Setiap perubahan era kepemimpinan selalu memberi harapan baru akan perbaikan, namun hampir setiap kali juga kita kecewa setelah beberapa waktu berjalan, ternyata perubahan itu membawa kita ke lingkaran yang sama. Memulai dari titik nadir demokrasi dan juga ekonomi serta kesejahteraan.
Demikianlah kalau kita mau jujur melakukan napak tilas sejarah demokrasi Indonesia, sejak negeri ini merdeka hampir 76 tahun lalu hingga dua dasawarsa abad ke 21 telah kita lalui bersama. Dalam satu biduk negeri Indonesia yang terombang-ambing dalam samudra luas nan bergolak yang bernama demokrasi.
Untuk itu ada baiknya kita kembali melihat sejarah. Sejarah panjang bahkan dari yang namanya demokrasi itu sendiri.
Konon, demokrasi hingga saat ini diterima luas di dunia internasional sebagai salah satu atau bahkan satu-satunya sistem pemerintahan yang terbaik yang dianggap bisa memberikan kesejahteraan buat rakyat. Dimana rakyat ikut serta mengendalikan pemerintahan dalam berbagai peran yang multi dimensi.
Bahkan sistem pemerintahan yang pada implementasinya anti demokrasi seperti negeri-negeri komunis pun acapkali menamakan negeri mereka sebagai Republik Demokrasi, bahkan ada yang diberi pelengkap rakyat.
Konsep demokrasi, menurut kisah pertama kali muncul di negeri Barat, dari negeri para dewa, Yunani. Â Konsep ini berkembang di zaman Yunani masih berbentuk banyak negara kota yang disebut dengan polis. Â
Di Athena , pada sekitar abad ke 5 Sebelum Masehi ini lahirlah konsep akan demokrasi yang dicetuskan oleh seorang filsuf bernama Plato melalui karyanya yang berjudul "Republik". Â Menurut Plato Keadilan adalah keselarasan antara akal budi, emosi, dan hasrat.Â
Setelah itu, ribuan tahun berlalu hingga konsep demokrasi baru kembali muncul di negara-negara Barat setelah lahirnya Rennaisance atau Kelahiran Kembali. Â Pada zaman ini kita mengenal berbagai pemikir seperti John Locke, Jean-Jacques Rousseau, dan Montesque. Â
Mereka lah yang dianggap sebagai bapak perintis demokrasi di Barat yang kemudian secara perlahan menyebar dan diterima luas di seantero dunia dengan segala macam model dan ragamnya.
Abad dua puluh membawa perubahan maha dahsyat pada peta politik di dunia. Hampir seluruh tanah jajahan di Asia dan Afrika mencapai kemerdekaannya sementara kemerdekaan lebih dahulu didapat di tanah Amerika Latin sejak awal abad ke 19. Â
Hampir semua negeri-negeri yang baru merdeka ini, termasuk Indonesia kemudian mengarungi samudra luas bernama demokrasi.
Indonesia, sejak merdeka, atau tepatnya sejak mendapat pengakuan kemerdekaan dari Belanda di akhir 1949, memulai era demokrasi dengan menggunakan UUDS dalam bentuk Demokrasi Parlementer yang lumayan liberal. Pada masa ini bahkan tercipta sebuah PEMILU yang hingga saat ini dianggap paling demokratis pada 1955.
Namun demokrasi parlementer di Indonesia juga mengisahkan cerita yang tragis dimana rentetan pemberontakan serta jadi bangunnya kabinet membuat negeri dan rakyat tetap terpuruk secara ekonomi dan kesejahteraan.Â
Bahkan Badan Konstituante yang dilahirkan sebagai hasil Pemilu 1955 juga tidak pernah mampu menyelesaikan tugas menulis sebuah Undang Undang Dasar baru karena masing-masing lebih mengutamakan kepentingan golongan dan kelompok.
Kita semua mungkin mafhum jika sejak awal kebangkitan nasional, negeri ini menjadi ajak tarik ulur kekuatan antara golongan nasionalis, agama, dan sosialis serta komunis. Â Konsep-konsep ini bahkan sudah ada dalam tulisan-tulisan Sukarno muda yang kemudian dikumpulkan dalam Buku Fenomenal Di bawah Bendera Revolusi.
Tiga kekuatan ini ditambah kekuatan militer terus tarik menarik dan Sukarno adalah orang kuat yang mampu berdiri di dan menyeimbangkan semua kekuatan itu. Demikianlah akhirnya, pada 5 Juli 1959, dengan Dekrit Presiden, Bung Karno mengajak kita semua kembali ke UUD 1945 sekaligus mengucapkan selamat tinggal kepada demokrasi parlementer yang liberal sambil mengucapkan selamat datang kepada Demokrasi Terpimpin yang konon kala itu disebut khas Indonesia dengan Pancasilanya. Â
Bung Karno juga bahkan sukses membawa pesona Pancasila ke panggung dunia ketika berpidato di depan Sidang Umum PBB dengan judul Membangun Dunia Baru atau To Build The  World A New yang dibawakan pada 30 September 1960.Â
"Saya yakin seyakin-yakinnya bahwa diterimanya kelima prinsip itu dan mencantumkannya dalam piagam, akan sangat memperkuat organisasi ini," demikian cuplikan pidato Bung Karno itu.
Namun konsep Demokrasi Terpimpin ala Bung Karno yang digadang-gadang mampu membawa Indonesia menuju kemajuan dan kemakmuran ternyata tidak seindah bayangan. Sebaliknya Indonesia makin terperosok ke dalam cengkaman kediktatoran dan Bung Karno makin bermesraan dengan blok sosialis komunis.Â
Dwi Tunggal Sukarno Hatta, yang sudah retak sejak Bung Hatta mengundurkan diri pada 1 Desember 1956 makin renggang. Bung Hatta sendiri meramalkan bahwa Demokrasi Terpimpin yang memerlukan tokoh sentral seperti Sukarno tidak akan bertahan lama.Â
"Sistem yang dilahirkan Sukarno tidak akan lebih panjang umurnya dari Sukarno sendiri... Apabila Sukarno tidak ada lagi, maka sistemnya itu akan roboh dengan sendirinya seperti sebuah rumah dari kartu", demikian ramalan Bung Hatta seperti dikutip dari bukunya Hatta: Aku Datang Karena Sejarah (2013).
Ramalan ini terbukti, Kekuasaan Bung Karno mulai runtuh sejak peristiwa Gerakan 30 September dan secara perlahan-lahan sirna pindah ke penguasa baru, yaitu Suharto dengan Orde Barunya. Â Tibalah waktunya kita mengenal Demokrasi Pancasila yang digadang-gadang akan menjalankan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Pada awalnya, banyak harapan tertumpu kepada Suharto karena membaiknya kesejahteraan rakyat dan banyak kemajuan ekonomi yang belum sempat dirasakan selama Orde Lama.
Namun sejarah seperti berulang. Dalam perjalanannya, Orde Baru dengan Demokrasi Pancasila pun menyimpang dari semangat demokrasi itu sendiri. Semua mungkin sudah mengalami bagaimana selama hampir tiga puluh dua tahun kita mengalami enam kali Pemilu yang pemenangnya bahkan sudah bisa diramalkan dan hanya ada calon tunggal pemimpin bangsa. Â
Bahkan kemajuan ekonomi yang didapat juga berdiri di atas tiang-tiang yang rapuh sehingga runtuh bak istana kardus beriringan dengan krisis ekonomi dan tragedi kemanusiaan pada Mei 1998. Orde Baru yang diawali dengan tragedi 1965/66 juga harus berakhir dengan tragedi.
Dan Demokrasi Indonesia kemudian memasuki babak baru yang disebut dengan era reformasi. Semua mempunyai euforia akan suatu masa depan yang jauh lebih baik bagi segenap anak bangsa. Kita kemudian memulai berbagai eksperimen baik dengan sistem pemilu dan bahkan sistem demokrasi secara langsung baik pada tingkat pilkada maupun pilpres.
Perubahan pun terjadi dari era Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY, hingga Jokowi. Â Banyak sosok yang memberi harapan dengan pesona nya masing-masing. Â Namun rintangan dan halangan nan berat masih terus menghadang. Â Sistem politik dengan pemilihan langsung yang membutuhkan biaya besar membuktikan banyak kepala daerah yang harus terperosok kasus korupsi.
Demokrasi di Indonesia memang masih memiliki jalan nan panjang di depan untuk membuktikan kata-kata Bung Karno bahwa kemerdekaan adalah jembatan emas . "DI SEBERANGNYA JEMBATAN ITULAH KITA SEMPURNAKAN KITA PUNYA MASYARAKAT" Demikian kutipan yang diambil dari Pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945 di Sidang Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai atau BPUPKI, pada hari lahirnya Pancasila.
10 Maret 2021
Sumber:
- Demokrasi Indonesia dalam Lintasan Sejarah, Dhani Kurniawan, journal,uny.ac.id diunduh 10 Maret 2021
- Membangun Dunia Baru, Pidato Bung Karno di Sidang Umum PBB, kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id diunduh 10 Maret 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H