Pertemuan dan perpisahan adalah hal biasa dalam hidup ini. Namun pertemuan kali ini begitu spesial. Kunjungan kali ini begitu bernas. Penuh pesan dan mendalam. Terima kasih Tuhan telah menggariskan kaki ini melangkah dalam mempererat silaturahim.
Rumah mereka masih di tempat yang dulu, kecamatan Medan Labuhan, Sumatera Utara. Tn. Febri Kurniawan dan Ny. Ade Eka Aziz adalah sahabat SMA saya di SMA Negeri 16 Medan tepatnya tahun ajaran 2006-2008. Setelah tamat kami nyaris tidak sekalipun bertemu. Kami mengukir hidup masing-masing.
Terakhir datang ke rumah ini adalah ketika masa-masa SMA yang penuh warna. Kami merekam audio untuk peringatan hari besar agama Islam di sekolah. Kami juga berbicara mengenai banyak hal dan membicarakan adegan drama kelas yang dipercayakan oleh guru Bahasa Indonesia kami, Ibu Evi Gurning, S. Pd, M. Pd yang kini telah menjadi wakil kepala sekolah di sekolah tersebut.
Hari seperti berlalu begitu cepat. Times flies so fast. Diri ini masih begini, masih melihat mereka begitu mengagumkan. Begitu layak dicontoh bagaimana mereka membina rumah tangga samawa atau sakinah mawaddah dan warahmah. Kami adalah teman sekelas. Dan Allah menjodohkan mereka berdua hingga mereka kini memiliki empat orang anak. Maha Suci Allah menjadikan hamba-Nya berpasang-pasangan.
Ketika adat Melayu (adat yang melekat di masyarakat kecamatan Medan Labuan) bergendang. Maka sahut-sahutan adat di bumi menjawabnya. Mereka yang menjalin romansa kemudian diikat oleh adat istiadat seiring seirama seiras dengan agama Islam yang mulia dalam nuansa yang indah. Meski Ade Eka Aziz anak yatim, ia dihargai begitu hebat oleh keluarga Febri Kurniawan yang merupakan keluarga besar Polri. Mereka menggelar pesta pernikahan di dua tempat dengan ribuan undangan yang menyambut demikian sumringah.
Demikian adat Melayu dan adat Jawa perpaduan Karo itu berasimilasi. Sayang diriku tidak hadir dalam hari yang bahagia itu. Aku yang tengah berjuang di dimensi yang lain, cuma bisa meminta maaf karena tidak dapat menunjukkan hidung di hari spesial Pangeran dan Tuan Putri duduk di pelaminan. Ya Allah, i'm so envy. Nikmat benar ternyata berumah tangga ya Allah. Kisah ini kisah nyata, based on true story bukan karangan penulis yang bombastis. No, its real. So real. Believe me.
Setelahnya mereka dikaruniai anak satu persatu hingga anak yang keempat. Ponakanku semuanya sehat. Mereka bijak dan bugar. Alhamdulillah. KaruniaMu sungguh tiada putusnya. Tn. Febri dan Ny. Eka mendidik anaknya sedemikian rupa. Lihatlah, mereka ikut salat Asar berjamaah bersama aku dengan Papa mereka sebagai imam. Padahal mereka masih kelas 2 SD dan TK Islam. Namun mereka paham gerakan dan adab ketika salat.
Inilah pengajaran yang hakiki. Ilmu agama dikenalkan sedini mungkin. Maka saya kaget sedemikian kaget serta terheran heran dengan berita MUI yang syok melihat peta jalan pendidikan Indonesia 2020-2035 yang tidak menyertakan diksi 'agama' di sekolah-sekolah. Draf narasi agama diganti dengan istilah 'akhlak' dan 'budaya'. Oh Tuhan, apalagi ini? So what? Atau sorry ye?
Makin kesini, makin sulit dimengerti jalan pikir oknum di atas sana. Agama sejatinya adalah pilar moral, pilar akhlak dan budaya itu sendiri. Kenapa begitu alergi pada agama. Negara kita berazaskan Pancasila. Sila pertama bahkan berbunyi Ketuhanan yang Maha Esa.
Sekali lagi, keluarga sahabat SMA saya satu ini bagaikan oase di tengah padang pasir yang sangat panas. Sangat langka kita melihat ayah mengimami anaknya di zaman gadget ini. Sekumpulan anak bahkan lebih takut gadgetnya disita orangtua daripada pribadi orangtua itu sendiri.
Kita menyaksikan betapa banyak anak yang kecanduan gawai. Mereka sibuk menyelami konten di dalamnya baik game, video dan hal lain. Bayi-bayi masa kini juga tumbuh kembang berdampingan dengan gawai atau gadget. Orangtua yang sibuk adalah alasan primer pola asuh ini. Parenting di sekolah juga kerap abai dicerna orangtua masa kini. Mereka seperti menyerahkan anaknya bulat-bulat ke sekolah.
Sore ini (4/3/2024), aku belajar banyak dari keluarga Tn. Febri Kurniawan S.E dan Ny. Ade Eka Aziz, Amd. Kom. Mereka adalah orangtua yang tidak tergerus oleh bahaya laten teknologi dan pola asuhnya. Tidak terlalu memuji, begitulah yang saya serap dari pertemuan sahabat SMA tadi. Dari teman sekelas menjadi cinta. Dari cinta menjadi keluarga dengan anak-anak berbudi luhur dan patuh kepada orang tua. Barakallah, semoga kita dapat meniru keluarga ini.
Maafkan atas segala kesilafan. Kepada Allah saya mohon ampun. Tidak ada gading yang tidak retak. Tidak ada insan yang sempurna teguh bertindak. Semua salah mohon dimaafkan. Terima kasih sudah membaca untuk keluarga Kompasiana dimanapun berada. Semoga semua kita dilindungi oleh Allah SWT. Aamiin.
"Keluarga adalah wadah kebersamaan setelah menikah darinya lahir keturunan yang harus diasuh sedemikian rupa agar menjadi pengajaran yang baik (parenting). Tidak mudah menjadi orangtua, namun menjadi leader untuk parenting adalah suatu keniscayaan. Tua maupun muda, semuanya layak memberikan parenting terbaik dari yang mereka punya." - Taufik Hidayat, S. Pd.
****
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI