Oligarki berasal dari Bahasa Yunani oligarkhia dimaknai sebagai bentuk pemerintahan atau kekuasaan yang dijalankan oleh sekelompok kecil elit. Dalam konteks partai politik, istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Robert Michels.Â
Dalam bukunya Political Parties (1915) ia menyebutkan adanya gejala elitisme di tubuh Partai Sosial Demokrat Jerman.
Jeffrey A. Winters dalam bukunya bertajuk Oligarchy menempatkan oligarki dalam dua dimensi. Dimensi pertama, oligarki dibangun atas dasar kekuatan modal kapital yang tidak terbatas, sehingga mampu menguasai dan mendominasi simpul-simpul kekuasaan. Dimensi kedua, oligarki beroperasi dalam kerangka kekuasaan yang menggurita secara sistemik.
Jika melihat realitas yang menggejala dalam tubuh partai-partai politik di Indonesia, tampak betul bahwa oligarki seperti dalam tafsiran Winters merupakan penyakit yang sudah akut.Â
Nyaris semua partai di Indonesia sebenarnya dikuasai oleh segelintir elite yang memiliki -dalam istilah Pierre Bourdie- modal kapital dan sosial yang kuat.
Di tangan para elite itulah segala keputusan partai politik ditentukan melalui mekanimse hirarki yang kaku, alias dari atas ke bawah.Â
Seorang ketua partai beserta orang-orang di lingkaran terdekatnya merupakan sosok-sosok superior yang memegang kewenangan penuh dalam ihwal decision making, termasuk menentukan sesiapa yang bakal diusung dalam pileg dan pilkada.
Menjadi tidak mengherankan manakala dalam konteks usung-mengusung calon kepala daerah partai politik cenderung mengistimewakan figur-figur yang dinilai memiliki modal kapital.Â
Acapkali figur itu bukan kader partai dan terbilang tidak memiliki basis pendukung yang berafiliasi dengan parpol tertentu. Keputusan partai untuk mengusung calon kepala daerah dari jalur non-kader ini tidak jarang menimbulkan polemik di kalangan internal partai. Kader partai yang telah berjuang dari bawah dan potensial tentu merasa ditelikung karier politiknya.
Gurita oligarki dalam partai politik menguatkan asumsi bahwa partai politik gagal dalam melakukan fungsinya sebagai agregator demokratisasi. Fungsi kaderisasi macet dan partai politik lebih suka menggelar karpet merah bagi pemburu kekuasaan bermodal uang miliaran rupiah.Â
Pendidikan politik diringkas ke dalam kampanye-kampanye yang gegap gempita, riuh oleh berita bohong dan sama sekali tidak mencerahkan. Bahkan pada titik yang paling parah, partai politik menjadikan masyarakat konstituennya semata sebagai obyek politik lima tahunan.
Salah satu contoh kemenangan oligarki politik di Indonesia yaitu pada tanggal 26 September 2014 DPR mengesahkan Rancangan Undang-Undang yang kontroversial, yaitu RUU Pilkada setelah melewati dan mengabaikan berbagai penolakan dari beragam elemen masyarakat.Â
Pasca-UU itu disahkan, gelombang penolakan tidak menjadi surut, justru semakin membesar dan meluas.Â
Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya konsolidasi, aksi-aksi demonstrasi, maupun hashtag-hashtag di media sosial. isu yang sentral dalam penolakan atas UU Pilkada ini terkait dengan adanya upaya penutupan ruang politik dalam iklim demokrasi di Indonesia saat ini.
Berbagai gerakan ini melihat bahwa pengesahan UU Pilkada merupakan manifestasi bangkitnya tendensi politik Orde Baru. Dalam kerangka ekonomi politik, ini terkait dengan upaya transformasi Oligarki yang berusaha merebut ruang demokrasi rakyat untuk mempertahankan posisinya.Â
Oleh karena itu, dalam gerakan-gerakan penolakan UU Pilkada, argumen "Tolak Oligarki Orde Baru", semakin menguat. Namun demikian, Oligarki ini susah untuk diidentifikasi siapa dan ditunjuk hidungnya secara langsung.Â
Juga, konsep ini masih asing dalam dunia sehari-hari masyarakat kita. Oleh karena itu, tidak semua orang memahami apa yang disebut Oligarki.
Menurut LIPI bahwa salah satu penyebab menguatnya oligarki politik Indonesia akibat adanya warisan Orde Baru dalam sistem ekonomi politik.Â
Aktor politik, bisnis, dan birokrasi berkoalisi untuk menghasilkan kebijakan yang jauh dari kepentingan rakyat. Ini memberi pesan bahwa hampir dibalik semua sebuah pengesahan kebijakan, ada pemodal yang menjadi salah satu penyebabnya.
Koruptor Kuat, Korupsi Diternak
Korupsi merupakan salah satu isu yang paling rumit dalam sejarah kehidupan manusia. Ia memberikan implikasi negatif dan buruk terhadap kehidupan manusia secara khusus dan terhadap keberlangsungan suatu wilayah.Â
Ia dapat dikategorikan sangat berbahaya bagi kehidupan manusia, sebab mempengaruhi aspek kehidupan ekonomi, politik, ketahanan, sosial-budaya, dan agama.
Korupsi merupakan masalah utama bangsa Indonesia sampai hari ini, korupsi merupakan extraordinary crime atau kejahatan luar biasa yang mempunyai pengaruh besar dalam seluruh aspek kehidupan manusia.
Dalam beberapa hari terakhir ada fenomena yang menjadi sorotan publik yaitu adanya upaya pelemahan terhadap lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam melakukan kinerjanya guna melakukan pemberantasan korupsi di negara ini.
Adanya upaya pelemahan kinerja tersebut disebabkan oleh usulan revisi UU KPK No 30 Tahun 2002 yang di layangkan kepada Presiden Jokowi dan akhirnya disetujui untuk direvisi.
Pembahasan pun dilakukan super kilat dan sangat tertutup karena dibahas secara internal tanpa melibatkan Pemerintah secara keseluruhan.Â
Dan bahkan pembahasan tentang revisi UU KPK ini dilakukan di masa injury time masa jabatan DPR Periode 2014-2019 yang akan berakhir dengan pelantikan DPR baru pada 1 Oktober mendatang.Â
Pembahasan yang super kilat demikian, bukan saja problematik karena pastinya terburu-buru. Namun juga semakin menguatkan kecurigaan bahwa tujuan akhirnya bukan menguatkan, melainkan melemahkan KPK.
Setidaknya ada 5 partai politik koalisi Presiden Jokowi pada pemilihan Presiden 2019 yang terlibat dalam pengusungan revisi UU KPK tersebut.Â
Dilihat dari materi perubahan, maka kecurigaan pelemahan KPK itu makin terkonfirmasi. Secara kelembagaan, KPK tidak lagi dijadikan komisi negara independen (independent agency), namun diletakkan di bawah presiden (executive agency).Â
Hilangnya prinsip independensi itu makin diperkuat dengan hadirnya Dewan Pengawas, yang akan menjadi pemberi izin atas tugas strategis KPK, seperti penyadapan.
Namun, model perizinan yang tepat perlu dicari formatnya, agar tidak justru melumpuhkan KPK. Mekanisme yang sekarang ada di KPK sudah 17 tahun berjalan, dan relatif tidak banyak masalah, bahkan justru efektif dalam kerja-kerja Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK.
Terdapat 9 poin persoalan pada RUU KPK yang dianggap beresiko mengganggu kinerja KPK dalam memberantas korupsi di Negeri ini. Diantaranya adalah :
1. Independensi KPK terancam
2. Penyadapan dipersulit dan dibatasi
3. Pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR
4. Sumber Penyelidik dan Penyidik dibatasi
5. Penuntutan Perkara Korupsi Harus Koordinasi dengan Kejaksaan Agung
6. Perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria
7. Kewenangan Pengambilalihan perkara di Penuntutan dipangkas
8. Kewenangan-kewenangan strategis pada proses Penuntutan dihilangkan
9. Kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas.
Sumber rujukan :
https://hukamnas.com/contoh-politik-oligarki-di-indonesia
https://nasional.tempo.co/amp/1190381/oligarki-politik-menguat-ini-penyebabnya-menurut-peneliti-lipi
https://kumparan.com/denny-indrayana/kpk-mati-lagi-1rr8bH7K5FS
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H