Otoritarianisme pemerintahan Presiden Sukarno semakin terlihat ketika pada tanggal 4 Juni 1960, ia membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, setelah dewan legislatif sebelumnya menolak RAPBN yang diajukan pemerintah. Presiden Soekarno secara sepihak dengan ketetapan tanggal 5 Juli 1959 membentuk DPR-Mutong Royong (DPR-GR) dan MPR Sementara (MPRS) yang seluruh anggotanya diangkat oleh presiden.
Pengangkatan anggota MPR dan DPR dalam arti tidak diadakan pemilu tidak bertentangan dengan UUD 1945. Sebab dalam UUD 1945 tidak ada klausul tentang tata cara pemilihan anggota DPR dan MPR. Namun konsekuensi dari penunjukan ini adalah terjadinya kooptasi terhadap kedua lembaga yang berada di bawah presiden. Padahal menurut UUD 1945, MPR merupakan lembaga kekuasaan tertinggi, sedangkan DPR berada di samping atau sederajat dengan presiden.
Hingga Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS melalui Sidang Istimewa pada bulan Maret 1967 (Keputusan XXXIV/MPRS/1967) setelah meluasnya krisis politik, ekonomi, dan sosial pasca kegagalan kudeta G 30 S/PKI, rezim tersebut dikenal dengan nama Demokrasi Terpimpin. bahkan tidak pernah mengadakan pemilu. Bahkan, pada tahun 1963 MPRS yang anggotanya diangkat mengangkat Ir.Soekarno, orang yang mengangkatnya, menjadi presiden seumur hidup. Ini merupakan bentuk kekuasaan otoriter yang mengabaikan kehendak rakyat yang disalurkan melalui pemilu berkala.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H