Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen - Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ada Hari Kartini, Ini Sebabnya Tidak Ada Hari Kartono

23 April 2022   13:47 Diperbarui: 23 April 2022   13:50 654
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Raden Mas Kartono: Tirto.id

Setiap tanggal 21 April, kita merayakan Hari Kartini untuk memperingati perempuan hebat yang visi dan pandangannya mendahului zaman dan era kehidupannya. Dia dikenang sebagai putri yang menguak jalan bagi kemajuan perempuan di negeri ini. Banyak sudah puja dan puji diberikan baik di Indonesia dan bahkan di negeri eks penjajah, Negeri Belanda. Di negeri ini juga bahkan ada nama jalan R.A. Kartini.

Namun ada seorang sosok di belakang Kartini yang sering dilupakan, jarang diekspose dan banyak yang tidak mengetahuinya. Dia bagaikan hilang ditelan roda zaman dan sejarah. Bahkan sering secara tidak sadar kita mengucapkan Namanya hanya sekedar bahan candaan. "Kalau ada Kartini, tentunya ada Kartono."

Ternyata di balik relung-relung sejarah, sosok Kartono memang ada dan nyata. Siapakah Kartono ini? Bagi yang pernah menonton film Kartini, tentunya maklum bahwa Kartono adalah kakak kandung Raden Ajeng Kartini.

Nama lengkapnya adalah Raden Mas Panji Sosrokartono yang dilahirkan di Pelemkerep, Mayong, pada 10 April 1877.  Usianya dua tahun lebih dua dari Kartini dan secara kebetulan, keduanya dilahirkan pada bulan yang sama, yaitu April,  Beliau adalah anak keempat dari pasangan Raden Mas Ario Samingun Sosroningrat, sang Bupati Jepara dengan istri kedua berstatus garwo ampil , Ngasirah. 

Sosok Kartono inilah yang sewaktu muda banyak sekali mendorong dan memberi inspirasi buat Kartini sehingga nama Kartini sejarang abadi sebagai pahlawan bagi kaumnya, kaum perempuan di Tanah Jawa dan Nusantara yang kala itu hidup dalam banyak keterbatasan dan kekangan.

Sosok Kartono ini dapat dibilang sangat hebat untuk masanya, bahkan untuk kebanyakan orang Indonesia sekarang ini. Dia mendapatkan pendidikan terbaik yang sebenarnya hanya tersedia untuk kalangan terbatas. Mengenyam pendidikan di sekolah untuk orang Belanda yaitu ELS atau Europeschee Lagere School di Jepara dan kemudian melanjutkan ke HBS (Hogere Burger School) di Semarang. 

Bukan itu saja Kartono juga menjadi salah satu dari generasi pertama pemuda pribumi yang memiliki kesempatan emas untuk melanjutkan pendidikan tinggi di negeri Belanda.  Pada akhir abad ke XIX, yaitu pada 1898, Kartono berangkat ke negeri Belanda untuk belajar di Polytechnische School te Delft, yang merupakan yang merupakan Sekolah TinggiTeknik paling bergengsi di negeri Belanda.  Harapannya agar bisa lulus menjadi insinyur dan kemudian menghadapi masalah banjir yang sering melanda Jepara.  Namun, karena merasa kurang minat di bidang teknik, Kartono akhirnya  malah pindah ke jurusan Sastra Timur di Leiden.  Sebuah Universitas yang juga tidak kalah terkenalnya hingga saat ini.

Kartono memang mempunyai bakat, minat seta kemampuan yang sangat mumpuni dalam bidang sastra dan bahasa. Sejak masih di tanah air dia sudah menguasai beberapa bahasa asing dan bahasa daerah. Ketika belajar di Leiden ini, diam makin meningkatkan kemampuannya dalam berbahasa sehingga bisa dinobatkan sebagai seorang poliglot. Konon sekitar 35 bahasa mampu dikuasainya.

Karena kemampuan, kepintaran dan juga pergaulannya yang luas di Eropa, Kartono bahkan mendapat julukan Pangeran Jawa di Eropa.  Namun karena pergaulannya ini pula beliau sedikit agak tersendat ketika menyelesaikan kuliahnya di Leiden. Baru pada 1908 dia lulus dari Leiden.

Kemampuannya dalam berbahasa ini lah yang kemudian membuatnya mampu meniti karier cemerlang di Benua Biru. Dia diangkat menjadi wartawan surat kabar terkenal dari New York yaitu "The New York Herald Tribune",  ketika Perang Dunia Pertama mengganas di Eropa.

Ketika menjadi wartawan perang ini, Kartono mendapatkan pangkat mayor dalam tentara sekutu walaupun dia tidak pernah mau membawa senjata.  Kartono terbilang sukses dalam kariernya sebagai wartawan terutama ketika meliput suatu perundingan rahasia antara Jerman dan Perancis yang konon diadakan di gerbong kereta api di tengah hutan di Perancis. Konon perundingan ini yang kemudian menjadi cikal balal Perjanjian Versailles yang menandakan kemenangan sekutu pada Perang Dunia Pertama itu.

Setelah Perang Dunia berakhir, karier Kartono kian cemerlang dan mendapat tugas sebagai penerjemah di Liga Bangsa-Bangsa yang menjadi pendahulu PBB.  Selain itu, pada 1919, Kartono juga ditugaskan sebagai atase kebudayaan di Kedutaan Besar Perancis di Den Haag.

Namun Kartono akhirnya merasa bosan hidup di Eropa dan pada 1925 dia kembali ke Hindia Belanda. Walau penuh keraguan akan masa depannya di tanah air sendiri. Walaupun demikian dia ingin bekerja untuk surat khabar Eropa dari tanah Jawa dan juga mendirikan sebuah perpustakaan untuk masyarakat pribumi. Sayang keinginan dan cita-citanya ini tidak ada yang terlaksana.

Walau sempat ditawarkan beberapa pekerjaan oleh pemerintah Hindia Belanda, Kartono menolak dengan memberikan beberapa alasan. Akhirnya dia sempat mendapat pekerjaan di Taman Siswa sambil memberikan kursus bahasa kepada orang asing. Kartono kemudian keluar dari Taman Siswa pada 1927. Gerak-geriknya selalu diawasi oleh pemerintah kolonial Belanda.

Namun Kartono juga mempunya satu bakat lain yang terpendam. Bakat dalam dunia supernatural hingga dia bisa mengobati orang dengan menempelkan tangannya di dahi pasien. Bahan di Eropa pun dia sudah pernah mempraktikkan kemampuan ini.

Karena itu di Bandung akhirnya beliau mendirikan sebuah klinik atau tempat pengobatan yang bernama Darussalam dan mengobati banyak pasien secara tradisional sehingga beliau mendapat julukan wonderdoktor.

Namun Kartono sendiri hidup terus melajang. Dan ketika memasuki zaman Jepang hingga menjelang kemerdekaan, kesehatannya terus menurun serta menderita kelumpuhan setengah badan. Sampai akhirnya beliau mangkat pada 8 Februari 1952 dalam usia 65 tahun dengan status lajang.

Beliau dimakamkan di Desa Kaliputu, Kudus Jawa Tengah.

Demikian sekilas kisah mengenai sosok Kartono. Kakak kandung Kartini yang terkenal. Nasib keduanya  memang sangat kontras, karena nama Kartono sendiri nyaris dilupakan zaman.

Itu sebabnya kita mengenal 21 April sebagai Hari Kartini, Tetapi tidak pernah ada 10 April sebagai Hari Kartono.

23 April 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun