Sudah beberapa hari saya kembali berada di Yogya. Sebuah kota yang selalu bikin kangen dan penuh  nostalgia dari abad lampau.  Tadi malam saya menyempatkan beranjangsana ke kawasan Sosrowijayan, Pasar Kembang dan daerah di sekitar Stasiun Tugu.  Suasana sangat ramai dan kendaraan padat merayap. Maklum di masa liburan sekolah seperti sekarang ini, Yogya memang selalu ramai.Â
Nah suasana di sekitar kawasan itu membawa ingatan ketika pertama kali saya menginjakkan kaki di kota ini. Sudah lama sekali lebih dari 46 tahun yang lalu, atau tepatnya akhir 1975. Â Kalau itu saya memberanikan diri meninggalkan kampung halaman untuk menuntut ilmu di kota ini. Â Lalu bagaimana cara ke Yogya pada zaman itu?
Tentu saja ada banyak cara ke Yogyakarta. Secara umum masih sama dengan sekarang kecuali jarang sekali yang ke Yogya naik kendaraan pribadi, apalagi lewat tol Trans Jawa karena saat itu Indonesia, bahkan pulau Jawa belum ada jalan tol dan kebanyakan rakyat juga belum punya kendaraan pribadi.
Dari pulau Sumatra, bisa naik kapal yang menyeberangi rute Pelabuhan Panjang menuju Merak.  Kalau sekarang untuk menyeberang banyak feri dari Bakauheni, bahkan saat itu Pelabuhan Bakauheni pun belum ada.  Setelah naik kapal dari Panjang ke Merak, perjalanan dilanjut dengan bus menuju terminal di Lapangan Banteng.  Kala itu Lapangan Banteng  merupakan terminal bus antar kota sekaligus salah satu terminal paling ramai di ibu kota.  Oh ya terminal bus antar kota di Pulogadung sendiri baru ada sekitar tahun 1976 atau 1977. Â
Selain dari Lapangan Banteng, penumpang juga bisa naik bus antar kota dari beberapa kantor agen bus malam di sekitar Jalan Gajah Mada.  Walau tidak seramai sekarang, kawasan Gajah Mada dan Hayam Wuruk juga sudah ramai dan sedikit macet pada saat itu.  Lalu berapa harga tiket naik bus malam Jakarta -Yogya.  Harganya yang saya ingat adalah Rp. 2.200 Rupiah saja.  Harga tiket bus hampir sama  dengan tiket kereta api kelas ekonomi dari Stasiun Gambir.
Bus biasanya berangkat sekitar pukul 4 atau 5 sore dari Lapangan Banteng dan kemudian bergerak kea rah timur melalui Pantura melewati Cempaka putih, Pulogadung, Bekasi.  Ada dua rute bus yang popular, yaitu bisa lewat rute selatan melewati Purwokerto, Gombong dan Kebumen  atau jalur utara melalui Semarang dan kemudian Magelang.  Bus juga berhenti beberapa kali untuk istirahat dan makan di Sukamandi serta sekitar Pekalongan.
Biasanya bus malam akan tiba di Yoga sekitar pukul 4 pagi di kantor agen bus malam di dekat stasiun tugu, di jalan Mangkubumi. Dan dar sini perjalanan bisa dilanjutkan dengan berjalan kaki atau naik becak menuju ke penginapan atau losmen dan hotel tempat kita menginap.Â
Saya masih ingat menginap pertama kali di sebuah hotel atau losmen di sekitar Sosrowijayan dengan tarif 900 Rupiah per malam. Â Nah untuk tempat wisata di Yogya dan sekitarnya, secara umum masih sangat terbatas dan belum banyak seperti sekarang. Tentu saja kawasan Malioboro tetap menjadi primadona bahkan sejak dulu. Â Namun yang jelas Benteng Vredeburg pada saat itu masih menjadi tempat yang angker dan menyeramkan karena tertutup rapat menyimpan seribu misteri.
Tempat yang menjadi favorit tentu saja kraton Yogya dan sekitar alun-alun utara. Â Di sini selalu ada perayaan Sekaten bila kita datang pada bulan-bulan tertentu.
Setelah beberapa hari di hotel, akhirnya saya kemudian pindah ke kos di Jalan Gerjen yang kini menjadi Jalan Nyai Ahmad Dahlan. Â Kebetulan di sini juga tinggal beberapa tetangga yang sudah lebih dahulu belajar di Yogya.
Ketika baru datang, untuk bepergian di dalam kota, kita bisa naik becak dengan ongkos tergantung jarak. Untuk jarak dekat biasanya hanya sekitar selangkung atau 25 Rupiah sedangkan untuk yang lumayan jauh seperti dari Malioboro ke Batas Kota di Sekitar Demangan atau Gejayan hanya sewidak atau enam puluh rupiah saja. Wah murah sekali. Â Tetapi kala itu dengan uang 6 Ribu Rupiah saja, cukup untuk biaya hidup untuk satu bulan di Yogya.Â
Untuk biaya makan, Yogya juga relatif lebih murah dibanding kota besar lainnya. Â Hanya dengan sekitar 20 atau 25 Rupiah sudah bisa menikmati SGPC alias sego pecel. Â Kalau mau makanan lebih mewah dengan daging atau ayam pun masih bisa di bawah 50 Rupiah sekali makan. Â
Sementara itu tempat wisata yang juga sudah sangat popular dan wajib dikunjungi kalau kita ke Yogya adalah Candi Prambanan dan Candi Borobudur. Â Kondisi kedua candi tersebut tentunya sedikit berbeda dengan kondisi saat ini. Candi Borobudur sendiri sedang dalam keadaan di restorasi sehingga hanya bagian tertentu yang bisa dikunjungi dan masih banyak alat-alat berat di sekitar candi. Â Untuk ke Borobudur, kita harus naik bus dan tidak ada yang langsung dari Yogya melainkan harus ganti bus di Muntilan.
Sementara yang bisa saya ingat tentang Candi Prambanan, adalah masih banyak patung-patung yang sekarang berada di dalam candi, dulunya ada berserakan di luar candi dan kondisi candi Sewu yang masih belum direstorasi.
Demikian sekilas  mengenai situasi Yogya di sekitar pertengahan tahun 1970-an. Sebuah kisah dan pengalaman yang tetap masnis untuk dikenang, bahkan setelah puluhan tahun berlalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H