Akhirnya ia putuskan untuk menerima saran dari sang ibu. Walaupun meninggalkan kampung halaman dengan tujuan kerja, namun di dalam hatinya tidak pernah hilang keinginannya melanjutkan pendidikan.
"Baik, ibu, kalau memang itu yang ibu mau, Taufik akan ikuti. Tapi, izinkan Taufik tetap bermimpi untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi" balasnya dengan nada memohon dan penuh keyakinan. Mendengar pernyataan putranya yang sangat optimis beliau tidak bisa bilang tidak, hanya mampu menganggukkan kepala diiringi mata berkaca-kaca karena terharu bercampur sedih mengetahui semangat putra bungsunya begitu besar namun beliau tidak bisa berbuat banyak.
***
Tidak terasa sudah dua bulan lamanya di Jambi, namun belum juga ia mendapat secercah cahaya untuk bisa kuliah, sampai di bulan ke-tiga ia menemukan seseorang yang ia cari selama berada di Jambi. Seseorang itu akrab disapa kang Andry, saat itu beliau sudah menjadi purna pengurus Pramuka (Dewan Racana) di UIN Jambi. Dari kang Andry lah ia akhirnya resmi menjadi anggota Pramuka UIN Jambi pada tahun 2017. Seiring waktu berjalan ia semakin nyaman mengikuti berbagai kegiatan di Pramuka, membangun relasi dengan semua anggota yang berstatus sebagai mahasiswa, kecuali dirinya.
Sampai suatu hari ia tidak lagi diizinkan oleh orang tua dan saudaranya, itu semua karena banyaknya kegiatan di Pramuka sehingga membuat dirinya kerap meninggalkan kerja. Karena kejadian itu ia hampir putus asa, sebab ia sangat yakin dengan aktif di keanggotaan Pramuka perguruan tinggi adalah jalan untuk melanjutkan pendidikan, dan karena itu ia juga tahu apa tugas dan tanggung jawab mahasiswa. Singkat cerita, dengan bantuan pengurus Pramuka akhirnya orang tua dan saudara-saudaranya kembali memberikan izin.
Minggu, bulan, tahun berlalu. Sudah berkali-kali pindah tempat kerja, berkali-kali pula melewati badai. Semua itu dilakukan agar dirinya tidak berlama-lama bergantung kepada saudaranya, supaya dirinya lebih mandiri hidup di tanah rantau. Tidak banyak yang tahu tentang kepahitan dan kepedihan yang ia rasakan, bahkan orang tua dan saudaranya sekalipun.
Ketika genap dua tahun aktif di Pramuka akhirnya ia memantapkan tekatnya. Setelah mendapat arahan dari pembina Pramuka yang juga seorang dosen, beliau juga mengatakan bahwa banyak program beasiswa yang bisa diikuti, dari mulai kategori kurang mampu sampai kategori prestasi. Sewaktu pulang ke kampung halaman akhirnya ia kembali memberanikan diri meminta doa dan restu ibu serta saudaranya untuk kuliah. Dan apa yang terjadi? Beberapa saudaranya tidak setuju, dengan berbagai alasan, dari mulai rendahnya ekonomi keluarga, sampai saudara paling tua yang meragukan kemampuan adik bungsunya itu bisa lolos seleksi masuk perguruan tinggi, tapi ibu yang sangat mengerti keinginan putranya memilih untuk memberikan restu.
Dikarenakan pendaftaran seleksi mahasiswa baru akan tutup di akhir bulan ramadhan, ia akhirnya kembali ke Jambi pada pertengahan bulan, tentu hal itu membuat saudara yang tidak setuju semakin marah, meskipun demikian tidak menjadikan dirinya membatalkan rencana. Sesampainya di Jambi tak lupa ia memberi tahu ibu bahwa ia telah sampai, kemudian ia segera menjual handphone satu-satunya yang dimiliki untuk biaya pendaftaran jalur reguler. Selanjutnya ia menjalani hari-hari penantian jadwal ujian tanpa alat komunikasi (HP), beruntunglah ia tinggal bersama teman yang juga kuliah di universitas tempat dirinya mendaftar (UIN Jambi) jadi untuk mendapatkan informasi tentang kampus masih sangat mudah.
***
Setelah dinyatakan lulus seleksi, ia berpikir panjang dan mencari jalan keluar, sampai akhirnya ia mengira bahwa harapannya untuk kuliah akan musnah. Diingatnya kembali perkataan saudaranya, “Jika mau kuliah silahkan, tapi jangan berharap keluarga bisa membantu biayanya” seketika jiwanya porak-poranda, sampai-sampai makan tidak enak, tidur juga tidak nyenyak, tetapi lagi-lagi organisasi menjadi perantara dirinya mendapat secercah harapan, karena kebaikan hati pengurus Pramuka (Dewan Racana) yang mengumpulkan uang pribadi untuk membayar uang semester pertamanya.
Tentu kesempatan itu tidak di sia-siakan. Ia berjanji pada diri sendiri untuk membuat orang-orang yang sudah membantu dirinya tidak akan kecewa dan akan merasa bangga telah membantunya. Setelah itu ia mulai belajar semaksimal mungkin, berbagai usaha dan doa yang terus menerus dilakukan, harapannya bukan hanya mendapatkan ilmu yang bermanfaat, ia juga berharap ada peluang untuk mendapatkan beasiswa sebelum semester pertama berakhir, tujuannya agar ia lebih mudah dalam menyelesaikan kuliah, namun harapan itu pupus dan batinnya terasa runtuh saat tiba waktu pembayaran uang semester dua.
Dan dengan berat hati ia meminta bantuan kepada saudara, entah dari mana datangnya, tidak lama dari itu ia benar-benar dibantu, padahal ia tahu banget seperti apa kondisi keuangan saudara-saudaranya saat itu, meskipun jumlah mereka enam orang rasanya tidak mungkin jika menggunakan uang pribadi mereka terkumpul 2.5 Jt dalam waktu singkat dan yang lebih mengejutkan adalah pengakuan dari saudaranya yang bersedia membantu biayanya kuliahnya walaupun dengan uang pinjaman.
Mulai saat itu ia semakin giat lagi dan lagi dalam mewujudkan impian, dan akhirnya usahanya mendapatkan hasil yang memuaskan, di awal semester dua ia mendapatkan juara 1 lomba cipta puisi tingkat Nasional, dan selang tiga bulan ia kembali mendapatkan juara 1 lomba cipta puisi tingkat Sumatra. Karena prestasinya ia dikenal oleh para petinggi kampus dan saat itu bertepatan dengan pembukaan beasiswa KIP-KULIAH, akhirnya ia direkomendasikan untuk mendaftar beasiswa tersebut. Setelah melengkapi persyaratan dan mendaftarkan diri, penantian panjang dibayar dengan air mata kebahagiaan, ia benar-benar menangis terharu ketika tahu ia dinyatakan lolos, meskipun pengumuman itu setelah ia membayar uang semester tiga setidaknya semester berikutnya ia tidak lagi khawatir akan pembayaran uang kuliah, apalagi ada uang sakunya juga, maka ia akan lebih fokus kuliah dan mengurangi kerja sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.