Senja yang Berkarat di California
Cahaya matahari, kental bagai cairan emas yang membeku, menyelimuti kota metropolis yang tak pernah tidur. Gedung-gedung pencakar langit modern menjulang tinggi, menandingi menara-menara gereja tua yang bersejarah. Kontras yang tajam antara masa lalu dan masa kini menciptakan ilusi yang membingungkan.Â
Golden Gate, si jembatan raksasa, membentang seperti busur panah mistis, menghubungkan dunia nyata dengan dunia mimpi yang penuh dengan kepalsuan. Nun di ujung lorong di kompleks yang kecil terdengar lirih sahdu suara azan. Suara khas yang merontokkan rindu di qalbu. Rindu tentang kampung halaman. Rindu tentang fitrah diri yang suci.
Aku berdiri di tepi pantai, kaki tenggelam dalam pasir yang lembut seperti sutera bulan. Ombak berbisik, menceritakan kisah-kisah tentang kapal pesiar mewah yang membawa para taipan industri dan selebriti Hollywood, sementara di belahan dunia lain, jutaan orang kelaparan.Â
Bayangan Karl Marx melintas di pikiranku, mengkritik eksploitasi kelas pekerja dan ketidakadilan sistem kapitalis.
Angin sepoi membelai rambutku, membawa aroma parfum mahal dan asap rokok. Aku menutup mata, membiarkan diriku hanyut dalam aliran kesadaran yang tak terbatas.
 Aku melihat para selebriti Hollywood berjalan di atas karpet merah, dikelilingi oleh paparazzi dan sorotan lampu.Â
Jean-Jacques Rousseau mengingatkan kita bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada kekayaan materi, melainkan pada hubungan sosial yang tulus.
Awan-awan membuncah, membentuk wajah-wajah para filsuf dan seniman yang sedang berdebat tentang makna kehidupan. Plato dan Aristoteles berdiskusi tentang keadilan dan kebajikan, sementara Ibn Sina dan Al-Farabi berbicara tentang pentingnya ilmu pengetahuan dalam memperbaiki masyarakat.Â
Di seberang sana,Nietzsche tertawa sinis melihat kebodohan manusia, sementara Camus meratapi absurditas eksistensi.
Waktu membeku, menjadi sebuah patung es yang rapuh. Jam di menara gereja besar itu berhenti pada angka dua belas, seolah-olah waktu telah berhenti berdetak.