PEMILU UMUM TAHUN 1955
DASAR HUKUM
    Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota DPR sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1953.
    PP Nomor 9 Tahun 1954 tentang Undang-undang Penyelenggaraan Pemilu.
    PP Nomor 47 Tahun 1954 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat/Konstituen oleh Anggota Angkatan Bersenjata dan Pernyataan Tidak Aktif/Pemberhentian berdasarkan penerimaan pencalonan anggota, serta larangan menyelenggarakan Kampanye Pemilihan terhadap Anggota dari Angkatan Bersenjata.
Â
SISTEM PEMILU
Sistem pemilu tahun 1955 merupakan gabungan dari sistem distrik dan sistem perwakilan yang dibagi berdasarkan ciri-ciri seperti ini. Sistem distrik, pertama wilayah negara dibagi menjadi daerah pemilihan yang berdasarkan jumlah penduduk, kedua jumlah anggota badan perwakilan rakyat ditentukan sama dengan jumlah daerah pemilihan, ketiga setiap daerah pemilihan memilih satu orang. anggota badan perwakilan rakyat, ketiga pemilih, memilih kita atau calon. yang diajukan oleh organisasi peserta Pemilu, penetapan kelima dipilih berdasarkan suara terbanyak. Sistem Keterwakilan Berimbang,Â
pertama, wilayah negara diartikan sebagai satu daerah pemilihan, namun dalam pelaksanaannya dapat dibagi menjadi beberapa daerah pemilihan yang bersifat administratif, kedua, jumlah anggota badan perwakilan rakyat ditentukan berdasarkan perimbangan jumlah penduduk, misalnya setiap 4000.000 penduduk mempunyai wakil, dan ketiga setiap pemilihan kepala daerah. lebih dari wakilnya sendiri, empat pemilih, memilih Organisasi Peserta Pemilu (OPP), namun oleh karena OPP menyusun calonnya dalam satu daftar.
jumlah kursi yang akan diperoleh setiap organisasi Peserta Pemilu sebanding dengan jumlah dukungan pemilih , itulah jumlah totalnya. diperoleh, enam calon terpilih diambil dari nama-nama yang ada dalam daftar calon, berdasarkan jumlah calon, jika melihat sistem daftar mengikat dan memperoleh suara masing-masing calon, jika mengikuti sistem daftar independen. Sistem tersebut merupakan gabungan dari sistem kombinasi dan sistem perwakilan berimbang, misalnya jumlah anggota badan perwakilan rakyat ditentukan berdasarkan perimbangan jumlah penduduk, kemudian sebagian besar anggota ditetapkan sebagai wakil daerah melalui sistem daerah. dan sejumlah kecil ditetapkan untuk mewakili OPP, yang dihitung menggunakan OPP. yang tidak dapat mewakili perwakilan dalam sistem distrik.
LATAR BELAKANG
Pemilu pertama direncanakan pada bulan Januari 1946, namun karena Revolusi Nasional Indonesia masih berlangsung, hal tersebut tidak mungkin dilakukan. Setelah perang, setiap kabinet memasukkan pemilu ke dalam programnya. Pada bulan Februari 1951, kabinet Natsir memperkenalkan RUU Pemilu, namun gagal sebelum diperdebatkan di parlemen. Kabinet berikutnya yang dipimpin oleh Sukiman sukses menyelenggarakan beberapa pemilu. Akhirnya pada bulan Februari 1952, kabinet Wilopo memperkenalkan RUU Pendaftaran Pemilih. Pembahasan di DPR baru dimulai pada September karena berbagai keberatan dari partai politik. Menurut Feith, ada tiga faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Pertama, para anggota Parlemen khawatir akan kehilangan kursi mereka; kedua, mereka khawatir tentang kemungkinan perubahan ke partai Islam; dan ketiga, sistem pemilu sesuai UUD 1950 sehingga kurang mewakili daerah di luar Pulau Jawa.
Mengingat fakta bahwa kabinet jatuh setelah menerapkan langkah-langkah kontroversial, terdapat keengganan untuk memperkenalkan rancangan undang-undang pemilu dan terdapat kekhawatiran mengenai kemungkinan konflik politik yang disebabkan oleh pemilu. Namun, banyak pemimpin politik yang menginginkan pemilihan umum karena lembaga legislatif pada saat itu didasarkan pada kompromi dengan Belanda (dulu merupakan negara kolonial) dan oleh karena itu dianggap mempunyai otoritas rakyat yang kecil. Mereka juga percaya bahwa pemilu akan membawa stabilitas politik yang lebih baik. Hal ini semakin diperkuat dengan "Insiden 17 Oktober 1952", ketika tentara bersenjata di depan istana menuntut pembubaran badan legislatif.
Sehingga menimbulkan tuntutan besar dari semua partai untuk mengadakan pemilu dini. Pada 25 November, RUU Pemilu sudah diserahkan ke DPR. Setelah 18 minggu perdebatan dan 200 usulan amandemen, RUU tersebut akhirnya disetujui pada tanggal 1 April 1953 dan menjadi undang-undang pada tanggal 4 April. RUU ini menetapkan jumlah anggota legislatif dalam satu anggota legislatif untuk 150.000 warga negara dan memberikan hak untuk memilih. kepada siapa pun yang berusia di atas 18 tahun, atau yang sudah menikah. Setelah RUU ini disetujui, kabinet mulai menunjuk anggota Komite Pemilihan Umum Pusat. Hal ini dilakukan untuk memiliki satu anggota dari setiap partai pemerintah dan seorang ketua independen. Namun, Partai Nasional Indonesia (PNI) memprotes karena tidak memiliki anggota komite, dan perselisihan tersebut masih belum terselesaikan ketika kabinet digulingkan pada tanggal 2 Juni.
Pada tanggal 25 Agustus 1953, perdana menteri yang baru, Ali Sastroamidjojo, mengumumkan jadwal persiapan pemilu selama 16 bulan yang dimulai pada bulan Januari 1954. Pada tanggal 4 November, pemerintah mengumumkan pembentukan Panitia Pemilihan Pusat yang baru yang diketuai oleh anggota PNI S. Hadikusomo dan mencakup semua anggota PNI. peserta. Partai yang diwakili di pemerintahan adalah Nahdatul Ulama (NU), Partai Persatuan Islam Indonesia (PSII), Partai Rakyat Indonesia (PRI), Partai Rakyat Nasional (PRN), Partai Buruh Indonesia (BTI), serta beberapa partai. pendukung pemerintah, seperti Paguyuban Tarbiyah.Islamiyah (Perti) dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo).
BADAN PENYELENGGARA PEMILU
Untuk menyelenggarakan pemilu, dibentuklah suatu badan penyelenggara pemilu, berdasarkan pedoman Surat Edaran Menteri Kehakiman No. JB.2/9/4 Und.Tanggal 23 April 1953 dan 5/11/37/KDN tanggal 30 Juli 1953 , yaitu:
    Panitia Pemilihan Umum Indonesia (PPI): mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota DPR. Keanggotaan PPI sekurang-kurangnya 5 orang dan paling banyak 9 orang, selama masa kerja 4 tahun.
    Panitia Pemilihan (PP) : dibentuk di setiap daerah pemilihan untuk membantu mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilihan anggota konstituen dan anggota DPR. Susunan anggotanya paling sedikit 5 orang dan sebanyak 7 orang anggota, dengan masa kerja 4 tahun.
    Panitia Pemilihan Daerah (PPK) dibentuk di setiap daerah pemilihan oleh Menteri Dalam Negeri yang bertugas membantu Panitia Pemilihan dalam mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilihan anggota konstitusi dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
    Panitia Pemungutan Suara (PPS) dibentuk di setiap kecamatan oleh Menteri Dalam Negeri dengan tugas mengelola daftar pemilih, membantu persiapan pemilihan anggota UUD dan anggota DPR, serta menyelenggarakan pemungutan suara. . Keanggotaan PPS minimal 5 orang anggota dan kecamatan karena kedudukannya sebagai ketua anggota PPS. Wakil Ketua dan anggota diangkat dan diberhentikan oleh Panitia Pemilihan Distrik atas nama Menteri Dalam Negeri.
Â
PELAKSANAAN PEMILU UMUM 1955
Ini merupakan pemilu pertama sepanjang sejarah Indonesia. Saat itu, Negara Republik Indonesia berusia 10 tahun. Jika dikatakan Pemilu adalah syarat minimal eksistensi demokrasi, apakah berarti selama 10 tahun tersebut Indonesia benar-benar tidak demokratis? Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan itu. Jelas terlihat bahwa tiga bulan setelah kemerdekaan diproklamirkan oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, pemerintah saat ini telah menyatakan keinginannya untuk dapat menyelenggarakan pemilu pada awal tahun 1946. Hal ini tercantum dalam Informasi X, atau Informasi Wakil Presiden. Mohammad Hatta pada tanggal 3 November 1945 yang berisi rekomendasi pembentukan partai politik. Informasinya menyebutkan, pemilu untuk memilih anggota DPR dan MPR akan digelar
Namun, bertentangan dengan tujuan Deklarasi X, pemilu tahun 1955 diadakan dua kali. Yang pertama, pada tanggal 29 September 1955, terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Yang kedua, 15 Desember 1955 dipilih menjadi anggota Majelis Konstituante. Dalam Proklamasi
Keterlambatan dan "penyimpangan" ini bukan tanpa alasan. Kendala ini ada, asalkan dari dalam negeri juga ada faktor luar negeri. Sumber permasalahan internal antara lain belum adanya instrumen hukum yang mengatur penyelenggaraan Pemilu dan belum stabilnya keamanan nasional. Yang kurang penting, alasan internal bersifat kompetitif dan kompetitif. Karena secara lahiriah akibat invasi kekuatan asing dan mengharuskan negara ini terlibat perang.
Kegagalan menyelenggarakan pemilihan umum pertama bulan Januari 1946 yang diamanatkan Deklarasi 3 November 1945, sekurang-kurangnya 2 (dua) hal :
1. Pemerintahan baru belum siap, termasuk menyusun UU Pemilu.
2. Keselamatan dan keamanan negara stabil karena konflik internal antara kekuatan politik dan target negara, terutama di masa ketika campur tangan TI eksternal masih mengancam. Dengan kata kuncinya, pemimpin lebih memperhatikan urusan konsolidasi.
Di sana, kami adalah perempuan lain yang menjadi korban konsolidasi wilayah negara dalam perjuangan Para Untuk mengusir penjajah, Pemerintah masih mempunyai niat Pemilu. Ada indikasi kuat bahwa para pemimpin politik menyukai pemilu. Misalnya saja pelaksanaan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1948 tentang Penggunaan Pemilu, diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1949 tentang Penggunaan Pemilu. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1949 diamanatkan agar pemilihan umum ini diselenggarakan secara bertingkat (langsung). Sifat pemilunya langsung, karena mayoritas masyarakat Indonesia masih buta huruf. Oleh karena itu, jika pemilu dilakukan secara langsung, dikhawatirkan akan terjadi distorsi kontestasi.
Pada paruh kedua tahun 1950, Mohammad Natsir dari Masyumi menjadi Perdana Menteri, Pemerintah memutuskan untuk meragukan program pemilihan kabinet. Pembahasan penggunaan UU Pemilu hari ini dilakukan oleh Panitia Sahardjo di Kantor Panitia Pemilihan Pusat, kemudian dilanjutkan ke DPRD. Pada masa itu, Indonesia kembali menjadi negara kesatuan, yang menjadi negara kesatuan pada tahun 1949 ketika Negara Republik Indonesia bersatu (RIS).
Ketua Kabinet Natsir meninggal setelah 6 bulan, pembahasan penggunaan RUU Pemilu dilakukan oleh Sukiman Wirjosandjojo, dan Masyumi. Saat itu Pemerintah mencoba menyelenggarakan pemilu berdasarkan pasal 57 UUD 1950, sehingga saya memilih anggota DPR untuk mengawasi pemilu.
