Lihatlah, betapa bahagianya Omjay mengambil gambar Pak Tjip dan istri dalam gambar di atas. Saya sendiri sudah beberapa kali hadir dalam acara ini, dan sayangnya tahun ini karena pandemi Tante Korona, Pak Tjip dan istri harus tetap tinggal di Australia.
Buku terbitan Elex Media Komputindo, 2008, ini selalu memberikan saya cahaya ketika kadang-kadang gelap mulai menggelayut.Â
Buku ini memberikan inspirasi bahwa harapan selalu ada selama Allah masih memberi kita napas. Dum Spiro Spiro, demikian istilah Latin yang pernah saya temukan pada jelajah saya di tepian sungai Serawak di Kuching.
Selain itu masih ada beberapa karya Pak Tjip yang saya miliki termasuk buku berjudul Sehangat Matahari Pagi yang terbit pada 2015 oleh Peniti Media.  Ah, ingat Peniti Media, saya juga jadi ingat kawan lama yang sudah mendahului kita semua, yaitu Bang Thamrin Sonata.
Sementara itu sosok Bu Rosalina yang tenang dan keibuan juga selalu membuat hati aman dan damai ketika berada di dekatnya.Â
Tentu saja interaksi saya dengan Bu Rosa tidak sebanyak dengan Pak Tjip dan biasanya selalu bersama-sama termasuk dalam beberapa kali Kompasianival dan acara makan-makan tadi. Kesan singkat saya, Bu Rosa lebih jarang berbicara dan selalu memberikan senyuman yang teduh dan sejuk.
Lalu pelajaran apa yang dapat kita ambil dari teladan kisah hidup pasangan Pak Tjip dan Bu Rosa?Â
Tidak lain dan tidak bukan adalah kesetiaan dan keharmonian yang dibuktikan bahwa usia pernikahan keduanya sudah mencapai usia 56 tahun. Suatu prestasi yang sangat jarang dicapai oleh kebanyakan manusia.
Akhir kata, tidak ada lagi pujian yang dapat saya berikan kecuali  satu frasa.
Legenda yang mengagumkan. Â Hanya ini kata yang cocok buat saya sematkan bagi Pak Tjiptadinata dan istri, Bu Rosalina. Dan saya kira hampir semua yang pernah hadir di Kompasiana tidak akan ada yang berani menyangkal frasa ini.