Tidak jauh dari Terminal BusWay Pinang Ranti, dengan angkot kita bisa sampai ke sebuah tempat yang sebenarnya sudah sangat terkenal, namun belum pernah saya kunjungi. Tempat ini memiliki nama resmi “Monumen Pancasila Sakti”, seperti tampak pada pintu gerbangnya yang megah di Jalan Raya Pondok Gede.
img-4638-5764ad4c347b61fe06fde73b.png
Setelah membayar tiket , sebuah buku panduan mungil yang cantik dengan warna merah bergambar monumen berbentuk Garuda Pancasila dan patung tujuh pahwalwan revolusi berpindah tangan. “
Waspada... Dan Mawas Diri Agar Peristiwa Semacam Ini Tidak Terulang Kembali” demikian tertera di bagian bawah buku panduan ini.
img-4639-5764ad6f5a7b610a0f03fe71.png
“
Selamat Datang di Monumen Panca Sila Sakti”, sebuah prasasti yang cukup besar menemani perjalanan menyusuri jalan yang di teduhi pepohonan rindang sejauh beberapa ratus meter. Kita kemudian akan sampai di pelataran parkir dan lapangan terbuka yang luas. Daya tarik pertama adalah display mobil GM Old Mobile 98, kendaraan dinas LetJen Ahmad Yani dengan nomer AD 1. Mobil sedan ini berdampingan dengan Toyota Kanvas No 44-01 yang merupakan kendaraan dinas Mayjen Soeharto pada saat itu.
img-4644-5764adad549773eb06aefed0.png
Wisata di Lubang Buaya dilanjutkan dengan menuju ke jantung Monumen Panca Sila Sakti yang luasnya sekitar 14 hektar ini. Setelah melewati lapangan rumput hijau yang terawat rapih dan cukup luas, kita belok kiri dengan menaiki beberapa anak tangga sambil melewati sebuah prasasti marmer bertuliskan Pantjasila. Masih dengan ejaan lama.
img-4651-5764adc55497732607aefec9.png
Tempat pertama yang dikunjungi adalah Serambi penyikasaan, yang merupakan tempat penyiksaan ke empat pahlawan revolusi sebelum dibunuh dan dimasukan ke dalam Sumur maut. Di rumah ini terdapat sebuad diorama yang dibuat berdasarkan hasil sidang Mahkamah Militer Luar Biasa serta kesaksian Agen polisi II (dua) Sukitman.
Adegan penyiksaan terasa sangat hidup dengan Mayjen Soeprapto, Mayjen S. Parman, Brigjen Soetojo, dan Lettu Tendean menjadi bulan-bulanan penyiksaan pemberontak G30 S/PKI dan Gerwani. Tampak sangat mengerikan betapa sesama anak bangsa bisa demikian kejam. Ketiga Pahalawan Revolusi yang lain sudah meninggal ketika dibawah ke kawasan Lubang Buaya ini.
img-4655-5764adeaf67e6108048b4573.png
Tidak jauh dari rumah penyiksaan ini juga masih terawat rapih rumha yang dijadikan pos komando. Lengkap dengan perabotannya yang tampak tua dan antik. Termasuk satu set mebel sederhana yang memang mewakili era tahun 60-an. Kira-kira lima puluh meter dari pos komando, terdapat sebuah rumah yang dijadikan dapur umum oleh pemberontak PKI.
img-4657-5764ae16d67e61bc038b457b.png
“Tjita2 Perdjuangan Kami untuk Menegakkan Kemurnian Pantja Sila Tidak Mungkin Dipatahkan Hanya dengan Mengubur Kami dalam Sumur Ini, Lubang Buaja , 1 Oktober 1965”. Sebuah prasasti marmepr putih ada tepayt di dekat sebuah lubang yang dinamakan Sumur Maut. Sumur tua ini memiliki kedalaman 12 meter dan diameter hanya 75 cm. Di sinilah dulu jenazah ketujuh pahlawan revolusi dibuang setelah dianiaya dan dibunuh pada 1 Oktober 1965.
img-4658-5764ae33f87e61bd07ccee90.png
Setelah dibuang, sumur ini kemudian ditutup dengan menggunakan batang pisang, sampah dan daun-daun kering sebelum ditutup dengan tanah. Sebagai tipuan, para pemberontak juga menggali lubang-lubang lain di sekitar tempat itu untuk menyeatkan orang-orang yang akan mencari jenazah ketujuh pahlawan tersebut. Untungnya, berkat saksi mata jenazah dapat diketemukan pada 4 Oktober 1965. Setidaknya Sumur Maut ini telah menjadi Kuburan Selama Tiga Hari. Sebuah cungkup yang cukup megah sekarang menaungi sumur maut ini.
img-4670-5764ae6ed67e61b6038b4581.png
Yang menjadi pusat monumen ini adalah sebuah tugu raksasa yang terletak 45 meter dari sumur maut. Angka 45 ini melambangkan tahun kemerdekaan Indonesia. Berdiri dengan gagah patiung tujuh Pahlawan Revolusi di kaki dengan latar belakang dinding berukuran 17 eter yang melambangkan tanggal 17.
Sang Garuda Pancasila yang gagah tapak menaungi ketujuh Pahlawan revolusi itu. Dan di bawahnya terdapat relief yang menggambarkan peristiwa sebelum dan pada saat kejadian dan penumpasan G 30 S PKI . Di antaranya ada relief Bung Karno dengan buku bertuliskan Nasakom dan juga gambar Pak Harto sedang berpidato.
img-4679-5764ae935a7b61800d03febd.png
Setelah puas berkunjung ke pameran di taman terbuka, perjalanan di Lubang Biaya dilanjutkan dengan mampir ke
Museum Pengkhianatan PKI (Komunis). Sebuah gedung berlantai dua yang tampak megah, namun nuansanya dingin dan menyeramkan. Tiga buah mozaik foto menyambut di beranda.
Ketiga foto itu bernuansa muram dan seram yang menggambarkan episode kelam dalam sejarah bangsa ini setelah merdeka. Mozaik foto yang pertama adalah peristiwa Madiun pada 1948, kemudian yang kedua menggambarkan situasi penggalian jenazah pada 4 Oktober 1965 dan yang terakhir suasana pengadilan gembong PKI oleh Mahkamah Militer Luar Biasa.
img-4686-5764aeb4f67e612a048b4578.png
Isi museum ini berupa 34 diorama yang menceritakan rentetan peristiwa tentang pemberontakan PKI sejak Peristiwa Tiga Daerah 4 november 1945 hingga Tertembakmatinya S.A, Sofyan pada 12 Januari 1974. Selain itu ada juga pameran unik dimana perangko seri bergambar Presiden Soekarno tahun 1964 di ketik ulang dengan tambahan Rakjat sehingga kata-kata Republik Indonesia menjadi Republik Rakjat Indonesia. Konon perangko ini dipersiapkan oleh PKI untuk menyambut kemenangan yang tidak pernah terjadi.
img-4690-5764aed3347b61fa06fde741.png
Setelah itu, kita berjalan menuju gedung sebelahnya yang dinamakan Paseban. Gedung tambahan yang diresmikan pada 1981 ini berisi 16 diorama yang lebih berfokus pada peristiwa 30 September 1965 dan kejadian sesudahnya.
Selain itu juga terdapat ruang teater, perpustakaan dan ruang foto dan ruang relik berisi pakaian bekas darah yang secara gamblang menggamabrkan kekejaman yang terjadi kepada para pahlwan revolusi. Dan mengakhiri kunjungan di muesum ini kita dapatt menyaksikan sebuah panser yang pernah digunakan untuk mengangkut jenazah korban kebiadaban PKI dari Lubang Buaya ke RS Gatot Subroto untuk mendapatkan visum et repertum.
Dalam perjalanan kembali menuju Pinang Ranti saya termenung. Kita memang tidak boleh melupakan sejarah, sejarah kekejaman sesama anak bangsa . Dan konon sejarah itu terus menghantui negri ini bahkan setelah lebih dari 50 tahun kemudian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya