Perjalanan di kawasan Menteng dilanjutkan setelah menonton film Slovakia "Servants" di Goethe Institute. Â Sekitar jam 4 sore, saya mulai perjalanan kembali dari Jalan Sam Ratulangi. Â
Begitu keluar pintu kecil satpam, saya sejenak melihat beberapa pulih meter di sebelah kanan di seberang jalan. Tepat di dekat halte SMU, ada beberapa mikrolet warna biru yang kini sudah menjelma menjadi Jaklingko rute 10 A . Namun anehnya selalu ada dua atau tiga mikrolet yang berhenti di sini dalam keadaan kosong sementara pengemudinya bersantai di tepi jalan.
Tidak lama kemudian sebuah bus TransJakarta berwarna kuning oranye melintas. Rupanya rute 2 Q Senen Gondangdia. Â Â Rupanya ada beberapa rute Trans Jakarta yang melayani stasiun Gondangdia seperti bus 2 P yang parkir di tepi jalan di seberang stasiun.
Jalan Sam Ratulangi sepeti biasa selalu ramai walau tetap lancar. Â Kendaraan pribadi dan sepeda motor termasuk ojek online lalu lalang di sini. Namun si sepanjang jalan di kaki lima sama sekali tidak ada seorang pun yang berjalan kaki. Hanya rumah-rumah besar dengan pagar yang tinggi menyambut dengan angkuh.
Di lampu merah pertama saya menyeberang jalan dan melihat bahwa di sebelah kiri adalah Jalan Kamboja. Namun sebuah portal menutup jalan ini, pertanda bahwa jalan ini di tutup untuk kendaraan. Â Hal ini mengingatkan saya bahwa cukup banyak jalan-jalan di kawasan Menteng yang diberi portal. Â Beberapa tahun lalu saya juga pernah berkenadra dan bertemu dengan jalan yang ditutup termasuk di persimpangan Jalan Tanjung menuju Jalan Cendana.
Beberapa rumah setelah melewati Jalan Kamboja , saya sampai di Jala Samratulangi no 29. Â Di sini ternyata letak kantor pusat Pengurus Besar IDI atau Ikatan Dokter Indonesia. Sekilas kantornya sepi dan tutup. Â Sama sekali tidak ada orang dan kegiatan. Â Â Tepat tiga rumah setelah PB IDI, ada lagi sebuah kantor yang juga masih berhubungan dengan Kesehatan, yaitu kantor pusar Yayasan Kanker Indonesia yang terletak di no 35. Â Sama dengan kantor IDI, kantor ini pun terlihat sepi. Dan tepat di sebelahnya ada sebuah restoran.
Di lampu merah berikutnya, saya belok kanan menuju ke Jalan Yusuf Adiwinata. Sekilas kaki lima di jalan ini lebih sempit dibandingkan di Jalan Sam Ratulangi, sehingga untuk berjalan kaki saya lebih banyak berjalan di tepi jalan, Untungnya lalu lintas juga tidak ramai, sangat lancar dan sama sekali tidak ada orang yang berjalan kaki.
Saya melewati persimpangan Jalan Lombok dan kebanyakan hanya rumah-rumah besar di jalan ini di samping beberapa yang digunakan sebagai kantor seperti kantor Chandra Motik  dan di sebelah kana nada juga Kantor Penghubung Pemda Sulawesi Selatan.  Di tepi jalan ini, hanya ada beberapa pedagang kaki lima yang saya lihat seperti tukang buah dingin dan juga beberapa tukang bakpao.Â
Tepat di depan rumah bernomor sekitar 55 atau 57, ada tukang Bakpao yang bertuliskan Medan Songbie. Â Karena agak lapar, saya berhenti sebentar dan membeli sebuah bakapo. Â Harganya 11 ribu Rupiah, Â memang lebih mahal dibandingkan bakpao di daerah lain atau di Stasiun Trans Jakarta di Pancoran yang hanya sekitar 8 ribu Rupiah. Mungkin karena di daerah Menteng. Ketika saya duduk sebentar sambil makan bakpao ada seorang perempuan yang juga membeli. Bedanya dia menggunakan sepeda motor, sementara saya hanya berjalan kaki. Â Udara sore yang cukup bersahabat membuat perjalanan sore di Jakarta Pusat tetap menyenangkan.
Selesai makan Bakpao, saya melanjutkan perjalanan, belum terasa lelah, apalagi sudah mengisi amunisi. Â Namun tidak banyak yang dilihat di Jalan Yusuf Adiwinata ini kecuali rumah-rumah besar dengan halaman lumayan luas dan pintu pagar yang selalu tertutup rapat.
Di lampu merah berikutnya , saya sampai di persimpangan dengan Jalan Sutan Syahrir dan kali Malang yang memisahkannya dengan Jalan Moh Yamin. Â Saya belok kanan dan meniti Jalan Sutan Syahrir. Kaki lima di sini sangat sempit dan Sebagian ditumbuhi dengan pohon-pohon tua yang akarnya besar. Seraya berjalan di tengah rimba di Angkor. Â
Berjalan tidak lama sudah terlihat Bundaran HI di kejauhan dengan lalulintas yang ramai. Â Di sebelah kanan, saya juga melihat parkiran di Belakang Wisma Nusantara. Â Tiba di Bundaran HI, kembali saya bingung mau menyeberang lewat mana. Saya melihat Halte Trans Jakarta Bundaran HI yang sedang direvitalisasi. Dan Untungnya tidak jauh dari sini tepat di depan hotel Pulman ada zebra cross tempat menyeberang Jalan Thamrin menuju ke Plaza Indonesia dan Hotel Grand Hyatt. Karena jangan coba-coba menyebrang sembarangan di sini kalau tidak mau didenda 5 Juta Rupiah seperti tertra di pengumuman ini.
Tepat di tepian Bundaran HI ini, ada beberapa sepeda warna merah oranye yang diparkir di tepi jalan. Kondisinya sangat memprihatinkan karena walau masih bagdgus tetapi Sebagian sudah risak dan bahkan ada yang tempat duduknya sudah copot. Rupanya ini adalah Bike Sharing DKI yang sekitar tahun 2020 lalu baru diresmikan pemda DKI. Â Ada dua tempat penumpukan sepeda yang semuanya sudah menjadi kuburan. Â Sebelumnya saya juga sempat melihat kondisi serupa di Jalan Sudirman.
Sekitar pukul 5 sore akhirnya saya sampai di Grand Indonesia, dan berakhirlah perjalanan sore jalan kaki di kawasan Menteng. Kawasan yang selama ini sering saya lewati tetapi selalu menggunakan kendaraan. Lebih 2 kilometer saya berjalan kaki, namun selama itu, tidak satu pun pejalan kaki yang menemani.
Ternyata dengan berjalan kaki, kita bisa melihat dan belajar lebih banyak.
Foto-foto: Dokpri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H