Setelah sehari menunggu dengan harap-harap cemas, akhirnya berita meninggalnya sobat saya, salah seorang korban teror penembakan di Masjid An-nur, Christchurh menjadi pasti. Namanya masuk dalam daftar yang meninggal. Secara tidak sadar air mata nan hangat menetes mengalir di pipi.
Dari sekian banyak peristiwa teror, baik yang terjadi di tanah air maupun di mancanegara, peristiwa di Christchurch ini memang sangat menyentuh hati. Benar-benar di luar dugaan.
Selandia baru selama ini terkenal sebagai negeri yang aman, damai, makmur, indah, serta toleran. Dari sekian banyak negara maju yang telah saya kunjungi, Selandia Baru memang banyak meninggalkan kesan yang membuat kita selalu ingin kembali ke sana.
Sebuah negara di mana lebih banyak domba dan sapi dibanding manusia, namun rakyatnya tetap ramah terhadap wisatawan dan pendatang. Kesan pertama ini didapat ketika sempat mampir ke sini lebih 30 tahun lalu.
Perkenalan saya pertama kali dengan Masjid An-nur yang beralamat di 101 Deans Avenue terjadi sekitar 7 tahun lalu. Juga tepat di bulan Maret.
Setibanya di Christchurch setelah beberapa hari di Wellington, saya langsung dijemput sobat saya, sebut saja Bang Lilik yang memang tinggal di Christchurch. Beliau sendiri sudah cukup lama tinggal dan bekerja di negeri Kiwi ini.
Kedatangan saya kebetulan hari Jumat sehingga dari bandara, kami mampir sebentar untuk makan siang di pusat kota Christchurch yang sebagian masih luluh lantak akibat gempa besar pada 2011.
Selesai makan, kami segera menuju Deans Avenue yang berada di dekat Hagley Park, salah satu taman paling luas di Christchurch yang mendapat julukan Garden City. Di sinilah terdapat Masjid An-nur yang pada 15 Maret 2019 lalu menjadi saksi bisu peristiwa teror yang mencabik-cabik rasa kemanusiaan. Peristiwa yang merengut Bang Lilik dari keluarga dan sahabat untuk selamanya.
 Di masjid ini suasana internasional sangat terasa. Jamaahnya banyak yang berasal dari Afrika, India dan Pakistan, Timur Tengah, dan juga sebagian dari Indonesia dan dari Selandia baru sendiri. Sebagaian besar tentunya sudah lama tinggal di Christchurch dan menjadi warga negara Selandia Baru.
Pada kesempatan pertama di tahun 2012, saya sempat berkenalan dengan beberapa orang Indonesia, dan juga Singapura, termasuk beberapa bule yang lancar berbahasa Indonesia karena beristrikan orang Indonesia.
Kunjungan kedua ke masjid ini adalah pada September 2017 lalu. Â Nah pada kunjungan ini Saya kembali bertemu dengan salah satu bule yang ternyata bernama Pak Robert yang kebetulan memakai peci khas Indonesia.Â
Saya juga sempat melihat beberapa kota sumbangan yang salah satunya diperuntukan buat gaji imam. Yang menarik dari masjid ini adalah eratnya persaudaraan antar muslim dan sejuknya khotbah yang disampaikan.Â
Tentunya saya telah mengenalnya sejak lama karena kami berdua kebetulan lulusan sekolah yang sama. Kebetulan Lilik adalah adik kelas saya. Saya sangat kagum dengan kegigihan dan perjuangannya ketika pertama kali pindah ke Selandia Baru.
Sosok Bang Lilik ini sangat terkenal di kalangan masyarakat Indonesia di Christchurch. Bahkan di rumahnya yang asri, orang-orang Indonesia di Christchurch sering berkumpul. Pintu rumahnya selalu terbuka lebar. Bahkan banyak mahasiswa Indonesia yang baru datang ke Christchurch juga sering ditampung sementara di rumah ini.
Dia sering menyatakan kekagumannya akan negeri yang sekarang menjadi tempat tinggalnya. Namun hingga saat ini, Lilik dan keluarga tetap mempertahankan paspor RI. Statusnya di Selandia Baru adalah penduduk tetap alias permanent residence.
Sebagai penduduk tetap, Lilik dan keluarga mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara Selandia Baru kecuali hak pilih dalam pemilu. Â
Sehabis memancing, biasanya ikan akan dibawa pulang dan langsung disantap dengan dibakar di halaman rumah Bang Lilik yang asri. Uniknya rumah Bang Lilik ini beralamat di Jalan Kendal loh.
Kehilangan Bang Lilik memang sangat menyedihkan. Apalagi setiap saya berkunjung ke Christchurch, dia selalu bersusah payah mengambil cuti untuk menemani saya jalan-jalan. Bahkan sampai jauh ke kota-kota di Selatan South Island hingga Wanaka, Queenstown, dan Dunedin.
Oh ya, Dunedin ini merupakan kota di mana teroris asal Australia tinggal. Dia pindah ke Dunedin pada 2017 lalu.
Mereka berdua sendiri sebenarnya sudah berencana untuk cuti ke Jepang akhir Maret ini. Namun peristiwa teror kemaren mengubah semuanya. Benarlah pepatah kuno yang mengatakan "Man proposes. God disposes".
Selamat jalan sobat, selamat jalan sahabat. Semoga surga Allah menantimu yang pergi sebagai syuhada.
Jakarta, 16 Maret 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H