Siang hari mengajar. Pulang, kerja lagi di rumah hingga larut malam. Istirahatnya sangat kurang, hanya demi menghidupi kami anak-anaknya.
Ayah tidak mengetik di atas kertas biasa, tetapi di atas kertas khusus untuk stensilan. Kertas itu disebut shet stensil. Kalau ada kesalahan, ditutup dulu dengan koreksi laks, sejenis tip ex khusus shet stensil, baru diketik ulang di atasnya. Tidak seperti mengetik di komputer seperti kita sekarang, yang begitu mudah melakukan perbaikan kalau ada kesalahan.
Selesai di ketik di shet stensil itu, baru dipindahkan ke mesin stensil untuk dilakukan penggandaannya. Kali ini lagunya tidak lagi tik tik, tetapi gras gras mirip suara mesin fotokopi. Lagu merdu itu juga yang sering meninabobokan kami tidur di malam hari.
Selain membuat diktat, sore atau malam hari ketika air sungai surut, ayah juga sering menjala ikan. Ya, lagi-lagi untuk mencukupi keperluan hidup kami sekeluarga. Itulah ayahku. Itulah guru tempo doeloe. Guru yang rela menjadi diktator, atau sang pembuat diktat. Guru yang rela bekerja hingga larut malam. Hanya demi mencukupi keperluan anak-anaknya, karena gaji sebagai guru saat itu tidak mencukupi.
Semoga di Hari Guru ke-77 ini, tidak ada lagi guru yang bernasib sama dengan ayah dan guru-guru tempo doeloe lainnya. Baik guru negeri, maupun guru honor/swasta. Semoga semua bisa sejahtera karena jasa mereka yang begitu besar dalam mencerdaskan anak bangsa. Kita tidak tahu bagaimana nasib bangsa ini, kalau guru tidak ada. Terima kasih guru. Tanpamu, tak tahu apa jadinya aku ....
Banjarmasin, 25/11/22
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H