Lahir di Padang, 21 Mei 1943, demikian profil singkat sosok Tjiptadinata Effendi di Kompasiana. Â Profil ini pula yang membuat saya kagum dengan sosok Pak Tjip, demikian saya selalu memanggil beliau.
Kata-kata singkat ini melambangkan kesederhanaan, kejujuran, ketegasan dan juga keberanian memberikan informasi diri yang luar biasa. Tidak setiap orang berani dengan jujur mengungkap tahun, tanggal, dan bulan kelahiran kepada siapa saja di ranah umum seperti ini.
Pak Tjip juga sangat senang membantu dan memberikan pertolongan. Beberapa hari yang lalu. Saya minta tolong untuk dibuatkan sepatah kata untuk buku terbaru yang sedang saya tulis tentang perjalanan ke negara-negara eks Soviet yang berjudul Menembus Tirai Besi. Â
Tidak berapa lama setelah saya kirimkan draf naskah buku tersebut, seuntai kata nan rancak penuh pujian yang membesarkan hati sudah saya terima dengan hati yang berbunga-bunga. Â
Pak Tjip telah membuat saya berbahagia dengan bantuannya membuatkan seuntai kata untuk buku saya tersebut, yang membuat saya makin bangga dan bahagia telah mengenal beliau sekian lama.
Saya mencoba mengingat-ingat kapankah saya pertama kali mengenal Pak Tjip?  Kalau tanggal yang tepat tentu saya tidak ingat, tetapi yang pasti saya pertama kali mengenal nama Tjiptadinata Effendi adalah  melalui tulisan-tulisan yang penuh inspirasi di Kompasiana.  Yang jelas ketika pertama kali bergabung pada 2011, belum ada tulisan-tulisan Pak Tjip yang ternyata mulai bergabung sejak 2012.
Sementara itu, pertemuan secara fisik memang tidak terlalu sering mengingat beliau tinggal jauh di negeri Kangguru. Namun setiap kali Kompasianival, ketika saya hadir dan beliau hadir, biasanya kami selalu saling sapa dan menanyakan kabar masing-masing.
Banyak cara rakyat Kompasiana memanggil Pak Tjip, ada yang memanggil bapak atau pak. Banyak pula yang memanggil opa mengingat usia Pak Tjip yang sudah sangat senior.Â
Namun yang membuat saya kagum adalah beliau selalu hangat menyambut dan menyapa siapa saja dengan cara kebapakan yang membuat hati menjadi damai.
Masih ada satu hal lagi yang tidak lupa saya tuliskan. Biasanya setiap Januari Pak Tjip dan Bu Rosa juga sering pulang kampung ke tanah air. Selain ke Jakarta, kadang-kadang juga menyambangi tanah kelahiran di Sumatra Barat. Â
Jika Pak Tjip dan Bu Rose ke Jakarta, sering pula kami, teman-teman di Kompasiana yang terdiri dari berbagai kalangan usia, jender, pekerjaan, etnis, agama, dan pandangan politik diundang untuk makan siang di Rumah Makan Padang favorit Pak Tjip dan istri di kawasan Jalan Juanda. Â
Lihatlah, betapa bahagianya Omjay mengambil gambar Pak Tjip dan istri dalam gambar di atas. Saya sendiri sudah beberapa kali hadir dalam acara ini, dan sayangnya tahun ini karena pandemi Tante Korona, Pak Tjip dan istri harus tetap tinggal di Australia.
Buku terbitan Elex Media Komputindo, 2008, ini selalu memberikan saya cahaya ketika kadang-kadang gelap mulai menggelayut.Â
Buku ini memberikan inspirasi bahwa harapan selalu ada selama Allah masih memberi kita napas. Dum Spiro Spiro, demikian istilah Latin yang pernah saya temukan pada jelajah saya di tepian sungai Serawak di Kuching.
Selain itu masih ada beberapa karya Pak Tjip yang saya miliki termasuk buku berjudul Sehangat Matahari Pagi yang terbit pada 2015 oleh Peniti Media.  Ah, ingat Peniti Media, saya juga jadi ingat kawan lama yang sudah mendahului kita semua, yaitu Bang Thamrin Sonata.
Sementara itu sosok Bu Rosalina yang tenang dan keibuan juga selalu membuat hati aman dan damai ketika berada di dekatnya.Â
Tentu saja interaksi saya dengan Bu Rosa tidak sebanyak dengan Pak Tjip dan biasanya selalu bersama-sama termasuk dalam beberapa kali Kompasianival dan acara makan-makan tadi. Kesan singkat saya, Bu Rosa lebih jarang berbicara dan selalu memberikan senyuman yang teduh dan sejuk.
Lalu pelajaran apa yang dapat kita ambil dari teladan kisah hidup pasangan Pak Tjip dan Bu Rosa?Â
Tidak lain dan tidak bukan adalah kesetiaan dan keharmonian yang dibuktikan bahwa usia pernikahan keduanya sudah mencapai usia 56 tahun. Suatu prestasi yang sangat jarang dicapai oleh kebanyakan manusia.
Akhir kata, tidak ada lagi pujian yang dapat saya berikan kecuali  satu frasa.
Legenda yang mengagumkan. Â Hanya ini kata yang cocok buat saya sematkan bagi Pak Tjiptadinata dan istri, Bu Rosalina. Dan saya kira hampir semua yang pernah hadir di Kompasiana tidak akan ada yang berani menyangkal frasa ini.
Semoga Pak Tjip dan Bu Rosa selalu diberi kesehatan, panjang umur dan berbahagia selalu bersama anak, cucu, cicit dan keluarga besar Kompasiana semua.
Bekasi, 5 Januari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H