karena sebelumnya saya juga sempat melihat logo beberapa franchise penginapan.
Akhirnya saya sampai kembali di lampu merah dekat Plengkung Gading. Pintu gerbangnya yang khas dengan atap melengkung dan lebarnya yang minimalis sehingga kendaraan roda empat harus bergantian melewatinya merupakan salah satu ciri khas pintu gerbang dari selatan menuju ke kawasan Jeron Benteng ini. Â
Saya pun kembali berada di Alun-Alun Kidul. Sejenak beristirahat sambi memperhatikan kegiatan orang-orang yang jalan kaki atau jogging, bermain Masangin atau sekedar cuci mata dan kulineran di sini. Â Kalau ditotal pulang pergi, saya mungkin berjalan kaki lebih dari 7atau 8 kilometer pagi ini.
Jalan kaki di Yogya, memang selalu menyenangkan. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H