Namun Sukiman dan ayahnya urung ikut membahas penggunaan UU Pemilu. Selanjutnya undang-undang ini pernah dibahas di parlemen pada masa kepemimpinan Wilopo di PNI tahun 1953. Jadi digunakan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 pemilu. Undang-undang ini menjadi payung hukum Pemilu 1955 yang dilaksanakan secara langsung, pada umumnya bebas dari kerahasiaan. Oleh karena itu Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1948 penggunaan pemilu ini diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1949 yang menganut pemilihan umum bertingkat (tidak langsung) bagi anggota DPR menjadi tidak sah.
Yang patut dihormati dan dibanggakan, pemilu pertama ini terselenggara dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis. Pemilu 1955 justru mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk dari luar negeri. Pemilu ini diikuti oleh 30 partai politik termasuk Lewis dan ratusan kelompok calon perseorangan.
Menariknya menggunakan pemilu 1955, ternyata kesadarannya tinggi bahwa persaingan itu sehat. Misalnya saja calon anggota DPR, perdana menteri, dan menteri yang sekarang ditertibkan tidak memperdulikan fasilitas negara dan kewenangan bawahannya untuk menarik pemilu dan menguntungkan partainya. Oleh Thiuna, seorang pejabat tinggi negara, saingan Pikasieuneun dianggap akan memenangkan pemilu di Sagala Waragad. Karena pemilu diselenggarakan dengan dua tujuan, yakni memilih anggota DPR dan memilih anggota DPRD, maka harus dijelaskan hasilnya.
Masa Demokrasi Terpimpin
Sayangnya, kisah sukses pemilu 1955 tidak bisa dilanjutkan dan hanya menjadi catatan emas sejarah. Pemilu pertama tidak diikuti pemilu kedua lima tahun kemudian, meskipun pada tahun 1958 Penjabat Presiden Soekarno telah menunjuk Panitia Pemilihan Indonesia Kedua.
Yang terjadi selanjutnya adalah perubahan format politik dengan terbitnya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959, keputusan presiden membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945 yang memperkuat impian Presiden Soekarno untuk menguburkan partai. Ketetapan ini kemudian mengakhiri rezim demokrasi dan menginisiasi otoritarianisme di Indonesia yang -- meminjam Prof. Ismail Sunny -- sebagai kekuasaan negara tidak lagi mengacu pada demokrasi berdasarkan undang-undang, melainkan demokrasi berdasarkan keputusan.
Otoritarianisme pemerintahan Presiden Sukarno semakin terlihat ketika pada tanggal 4 Juni 1960, ia membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, setelah dewan legislatif sebelumnya menolak RAPBN yang diajukan pemerintah. Presiden Soekarno secara sepihak dengan ketetapan tanggal 5 Juli 1959 membentuk DPR-Mutong Royong (DPR-GR) dan MPR Sementara (MPRS) yang seluruh anggotanya diangkat oleh presiden.
Pengangkatan anggota MPR dan DPR dalam arti tidak diadakan pemilu tidak bertentangan dengan UUD 1945. Sebab dalam UUD 1945 tidak ada klausul tentang tata cara pemilihan anggota DPR dan MPR. Namun konsekuensi dari penunjukan ini adalah terjadinya kooptasi terhadap kedua lembaga yang berada di bawah presiden. Padahal menurut UUD 1945, MPR merupakan lembaga kekuasaan tertinggi, sedangkan DPR berada di samping atau sederajat dengan presiden.
Hingga Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS melalui Sidang Istimewa pada bulan Maret 1967 (Keputusan XXXIV/MPRS/1967) setelah meluasnya krisis politik, ekonomi, dan sosial pasca kegagalan kudeta G 30 S/PKI, rezim tersebut dikenal dengan nama Demokrasi Terpimpin. bahkan tidak pernah mengadakan pemilu. Bahkan, pada tahun 1963 MPRS yang anggotanya diangkat mengangkat Ir.Soekarno, orang yang mengangkatnya, menjadi presiden seumur hidup. Ini merupakan bentuk kekuasaan otoriter yang mengabaikan kehendak rakyat yang disalurkan melalui pemilu berkala.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H