Kami terus berjalan, lorong sempit, sesekali berubah menjadi ruang terbuka yang agak lebar. Sebuah warung kecil yang memajang banyak plat nomor kendaraan Zanzibar ada di hadapan. Di sudut lain sebuah pintu Zanzibar khas India dengan tulisan Dewanagari dan angka tahun 1950 menjadi identitas bahwa bangunan di balik pintu ini adalah sebuah kuil Hindu.
Di sebuah ruang terbuka yang agak “lumayan” luas, terlihat dua sepeda motor terparkir di tepi lorong di depan bangunan tua yang terlihat sepi, kosong, tidak terawat, dengan pintu Zanzibar berwarna coklat tua yang khas. Di kejauhan , tampak dua lelaki etnis Afrika Shirazi berjalan menjauh. Sementara seorang perempuan dengan hijab berwarna putih berjalan mendekat di antara kedua lelaki tadi.
“Istana Sultan atau Beit-el-Sahel hanya sekitar 400 meter lagi”, tambah Hussein membangunkan saya dari lamunan akan masa lampau Zanzibar yang penuh pasang surut sejarah dan penduduknya yang beraneka etnis. Kebetulan, percakapan ini terjadi di sebuah persimpangan yang memberikan pemandangan yang menakjubkan.
Settingnya sebuah rumah tua dengan dua buah pintu Zanzibar berwarna coklat kelam yang tertutup. Tepat di depan pintu sebuah tali panjang dibentangkan dan di atas tali itu dijejerkan 17 helai pakaian baik atasan maupun bawahan. Pakain khas Afrika itu warna dan motifnya sangat menarik sengan pola geometris berbentuk hiasan , gambar, flora, maupun fauna yang khas. Singkatnya bisa disebut sebagai batik Afrika. Lucunya, tidaklah jelas apakah pakaian tersebut sedang dijemur atau sedang dijual?
Tepat di depan rumah, ada dua orang lelaki dan seorang peremuan. Lelaki yang berkaos hitam, celana panjang, sepatu dan mengenakan topi oranye merah hitam hijau tampak sedang duduk di selasar rumah sambil menggulung semacam benang di lengannya. Sedangkan lelaki yang lain, berkaos hitam dan bercelana pendek, terlihat sedang asyik menata rambut perempuan berbaju pink yang duduk di depannya. Mirip sebuah salon di alam terbuka. Dan yang lebih mengasyikan lagi sang perempuan juga sedang tersihir sambil bercermin menggunakan gadjet berwarna putih.
Pemandangan mana lagi yang lebih memabukanan daripada sebuah perpaduan antara tradisi masa lampau dan sedikit sentuhan abad ke duapuluhsatu yang mengambil tempat di kota tua, Stone Town, Zanzibar.?
Stone Town, Medio May 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!