Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen - Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Jumatan di Masjid Anti Tsunami di Galle

2 November 2015   23:37 Diperbarui: 3 November 2015   00:08 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Galle, merupakan sebuah kota di bagian selatan Srilanka dan berhadapan langsung dengan Samudra Hindia, Jaraknya dari Colombo sekitar 130 km dan bisa dicapai sekitar 2 jam dengan melalui jalan bebas hambatan “Southern Expressway” yang membentang di sepanjang pantai selatan negara pulau yang dulu terkenal dengan nama Sailan atau Ceylon.

“Pada jaman bahelau, para pedagang dari kawasan Arab dan Timur Tengah menamai negri kami “serendip”, dan dari kata inilah asal kata “serendipity” dalam bahasa Inggris yang berarti kejutan yang menyenangkan atau pleasnt surprise. Kemudian dinamakan juga Sailan dan berubah menjadi Ceylon dalam masa kolonial Ingrris. “ begitulah kira-kira penjelasan Rismi, yang merupakan pemandu wisata sekaligus pengemudi yang menemani perjalanan kali ini ke Srilanka. Menurutnya nama Srilanka baru dipakai ketika negri ini memperoleh kemerdekaan pada 4 February 1948 dan dalam Bahasa Singalese berarti Ibu Pertiwi atau Tanah air yang jaya.

Memasuki kota tua Galle atau disebut juga “Galle Fort”, kita harus melewati pintu gerbang yang berada tepat di tembok kota yang terlihat mash kkoh walau telah beruisa ratusan tahun. Galle Fort sendiri merupakan benteng dan kota tua peninggalan kolonial Belanda, jauh sebelum Inggris datang kesini.

Kami menyusuri jalan-jalan sempit dimana waktu terasa berhenti. Gedung-gedung tua peninggalan Belanda itu sampai sekarang masih digunakan walaupun banyak yang berubah fungsi. Gedung eks Dutch Hospital sekarang berubah menjadi sebuah cafe kelas atas. Ada juga gedung tua yang saat ini berfungsi menjadi hotel, dan bahkan kantor pos Galle merupakan salah satu gedung tua peninggalan abad ke 18.

Sebuah gereja tua yang disebut “Dutch Church” sampai saat ini masih aktif digunakan dan kebetulan sedang direnovasi. Kami juga sempat mampir dan di sebuah toko cendera mata yang menempati sebuah gedung tua. Singkatnya kota benteng ini memang diharuskan tidak merubah gedung-gedung tua nya karena telah mendapatkan status Warisan Dunia dari UNESCO.

 

Namun perjalanan di siang hingga senja itu, sesungguhnya dimulai ketika azan berkumandang dari sebuah masjid tua yang ada di persimpangan Rampart Street dan Layn Baan Street. Ketika saya berjalan mendekati masjid yang lebih mirip sebuah benteng dan dicat seluruhnya dengan warna putih, ada sebuah gedung di sebelahnya yang bernama “ Galle Muslim Cultural Association". Gedung di sebelahnya bahkan bertuliskan Anno 1837. Tepat disini saya berjumpa dengan rombongan jemaah berjubah putih dan bersorban yang sedang bersiap menuju masjid,

Saya masuk ke halaman masjid melalui pintu samping yang berpagar besi. Sempat memutar halaman melalui pintu depan untuk mencari toilet. Adasebuah kolam kecil yang merupakan tempat wudhu, Ketika bertemu dengan seorang jemaah, saya mengucapkan salam dan kemudian bertanya dimana lokasi toilet yang ternyata ada di belakang masjid.


Ketika memasuki masjid dari pintu samping, ternyata ruang sholatnya cukup besar dan terbagi menjadi dua bagian utama. Suasana masih cukup sepi, hanya ada beberapa orang saja di dalam, Pintu-pintu besar ada di sepanjang kedua sisi masjid yang terbuat dari kayu berwarna ciokat tua. Di beranda ini, lantainya terbuat dari keramik dengan pola mirip porselin jaman Belanda yang sering kita jumpai di rumah-rumah tua di Indonesia.

Ruang utama sholat tidak terlalu luas, dari kiri ke kanan bisa menampung sekitar 15 orang saja setiap saf nya, Bentangan sajadah berwarna merah dengan pola geometris kombinasi hitam dan kuning menutupi seluruh lantai masjid. Mihrabnya sederhana menjorok ke arah kiblat dengan bentuk relung khas masjid kawasan Asia Selatan. Mimbarnya bagaikan singgasana terbuat dari marmer putih dengan kubah kecil yang indah. Ada enam anak tangga berlapiskan karpet merah untuk sampai ke lantai mimbar ini.


Bagian atas masjid dihiasi dengan jendela-jendela besar dengan kaca pateri yang cukup indah, Sinar matahari pun menerangi bagian dalam dan beberapa kipas angin. Jadi walaupun dari luar masjid ini terlihat seperti benteng berlantai dua, sesungguhnya hanya terdiri dari satu lantai saja dengan langit-langit yang sangat tinggi.


Ketika azan selesai, sedikit demi sedikit jemaah pun mulai mengisi setiap saf sampai ke beranda samping. Marbot dan sekaligus muazin tampil ke sisi mimbar dengan membawa sebuah tongkat berwarna keemasan. Pria berusia tigapuluhtahunan ini memakai jubah putih dan berkopiah haji. Dia mengucapkan salam dan salawat dan kemudian pengumuman dalam Bahasa Tamil.


Tidak lama kemudian, sang imam sekaligus khotibpun muncul, Berjubah putih, dengan kopiah haji berwarna putih lengkap dengan sorban yang dikenakan mirip jilbab menutup kepalanya. Pria berjambang lebat ini menerima tongkat dari muazzin dan mulai menapaki satu per satu anak tangga menuju mimbar.

Khotbah pun dimulai dengan salam, salawat dan doa dalam Bahasa Arab kemudian dilanjutkan seluruhnya dalam Bahasa Tamil. Saya hanya ikut menggeleng-gelengkan kepala saja seakan-akan mengerti isi khotbah yang panjangnya lumayan. Hampir satu jam karena dimulai sekitar pukul 12 dan baru selesai pukul 1 siang.


Selesai sholat, sambil berjalan-jalan menyusuri kota tua ini termasuk mengagumi keindahan mercu suar yang dibangun pada 1938, Rismi bercertia bahwa sebagian besar Srilanka, terutama kawasan timur dan selatan ikut menjadi korban ketika gempa bumi yang disusul Tsunami meluluhlantakan Aceh dan kemudian bergerak ke Malaysia, Thailand dan kemudian ke Srilanka, India dan bahkan pantai timur Afrika.


Menurutnya , puluhan ribu orang menjadi korban dan sebagian besar kota Galle juga hanyut dan porak poranda karena amukan tsunami yang terjadi pada sekitar pukul9 pagi pada 26 Des 2004 lalu itu. Banjir bandang menerjang Galle, seluruh isi kota tidak luput dan air yang menerjang dengan ketinggan beberapa meter.


Namun, Galle Fort dan segala isinya termasuk masjid tua yang bernama “Fort Meeran Jummaa Masjid “ yang kecil namun indah ini sama sekali selamat dari terjangan tsunami. Walaupun lokasi kota benteng tua ini tepat di tepi pantai Samudran Hindia, keajaiban dan pertolongan Allah telah menyelamatkan masjid yang menurut kisah telah berusia lebih dari 300 tahun ini sementara air bah menyerbu bagian lain kota Galle.


Sambil berjalan perlahan saya sempat mengintip bagian depan masjid dimana tertera angka Arab 1325 H  yang merupakan tahun dimana masjid ini mengalami renovasi besar-besaran sehingga mendapatkan bentuknya yang sekarang ini. Saya merasa beruntung sempat mampir dan ikut sholat jumat dengan khotbah Bahasa Tamil di tempat yang mulia ini.

Galle, akhir Oktober 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun