Mohon tunggu...
taufik sentana
taufik sentana Mohon Tunggu... Guru - Personal Development

Pendidikan, sosial budaya dan Kreativitas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senja yang Berkarat di California, Sebuah Cerpen Eksistensial

15 Januari 2025   18:23 Diperbarui: 15 Januari 2025   18:31 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

 Aku merasa seperti terjebak dalam sebuah simulasi virtual, di mana manusia hanyalah konsumen yang haus akan kepuasan instan. Zygmunt Bauman menggambarkan kondisi ini sebagai "masyarakat cair" yang penuh dengan ketidakpastian dan kecemasan.

Aku berjalan menyusuri jalanan berbatu, melewati toko-toko mewah yang memamerkan barang-barang bermerek. Orang-orang berlalu-lalang dengan wajah kosong, sibuk mengejar tren terbaru dan gaya hidup yang sempurna. 

Oo..Michel Foucault juga mengingatkan kita tentang bagaimana kekuasaan membentuk pengetahuan dan realitas sosial. Itu senada dengan yang pernah diucapkan Ibnu Khaldun.

Matahari perlahan tenggelam, meninggalkan langit berwarna merah darah yang menyala seperti api neraka. Bintang-bintang mulai bermunculan, membentuk konstelasi yang penuh dengan pertanda buruk. Aku melihat hantu-hantu masa lalu berkeliaran di antara gedung-gedung pencakar langit, meratapi kesalahan yang telah mereka buat.

 Dan Ibnu Khaldun mengingatkan kita bahwa setiap peradaban memiliki siklus naik turun.

Aku duduk di bangku taman, memeluk lututku erat-erat. Lampu-lampu neon menyinari wajah-wajah orang-orang yang sibuk dengan ponsel pintar mereka. 

Mereka terhubung dengan seluruh dunia secara virtual, namun merasa semakin terisolasi dan kesepian. Martin Buber berbicara tentang pentingnya dialog dan hubungan antarmanusia untuk mengatasi kesepian ini.

Aku menyadari bahwa mimpi manusia seringkali menjadi jebakan. Kita mengejar kekayaan, kekuasaan, dan kesenangan, namun seringkali melupakan hal-hal yang benar-benar penting dalam hidup: cinta, persahabatan, dan keadilan sosial. Kita terjebak dalam siklus hedonisme yang tak berujung, mengejar kepuasan instan yang selalu menghilang.

Keangkuhan modernisme telah melahirkan sebuah budaya konsumerisme yang destruktif, di mana manusia menjadi budak dari materi dan teknologi. Kita harus belajar dari para filsuf seperti Socrates, Confucius, dan Rumi untuk menemukan makna sejati dalam hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun