Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen - Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Wu,Wen, dan Dao, Tiga Hal yang Harus Diingat Pemain Kungfu

24 Juni 2022   15:56 Diperbarui: 24 Juni 2022   22:11 1003
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu daya tarik PIK2 adalah kawasan PIK Pantjoran yang ada di salah satu pulau reklamasi di sebelah utara Jakarta.  Berada di PIK Pantjoran ini, kita seakan-akan berada di Shanghai atau Beijing dengan bangunan, arsitektur, kuliner dan atmosfernya yang khas Tiongkok. Yuk kita mampir dan melongok sejenak apa saja yang ada di sana.

Siang menjelang sore, kami tiba di PIK Pantjoran dan masuk dari arah belakang. Sekilas suasana Tiongkok sudah langsung menyeruak dengan banyaknya bangunan beratap khas yang tidak salah lagi mencerminkan arsitektur Tionghoa.

Asyiknya lagi walau sebenarnya merupakan tempat kumpulan restoran dan gerai yang menjual berbagai jenis kuliner, tempat ini juga dilengkapi dengan berbagai wahana dan informasi mengenai budaya dan bahkan agama Tionghoa.  Sebagaimana tempat wisata yang baik, informasi bahkan ditulis dalam Bahas Indonesia dengan terjemahan Bahasa Inggris.

Tukang Kelontong: Dokpri
Tukang Kelontong: Dokpri

Informasi pertama yang saya lihat adalah sebuah gambar berjudul Asal-Usul Toko Kelontong yang bergambar deretan rumah-rumah khas Tiongkok tempo dulu sebagaimana pernah ada di kawasan Senen dan Jatinegara.  

Di depannya ada juga gambar becak, dan  pedagang keliling. Pedagang keliling ini digambarkan sebagai orang Tionghoa yang berjualan sambil membunyikan kelontong, yaitu tambur kecil dengan dua buah bola. 

Mural: Dokpri
Mural: Dokpri

Di sebuah area terbuka terdapat beberapa kursi dengan meja berbentuk bulat. Dan di dekatnya ada sebuah mural atau lukisan dinding yang menggambarkan kehidupan sehari-hari. 

Ada sebuah keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu dengan dua anak yang sedang melihat-lihat di sebuah pasar atau super market yang digambarkan dengan bahan makanan dan lampion. 

Di sisi lain ada dua anak perempuan dan juga tumpukan buku-buku yang menggambarkan sebuah toko buku.  Ada tulisan dalam aksara Hanzi yang mengucapkan selamat datang di Supermarket dan toko buku.

Memasuki lebih dalam ke kawasan ini, ada sebuah gerai yang menjual Babi Emas dan juga bebek panggang. Lengkap dengan daftar harga dan bahkan ongkos kirim seandainya dibawa pulang. Di dalam kotak kaca tergantung seekor babi dan bebek yang masih utuh. 

Di kawasan ini terletak banyak sekali gerai yang menjual kuliner Tionghoa serba tidak halal alias mengandung babi dengan berbagai merek, bentuk dan nama, antara lain Babi panggang TGR 99, Sate Babi bawah Pohon yang berasal dari Bali, serta masih banyak lagi. 

Wu Wen Dao : Dokpri
Wu Wen Dao : Dokpri

Di pojok, ada lagi sebuah mural yang menggambarkan kehidupan seorang pesilat atau pemain Kung Fu. Pada gambar ini ada sebuah plakat yang menjelaskan tentang Wen Wu Dau yang menjelaskan bahwa seorang yang mempelajari Kungfu harus ingat tiga hal, yakni Wen (pengetahuan dan budaya), Wu (kedisiplinan diri,Latihan yang tekun, tekad yang bulat) dan Dao (Keagamaan, Ketuhanan yang Maha Esa, ketenangan batin). Ketiga hal inilah yang menjadi landasan untuk mempelajari Kungfu yang sejati.

Masih di dekat kawasan makanan yang mengandung babi ini, ada sebuah paviliun atau gazebo dengan dinding terbuka dan beratap mirip kelenteng. Di dalamnya ada sebuah patung berwarna emas dengan dupa di depannya. 

Rupanya ini menjadi tempat ibadah agama Tao dan saya sempat melihat seorang pengunjung yang berdoa di sini dengan meletakan hio atau dupa dan memasukkan sumbangan di kotak yang tersedia.  

Pav Dewa Kekayaan: Dokpri
Pav Dewa Kekayaan: Dokpri

Patung lelaki tua berjanggut panjang ini ternyata bernama Cai Shen Ye yang merupakan Dewa Harta atau kekayaan.  Pada sebuah plakat di dekat patung ini dijelaskan bahwa ada dua macam Dewa Kekayaan yaitu, Dewa Harta Sipil dan Dewa Harta Militer. 

Dijelaskan juga bahwa pada zaman Tiongkok kuno hanya ada dua cara untuk memperoleh kedudukan dan kemakmuran hidup, yaitu melalui Wen (Ilmu sastra) dan Wu (Ilmu Ksatria). Di sini juga ada buku mengenai dewa dewi agama Tao yang bisa kita baca dan miliki dengan gratis.

Pada bagian atas kuil atau kelenteng mini ada ada sebuah papan bertuliskan tiga huruf Hanzie dengan warna kuning keemasan. Tertulis Cai Shen Ting atau Paviliun Dewa Kekayaan.  Terima kasih kepada Google Translate yang membantu saya membaca tulisan ini.

Saya terus berjalan menyusuri kawasan PIK Pantjoran dan melihat berjenis kuliner baik Bakmi Gang Kelinci dan makanan lainnya.  Nah selain itu juga terdapat lagi papan informasi mengenai Kesenian Gambang Keromong yang dinobatkan sebagai Orkes Batavia. 

Dijelaskan bahwa Gambang Keromong ii merupakan akulturasi seni budaya Tionghoa dan Nusantara. Diceritakan bahwa pada abad ke 19 sampai awal abad kedua puluh, memiliki orkes Gambang Keromong dan para penyanyi cokek merupakan salah satu simbol status bagi para hartawan Tionghoa.

Gambang Kromong
Gambang Kromong

Pada informasi yang ditulis dalam tiga bahasa yaitu Indonesia, Inggris dan Mandarin ini juga memperkenalkan Encim Masnah atau Pang Tjin Nio yang merupakan diva penyanyi gambang keromong pada zamannya. Ada juga gambar Encim Masnah sedang bernyanyi dengan latar belakang orang sedang bermain mahyong.

Tidak jauh dari papan informasi ini ada lagi sebuah papan informasi bergambar shio atau zodiak Tionghoa dengan dua belas ekor hewan yang menjadi ciri khas budaya Tionghoa. Digambarkan kerbau, tikus, harimau, naga dan ayam yang merupakan beberapa contoh shio. 

Perjalanan di Pantjoran PIK belum selesai, saya melewati restoran Punggol Nasi Lemak dan menyeberangi jembatan untuk sampai di Gerbang Utama. Sebenarnya ini adalah pintu masuk depan PIK Pantjoran.  

Pintu gerbangnya sangat megah dengan atap bersusun yang terdiri dari tiga buah atap. Di bagian tengah tepat di bawah atap ada lima buah aksara Hanzie dengan warna emas berlatar belakang biru cerah. 

Di dekat pintu gerbang utama ini terdapat sebuah tram warna merah yang bernama Batavia dan merupakan bus tram Batavia no 1.  Walau selalu parkir, bus tram ini juga memiliki nomor polisi karena memang bisa berjalan sebagaimana bus umumnya.

Tidak terasa waktu salat Ashar telah tiba, dan kami segera mencari muslah di kawasan PIK Pantjoran. Untungnya walau tidak terlalu besar dan nyaman, di sebuah pojok terdapat juga toilet dan musala.

Foto-foto: Dokpri...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun