Di Hari Guru ke-77 ini, aku kepingin bercerita tentang perjuangan seorang guru tempo doeloe. Guru itu adalah ayahku sendiri. Â Selain jadi guru, karena keadaan, harus rela menjadi "diktator"! Siapa saja yang tahu pekerjaan beliau sepulang mengajar, tentu tidak akan membantah bahwa beliau memang seorang "diktator".
Aku mengidolakan ayah. Banyak  alasan mengapa aku mengidolakan beliau, salah satunya, ya sebagai diktator itu. Keberadaan sebagai diktator merupakan bukti kegigihan beliau untuk menjaga keberlangsungan hidup keluarga. Punya anak lima. Semua masih sekolah. Tidak ada satu pun yang bekerja. Sedangkan gaji sebagai guru -- saat itu - jauh dari mencukupi.
Beda sekarang, guru-guru negeri sudah hidup nyaman. Sedangkan guru-guru swasta/honorer, masih banyak yang ngos-ngosan. Aku tahu persis tentang nasib guru honor itu. Pertama, karena aku sendiri pernah jadi guru honor. Kedua, saat ini sebagai ketua yayasan, sangat sering mendengar keluhan dari para guru honor tersebut.
Sudah lebih dari enam tahun aku menjadi ketua yayasan. Bahkan di dua yayasan sekaligus. Pertama, sejak enam tahun yang lalu dipercaya menjadi ketua Yayasan Pendidikan NU, mengasuh SMPNU dan SMKNU Banjarmasin. Kedua, sudah dua tahun berjalan dipercaya sebagai ketua Yayasan Pendidikan Islam SMIP 1946 Banjarmasin, Â mengasuh SMP, MTs dan MA. Ceritanya memang agak panjang, jadi insyaallah kalau ada kesempatan akan aku ceritakan lebih jauh.
Di MTs SMIP 1946 Banjarmasin, Â aku sempat mengajar sebagai guru honor sekitar dua tahun. Jadi aku tahu persisnya bagaimana pedihnya menjadi guru honor. Berhenti mengajar karena terpilih sebagai anggota DPRD Kota Banjarmasih periode 1997-1999. Ngomong-ngomong soal mengajar atau jadi guru, itu merupakan salah satu karakter yang menurun dari ayah.
Ayah sendiri menurun dari kakek.Ya, kakekku juga adalah seorang guru. Kini karakter itu sudah menurun kepada tiga  kakak dan anak-anak beliau. Beberapa anggota keluarga yang lain juga banyak yang menjadi guru. Jadi mayoritas keluarga besarku kini memang berprofesi sebagai guru. Lengkap, dari guru sekolah dasar hingga dosen di perguruan tinggi.
Nah, sebelum bayangan sahabat pembaca terlalu jauh mengambang mendengar kata diktator, segera saja aku buka saja rahasianya. Diktatornya ayah bukanlah seperti Hitler atau Mussolini. Â Bisa berbuat sekehendak hati.
Ayah bukanlah diktator yang main paksa agar orang mau mengikuti kehendaknya. Tidak! Sekali-kali tidak! Namun, ayah menjadi diktator sebagai pekerjaan sampingan, untuk menambah penghasilan yang tidak mencukupi keperluan keluarga. Ayah berhak disebut diktator karena pekerjaan sampingan beliau sebagai pembuat diktat. Sampai di sini jelas, ya, hehe....
Diktat buatan ayah tidak hanya untuk keperluan sendiri sebagai buku pegangan dalam mengajar, tetapi juga untuk teman-teman beliau yang mengajar di tempat lain. Ada beberapa sekolah menengah hingga perguruan tinggi di Banjarmasin yang memerlukan jasa beliau.Â
Maklumlah, saat itu akhir orde lama dan awal-awal orde baru, dunia penerbitan tidak secanggih sekarang. Tidak banyak buku pelajaran yang tersedia. Walaupun ada, tetapi harganya mahal, hingga kurang terjangkau para siswa atau mahasiswa.
Jadi sepulang mengajar, ayah istirahat sebentar untuk sholat dan makan. Terus duduk di meja kerja besarnya untuk mengetik di mesin tik - saat itu belum ada komputer seperti sekarang. Suara tik tik tik adalah lagu wajib kami setiap hari. Lagu merdu itulah yang meninabobokan tidur kami sekeluarga karena ayah sering kerja hingga larut malam. Bayangkan beratnya perjuangan ayah.Â
Siang hari mengajar. Pulang, kerja lagi di rumah hingga larut malam. Istirahatnya sangat kurang, hanya demi menghidupi kami anak-anaknya.
Ayah tidak mengetik di atas kertas biasa, tetapi di atas kertas khusus untuk stensilan. Kertas itu disebut shet stensil. Kalau ada kesalahan, ditutup dulu dengan koreksi laks, sejenis tip ex khusus shet stensil, baru diketik ulang di atasnya. Tidak seperti mengetik di komputer seperti kita sekarang, yang begitu mudah melakukan perbaikan kalau ada kesalahan.
Selesai di ketik di shet stensil itu, baru dipindahkan ke mesin stensil untuk dilakukan penggandaannya. Kali ini lagunya tidak lagi tik tik, tetapi gras gras mirip suara mesin fotokopi. Lagu merdu itu juga yang sering meninabobokan kami tidur di malam hari.
Selain membuat diktat, sore atau malam hari ketika air sungai surut, ayah juga sering menjala ikan. Ya, lagi-lagi untuk mencukupi keperluan hidup kami sekeluarga. Itulah ayahku. Itulah guru tempo doeloe. Guru yang rela menjadi diktator, atau sang pembuat diktat. Guru yang rela bekerja hingga larut malam. Hanya demi mencukupi keperluan anak-anaknya, karena gaji sebagai guru saat itu tidak mencukupi.
Semoga di Hari Guru ke-77 ini, tidak ada lagi guru yang bernasib sama dengan ayah dan guru-guru tempo doeloe lainnya. Baik guru negeri, maupun guru honor/swasta. Semoga semua bisa sejahtera karena jasa mereka yang begitu besar dalam mencerdaskan anak bangsa. Kita tidak tahu bagaimana nasib bangsa ini, kalau guru tidak ada. Terima kasih guru. Tanpamu, tak tahu apa jadinya aku ....
Banjarmasin, 25/11/22
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H