Kutulis puisi di tepi sungai Batanghari
Barangkali ada yang mau membaca
Walau bagi mereka kata-kata tak bermakna
Tapi sastra 'ku cinta pada keindahannya
Karena segala isi bumi bisa jadi diksi.
Dariku yang terlahir di akhir masa orde baru
Sungai di hadapanku kini tak lagi sesuci dulu
Dinodai dan diracuni merkuri pabrik industri
Ditambah sampah tak bisa pecah dikunyah
Zaman mulai lelah hampir pasrah, menyerah
Sebab ulah manusia yang semakin serakah.
Untukmu tanah airku..
Kutulis puisi di tepi sungai Batanghari
Ku pandangi jembatan gentala arasy
Masih teringat jelas tanggal 17 Agustus
1000 merah putih kami biarkan terbebas
Menebar kemanusiaan ke-ruas kehidupan.
Kemudian mataku membidik seorang nelayan
Mengayuh sampan yang memikul beban
Beban bangsa, agama, negara menitipkan cinta
Agar bumi tetap terjaga, pertiwi semakin asri
Lalu keadilan, kemanusiaan, kedaulatan
Benar-benar disucikan dari kotoran.
Untukmu tanah airku...
Kutulis puisi ini (semoga) jadi senjata
Yang bisa aku bawa ke medan laga
Karena perang budaya telah diwarta
Lantas bagaimana nasibnya sastra, jika
kebiasaan mengolah kata telah binasa.
Untukmu tanah airku...
Untukmu tanah airku...
Walaupun ini hanya bait-bait puisi
Sementara cinta bukan hanya kata-kata
Dan cintaku belum sesuci embuh pagi
tetapi tanpa janji ( yang akhirnya diingkari).
Disaksikan sungai terpanjang di Sumatra
Aku sampaikan kepada semesta
"Baru ini yang aku bisa untuk menjaganya
Semoga tak ia tolak cintaku seutuhnya" meleleh
mata air di pipiku, pipi basahku, basah tanahku,
Puisiku untukmu tanah airku...
Jambi 21 Oktober 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H